Sabtu, 08 Oktober 2016

03.16 -

Kunci sukses dari sorga

Sebelum menjadi penulis buku pengembangan diri, pembicara seminar dan trainer (motivator), Tuhan telah memberi modal pada saya berupa pengalaman-pengalaman “bagaimana menderitanya menjadi anak korban perceraian orang tua; menjadi anak orang kaya sekaligus menjadi anak orang miskin; apa arti penderitaan hidup dan saya juga merasakan penyertaan-Nya secara luar biasa pada saat taat dengan kehendak-Nya.”



Saya dan saudara-saudara saya hidup terlantar karena kami adalah anak-anak korban perceraian. Belasan tahun saya hidup dalam kebencian dan kepahitan kepada kedua orang tua saya. 

Ketika saya bertobat, saya berkomitmen kepada Tuhan: “Tuhan, saya sangat berterima kasih karena sampai hari ini masih Engkau berikan karunia kehidupan. Saya tahu diri, Tuhan. Saya orang berdosa dan sering menyakiti-Mu. 

Namun, hampir setiap saat Engkau selalu mengingatkan hamba-Mu yang hina dina ini bahwa kasih karunia-Mu selalu lebih besar dari dosa dan pelanggaran manusia. Saya ingin menjadi hamba yang berkenan kepada-Mu. 

Saya bukanlah manusia yang sempurna, namun saya mau menjadi orang yang terus bertumbuh ke arah yang lebih baik. Saya ingin hidup saya semakin hari semakin berkenan di hati-Mu. 

Dengan kemurahan hati-Mu, proseslah saya Tuhan. Bentuklah saya Tuhan sehingga semakin pantas untuk menjadi saksi kasih dan kemurahan hati-Mu di muka bumi ini. 

Kata terima kasih saja pasti tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kebaikan-Mu, namun perkenankanlah saya menjadikan sisa hidup saya sebagai berkat bagi sesama dan lewat semuanya itu, biarlah nama-Mu saja yang semakin ditinggikan. Amin.”

Sebagai anak korban perceraian, seringkali saya berpikir pernahkah orangtua memikirkan betapa terguncangnya jiwa anak-anak korban perceraian

Saya membutuhkan waktu belasan tahun untuk dapat memulihkan hubungan dengan kedua orang tua saya. Hati saya amat terharu manakala mendengar papa kandung saya berkata kepada anak saya: “Opa ini opa yang hina dina. Opa gagal menjadi papa yang baik bagi papamu...” 

Ketika pemulihan terjadi, dalam keadaan bercucuran air mata, papa saya berkata: “Tadi di pesawat, Papa melihat tulisan happy landing. Papa tidak hanya ingin happy landing, tapi papa ingin happy ending.” 

Sungguh sebuah pernyataan yang maknanya sangat dalam karena diucapkan di usia senja. Ketika pemulihan terjadi, saya juga mulai belajar untuk bisa mengasihi ketiga adik tiri saya. 

Lewat proses panjang Tuhan memberikan saya kemampuan untuk mengampuni orangtua saya. Ini semua kasih karunia Tuhan. Saya tidak akan pernah mampu melakukannya seorang diri.

Pada saat saya masih duduk di bangku SMA di kota Bandung, bisnis orangtua saya di Papua bangkrut. Sehingga pada masa itu, seringkali saya harus mengatur agar 1 bungkus nasi bisa dimakan 2 x, sebagian untuk makan siang, sebagian lagi untuk makan malam. 

Saya pernah makan roti basi, pernah juga selama beberapa waktu hanya makan mie instan saja. Bahkan pernah juga diusir dari rumah kos karena belum bayar, saya nyaris putus sekolah, nyaris bunuh diri - pada saat itu saya mengalami infeksi tulang belakang (hingga sempat tidak bisa berjalan) dan tidak punya cukup uang untuk bisa berobat.

Di sinilah saya menyadari bahwa hampir segalanya butuh uang, tetapi uang tidak dapat membeli kebahagiaan dan kesetiaan

Dan saya juga mulai mengerti perbedaan antara orang miskin, orang kelas menengah, dan orang kaya dalam hal makan.

