Selasa, 01 November 2016

Pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat

Di bulan Mei 2010 kira-kira pukul dua siang, ketika menjemput anak saya, saya mengalami kecelakaan sepeda motor di depan BCA Rungkut Mapan. 

Menghadapi peristiwa ini, saya bingung sekali karena suami saya saat itu tidak berada di Surabaya, ia bekerja di Serang, Jawa Barat. Apalagi yang menyebabkan saya kecelakaan (X) bukannya menolong saya malahan dia menggertak saya. 

Tiba-tiba saya teringat teman saya yang bernama Emmy, lalu saya menghubunginya. Dia langsung datang ke tempat kejadian dan membawa saya ke RSI. Setelah diperiksa dokter dan difoto, ternyata ada tulang selangka yang patah dan harus di-pen. 

Jam empat sore, Emmy menghubungi X, tetapi dia hanya tertawa, tidak percaya bahwa saya mengalami patah tulang dan harus dioperasi.

Keesokan harinya, saya diantar Emmy lapor ke polsek Rungkut Menanggal, ternyata kasus kecelakaan ini dilimpahkan ke Polres Kapasan. 

Pada saat kami melaporkan kejadian ini, kami justru dimarahi oleh polisinya karena tidak segera melaporkan pada saat terjadi kecelakaan. 

Lalu kami menceritakan kronologi kejadian tersebut dan kendala yang kami hadapi, maka polisi tersebut mau mengerti, katanya: “Ibu sabar ya …” Beberapa kali kami datang ke sana tetapi jawabannya sama, alias tidak ada solusi. Untuk menangani kasus ini, X selalu didampingi pengacara.

Saya merasa heran karena ada orang yang mau menolong saya demikian tulus melebihi saudara, lalu saya berkata padanya: “Em, aku nggak bisa membalas kebaikanmu.” 

Jawabnya: “Jangan dipikirkan. Karena aku berdoa kepada Tuhan bahwa aku ingin menolong seseorang, ternyata kamu yang harus aku tolong.”

Seminggu kemudian, kasus ini di-BAP (Berita Acara Perkara). Beginilah BAPnya: mobil X parkir di depan BCA Rungkut Mapan tidak di tempat parkir yang benar, karena menghindari bayar parkir. Jadi posisi mobil itu agak di tengah jalan. 

Pada saat saya melewati jalan itu, bersamaan X membuka pintu mobilnya sehingga pintu mobil itu menyentuh stang stir sepeda motor saya sehingga saya jatuh dan sulit untuk berdiri.

Menghadapi peristiwa ini saya berdoa dan berdoa mohon Tuhan segera campur tangan. Ternyata, sungguh luar biasa penyertaan-Nya, Dia kirimkan saudara saya yang ada di Cirebon untuk menangani kasus ini. 

Karena dia mempunyai teman di Polda, maka Polres Kapasan mau bergerak sehingga ada solusinya sampai tuntas, meskipun prosesnya berbulan-bulan. 

Akhirnya terjadi jalan damai, X mau membayar setengah dari biaya operasi sehingga dikeluarkan SP3 (Surat Penghentian Perkara Pidana); mobil X dan sepeda motor saya yang ditahan di kepolisian dapat diambil kembali. 

Karena sudah merasa sembuh, saya melakukan kegiatan seperti biasanya dengan naik sepeda motor. Tiba-tiba tulang yang di-pen itu patah lagi, padahal saya tidak mengalami jatuh. Saya kembali berobat ke RSI dan dokternya menyarankan untuk dilakukan operasi yang kedua kalinya. 

Pada saat patah tulang yang kedua ini saya sempat merasa putus asa karena sakitnya luar biasa, sedangkan operasi yang pertama saya mengalami sakit hanya satu bulan. 

Atas saran orang-orang disekitar saya, saya bertanya pada beberapa dokter. Dokter RKZ yang pertama saya datangi mengatakan bahwa tidak perlu dilakukan operasi lagi, tetapi ada beberapa dokter yang menyarankan operasi. 

Akhirnya saya memutuskan tidak operasi. Tetapi setiap ada doa penyembuhan, saya selalu hadir.

Pada suatu hari saya diajak Ibu Elly untuk menghadiri KPI TL, dipersekutuan ini telinga saya terngiang-ngiang kata “Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Engkau pasti dipulihkan.” 

Meskipun dalam keadaan sakit, kata-kata itu saya amini. Akhirnya saya mulai aktif menghadiri persekutuan ini dan rajin membaca warta KPI TL. 

Di bulan Mei 2011, saya menghadiri doa penyembuhan oleh romo Yohanes. Pada saat romo mengatakan: “Yang sakit … berdiri.” 

Saya langsung berdiri dan merasakan panas pada bagian yang patah tulangnya dan saya juga merasakan ada yang tersambung kembali. Sejak saat itu, seringkali mulut saya meluncur puji-pujian syukur. Pada saat pujian penyembahan di persekutuan inipun, saya merasakan jamahan Tuhan, sekujur tubuh saya rasanya seperti disengat listrik. 

Setelah mengikuti persekutuan ini secara aktif, saya merasakan buahnya, yaitu sikap saya sangat berbeda dalam menghadapi suatu masalah, lebih sabar dan selalu merefleksikan suatu peristiwa. 

Syukur kepada Allah, tangan saya berangsur-angsur dipulihkan dan saya juga mendapat bonus yang luar biasa, yaitu dapat berkumpul lagi dengan suami karena dia sekarang mendapatkan pekerjaan di Surabaya.

(Sumber: Warta KPI TL No. 87/VII/2011).