Orang miskin selalu bertanya: “Besok apa kita makan?” ~ apakah besok kita masih bisa makan karena untuk hari ini saja sudah sangat sulit.

Orang kelas menengah bertanya: “Besok makan apa?” ~ menu makanan apa yang akan dipilih.

Orang kaya yang murah hati bertanya: “Besok kita kasih makan siapa?” ~ besok siapa yang kiranya harus kita bantu. 

Orang kaya yang serakah akan bertanya: “Besok kita makan siapa?” ~ siapa yang bisa kita kuasai hartanya atau kita manfaatkan demi memperkaya diri kita sendiri. 

Tuhan menolong saya pada saat yang tepat! Saya mendapatkan ayah angkat sekaligus seorang pacar yang begitu mengasihi saya. Sang pacar ini sekarang telah menjadi istri saya. 

Empat bulan saya membuka toko handphone dan saya tidak menikmati pekerjaan itu. Lalu saya berdoa dan berdoa, akhirnya saya mendengar suara Tuhan: “Tempatmu bukan di situ. Tulislah buku ...”

Tuhan bekerja di luar pikiran manusia. Dengan modal nekad, tahun 2002 saya menulis buku pertama saya yang berjudul “First Step to be an Entrepreneur” (berani mengambil resiko untuk menjadi kaya), karena saya punya keprihatinan yang luar biasa pada anak-anak muda yang menganggur di negeri ini. 

Tetapi saya banyak menuai kritik: “berani-beraninya membuat buku, wong kamu tidak terkenal, wong kamu bukan lulusan ekonomi (saya sarjana teknik kimia, tetapi saya membaca ratusan buku dan belajar dari para pengusaha sukses).” 

Meskipun dikritik sedemikian rupa, saya tetap berani mengambil resiko dan belajar taat dengan apa yang saya dengar.

Kunci menuju kegagalan adalah mencoba menyenangkan semua orang (Bill Cosbykomedian).

Tuhan memproses saya dengan sangat ajaib. Pada waktu kuliah, saya sempat menjadi calo fotocopy, jualan text book di kampus, dan guru les privat. 

Saya pun diberikan hasrat serta impian untuk menjadi jurnalis. Bermula dari wartawan majalah kampus saya kemudian menjadi wartawan profesional. Di sinilah kemampuan menulis saya berkembang dengan sangat baik.

Dengan modal nekat, saya mengajukan draft buku saya ke Elex Media Komputindo, sebuah penerbit besar di negeri ini. Tetapi draft buku saya ditolak. Saya tidak begitu kecewa dengan penolakan itu karena redaksi penerbit itu memberi harapan bahwa draft buku saya bisa diterbitkan asalkan saya bersedia merevisinya sesuai dengan kriteria yang mereka minta. 

Di sinilah saya menyadari bahwa menulis sebuah buku berbeda halnya dengan menulis sebuah berita. Akhirnya ... setelah empat bulan draft buku tersebut siap diterbitkan, meskipun harus enam kali mondar-mandir Bandung (rumah) - Jakarta (kantor penerbit) saya tetap bersukacita untuk mempresentasikan naskah yang harus diperbaiki. 

Selama proses itu, saya sering berdoa: “Tuhan, saya mau belajar taat pada panggilan dari-Mu untuk menulis sebuah buku, tetapi tanpa campur tangan-Mu, semuanya akan sia-sia. Berilah hambamu kekuatan untuk menjalani proses ini.” 

Tanpa kehadiran seorang anak terkadang membuat kami merasa kesepian. Tak disangka di tahun ketiga pernikahan kami, istri saya mengandung.

Demi menjamin keselamatan sang bayi, istri saya harus melahirkan melalui operasi caesar karena air ketubannya kurang. 

Dua hari menjelang operasi, kami menerima dukungan doa, penguatan serta dorongan semangat dari begitu banyak sahabat: lintas suku, lintas profesi, lintas status sosial hingga lintas agama. Ratusan SMS masuk, sampai-sampai handphone saya hang dan harus diinstal ulang. Alhasil semua datanya ikut hilang.

Sahabat-sahabat saya sungguh menjadi perpanjangan tangan Tuhan, mereka memberkati hidup saya. Di saat saya mengalami ujian berat, mereka memberikan dukungan doa, penguatan serta dorongan semangat sehingga saya merasakan kasih dan penyelenggaraan Tuhan dalam hidup saya. 

Mereka mengasihi saya apa adanya. Mereka memaaafkan ketika saya berbuat salah. Mereka menegur saya dengan penuh kasih. Mereka mendorong saya untuk terus bertumbuh dengan talenta yang diberikan Tuhan kepada saya.

Akhirnya ... tepat tanggal 20 Desember 2005 putri pertama kami lahir (Priscilla), lahir prematur 34 minggu dengan berat badan 1,6 kg. Betapa kami sangat bersyukur dengan kelahirannya. Sukacita atas kehadiran anggota baru di keluarga kami rupanya diiringi pula dengan ujian berat. 

Hari berganti hari Priscilla masih dirawat di inkubator, dia setiap hari diinfus dan disuntik beberapa kali. Dokter mendiagnosis dia terkena pneumonia. Berkat pengobatan yang intensif, akhirnya dia sembuh. 

Meskipun sudah sebulan di inkubator, Priscilla belum boleh pulang karena dia didiagnosis menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya (PDA = Persistent Ductus Arteriousus) dan harus secepatnya dioperasi.

Ketika berusia 37 hari, dengan menggunakan ambulans Priscilla dilarikan dari RS St. Borromeus, Bandung ke RS Jantung Harapan Kita, Jakarta.

Kekhawatiran bercampur dengan ketakutan terbayang terutama saat kami mengingat dokter berkata: “Anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi.”

Ketika berusia 41 hari, dia harus menjalani operasi itu. Tiga jam sebelum operasi berlangsung, saya berlutut dan menangis tersedu-sedu di kamar mandi di sebuah rumah kos (di belakang RS Harapan Kita). 

Saya kemudian larut dalam doa penuh haru: “Tuhan, jika tiga jam lagi Engkau akan panggil anak ini, terjadilah kehendak-Mu ... 

Sekalipun tiga jam lagi Engkau akan memanggil anak yang aku sangat kasihi ini, aku tetap mau bersyukur ... aku tetap mau bersyukur karena paling tidak, empat puluh satu hari aku pernah menjadi seorang papa. Terima kasih untuk empat puluh satu hari itu Tuhan. Terima kasih Tuhan ... Amin.” 

Ketika saya berdiri, hati saya sudah benar-benar plong. Saya sepenuhnya sadar bahwa otoritas hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Tentu bukan hal mudah untuk bisa menerima semuanya itu dengan iman penuh harapan.

Pada saat itu, saya tidak lagi “ngotot” bahwa Priscilla pasti sembuh sebab saya tidak bisa menebak-nebak rencana Tuhan. Lagi pula, belum tentu Tuhan menghendaki dia sembuh. 

Satu yang saya tahu: kehendak Tuhan adalah yang terbaik meskipun itu belum tentu menyenangkan hati umatnya. Itulah sebabnya, saya berbisik lembut di telinga Priscilla: “Priscilla sayang, jika Tuhan memanggilmu dalam proses operasi itu, papa hanya bisa berkata, terima kasih Tuhan buat 41 hari bersamamu dan Priscilla sayang, sampai ketemu nanti di sorga ...”

Puji Tuhan, operasi berlangsung dengan mulus meskipun setelah itu selama beberapa hari Priscilla kehilangan suaranya. Seminggu kemudian, dia sudah diperbolehkan pulang, artinya, tepat 48 hari ia berada di rumah sakit sejak hari kelahirannya. Sekarang Priscilla bertumbuh menjadi anak yang murah senyum dan lucu.

Bercermin dari kisah hidup di atas, saya sangat percaya bahwa menjadi pengikut Tuhan tidaklah selalu menyenangkan bagi kita manusia. Kita harus berani menanggalkan kedagingan atau dengan kata lain menanggalkan ego dan nafsu kita. 

Apabila engkau berbalik kepada Tuhan dan mendengarkan suara-Nya ... maka Tuhan akan memulihkan keadaanmu dan akan menyayangi engkau. Tuhan akan menyunat hatimu sehingga engkau mengasihi Tuhan dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu (Ul 31:2-3, 6)

Ciri-ciri kehendak Tuhan:

1. Ketika kita melangkah dalam ketaatan, kemampuan kita lebih besar daripada biasanya.

2. Segala sesuatu yang kita lakukan selalu bermanfaat bagi orang lain.

3. Kalau visi itu berasal dari Tuhan, pencapaiannya sulit. Meskipun pencapaiannya sulit, si penerima visi bersukacita dalam melaksanakannya.

4. Semakin dekat hubungan kita dengan Tuhan, semakin banyak ujian yang harus kita hadapi

Mengapa? Salah satu alasannya adalah karena kita semakin peka terhadap kehendak Tuhan sehingga kita menjadi jauh lebih berhati-hati dan waspada dalam melangkah

Kita menjaga hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan agar selalu selaras dengan perintah-perintah-Nya. Tidak hanya itu, kita pun senantiasa berusaha agar jangan sampai ada perilaku kita yang menyakiti hati-Nya

5. Ada perasaan terbeban, ketika tidak segera melaksanakan visi tersebut.

Pengalaman-pengalaman pahit kerap kali justru dipakai Tuhan untuk mempersiapkan kita menjadi saksi Kasih-Nya bagi sesama di kemudian hari (Bdk. 2 Kor 1:6)

Jalan menuju bahagia dan sukses tidak selalu lurus. Ada tikungan bernama kegagalan. Ada bundaran bernama kebingungan. Ada tanjakan bernama kawan dan lawan. Ada lampu merah bernama musuh. Ada lampu kuning bernama keluarga. Engkau akan mengalami ban kempes dan pecah, itulah hidup.

Tapi, jika engkau membawa ban serep bernama tekad, mesin bernama ketekunan, asuransi bernama iman, pengemudinya bernama Sang Pengasih, engkau akan sampai di daerah yang disebut setia, sukses dan bahagia.

Maukah anda dan saya membeli sebuah mobil baru yang remnya tidak dapat dipastikan berfungsi dengan baik? Tentu saja tidak! 

Sebelum sebuah mobil dilempar ke pasar, ia harus mengalami proses uji yang ketat (quality control). Begitu juga yang terjadi jika Ia hendak memakai hidup kita secara luar biasa. kita harus mengalami proses belajar dan juga ujian yang luar biasa sehingga kita menjadi pemenang sejati bukan pemenang karbitan.

Marilah kita belajar dari Simon Petrus (Luk 5:1-11):

[1] Pada suatu hari Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah

» manusia memerlukan makanan jasmani dan makanan rohani. Jika lapar secara rohani, kita harus dikenyangkan dengan makanan rohani, yaitu firman Tuhan (Bdk. Mat 4:3).

[2-3] Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayan itu turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu.

» Yesus memilih Simon karena kasih karunia

[4-6] Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruh-Nya, aku akan menebarkan jala juga.” 

Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.

» meskipun Simon begitu capai, tetapi dia berani mengambil resiko dan melangkah dalam ketaatan. Karena sebelumnya dia sudah mengenal siapa itu Yesus (Luk 4:38). 

Orang yang hidup dengan ketaatan, tidak pernah bertanya dengan Tuhan. Dan ketika dia melangkah dalam ketaatan, pintu-pintu itu akan terbuka dengan sendirinya.

Iman mempercayai apa yang tidak kelihatan, dan buah dari iman akan melihat yang kita percayai (Bdk Ibr 11:1).

[7] Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.

» Simon mau menjadi saluran berkat

[8] Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” 

 » Simon merasa minder karena kasih karunia Tuhan selalu lebih besar dari dosa dan pelanggarannya.

[10] Kata Yesus kepada Simon: “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” 

» Meskipun berdosa, Simon dipakai Tuhan dari penjala ikan menjadi penjala manusia.

Marilah kita melakukan perbuatan-perbuatan kecil ketika masih sehat-bugar, sehingga kita tidak menyesal ketika akan menghembuskan nafas terakhir.

Ketika lahir, anda menangis dan dunia bersukacita. Ketika meninggal, dunia akan menangis dan justru anda yang bersukacita.

(Sumber: Warta KPI TL No. 75/VII/2010 » Renungan KPI TL Tgl 20 Mei 2010 dan buku “ The Power of Hope”, Paulus Winarto).