00.04 -
*Keluarga*
Aku terluka dengan keluargaku
Aku adalah instruktur tari, sehari-harian terus menari membuat badanku sangat letih. Jadi, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat aku masih harus bekerja hingga larut malam.
Selama dua tahun menikah, hubungan kami berjalan baik dan harmonis tanpa suatu konflik yang berarti.
Namun, tiba-tiba keharmonisan itu hilang. Kejadian itu bermula saat kami memutuskan untuk mengajak ibu suamiku untuk tinggal bersama kami.
Setelah beberapa hari mertuaku tinggal bersama kami, mertuaku tidak senang melihat kebiasaanku yang selalu bangun siang dan tidak pernah membuatkan sarapan untuk suamiku.
Di mata mertuaku, seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Akhirnya mertuaku selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk kami.
Jika melihat suamiku makan dengan lahap, di wajahnya selalu terpancar kebahagiaan. Tetapi ketika melihatku, beliau selalu cemberut dan mencemohku, seakan-akan berkata “Di mana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?”
Dia juga selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes. Melihat dan mendengar itu, aku sengaja seperti tidak mengetahuinya.
Akhirnya, aku dan mertuaku tidak bertegur sapa. Semenjak kedatangan mertuaku di rumah ini, aku sangat kecewa, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Demi menjaga suasana pagi hari, aku selalu membeli makanan di luar pada saat berangkat kerja.
Pada saat mau tidur, suamiku memunggungiku sambil berkata: “Sil, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah? Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi.”
Air mataku mengalir di kedua belah pipiku sambil mengiyakannya. Akhirnya aku kembali ke meja makan yang serba canggung itu.
Pagi itu kami sedang makan bubur buatan mertuaku, tiba-tiba aku merasa mual. Aku segera berlari ke kamar mandi dan mengeluarkan semua isi perut.
Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri di depan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yang tajam. Di luar terdengar suara tangisan mertuaku dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata, sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Itulah pertama kalinya aku bertengkar hebat dengan suamiku. Melihat itu, mata mertuaku merah dan dia berjalan menjauh ... suamiku segera mengejarnya ke luar rumah.
Entah mengapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan.
Teman sekerjaku menyarankan agar aku pergi ke dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, aku baru menyadari bahwa pagi itu aku mual-mual karena hamil.
Berita ini sangat menggembirakan hatiku, sekaligus juga kesedihan karena suami dan mertuaku sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu.
Selama tiga hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga menelponku.
Di pintu masuk rumah aku melihat suamiku, tiga hari tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya.
Dia melihat ke arahku tetapi seakan-akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dia mengambil barang-barang keperluannya dan segera memanggil taksi.
Keesokan harinya, aku tidak masuk kerja karena ingin secepatnya membicarakan semua masalah ini. Di kantornya, dengan wajah bingung sekretarisnya berkata kepadaku: “Ibu pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sekarang berada di rumah sakit.”
Mendengar itu mulutku terbuka lebar dan aku segera menuju rumah sakit. Setelah sampai di sana, ternyata mertuaku sudah meninggal. Aku memandang jasad mertuaku yang terbujur kaku sambil menangis dan menjerit dalam hati: “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku. Jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian.
Peristiwa kecelakaan itu aku juga baru tahu dari orang lain, pagi itu mertuaku berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung.
Suamiku mengejarnya sambil berlari, mertuaku juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang.
Seandainya pagi itu aku tidak muntah, seandainya kami tidak bertengkar .... Di matanya, akulah penyebab semuanya itu.
Suatu hari, aku berkunjung di sebuah kafe. Dan aku melihat suamiku sedang bersama seorang wanita, mereka terlihat mesra.
Lalu aku masuk dan berdiri di depan mereka. Tetapi suamiku hanya melihatku dengan tatapan tajam, seolah tak peduli apa yang aku rasakan. Aku berusaha menahan tangis.
Kemudian aku keluar tanpa satu katapun terucap dariku maupun dari suamiku. Malam itu suamiku tidak pulang dan itu sudah menjelaskan semuanya.
Aku tidak ingin menelpon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi, semua berlalu begitu saja.
Aku mulai terbiasa hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Tetapi setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hatiku terasa hancur.
Akhirnya teman-temanku menyarankan agar aku membuang bayi ini. Tetapi aku berusaha mempertahankannya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada mertuaku bahwa aku tidak bersalah.
Suatu hari pulang kerja, aku melihat suamiku duduk di ruang tamu. Ruangan itu penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas di atas meja.
Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya: “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya.” Setelah membuka mantel, aku berjalan ke arahnya. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat cerai itu.
Ternyata suamiku memperhatikan perutku yang buncit, katanya: “Sil, kamu hamil?” Itulah pertama kalinya suamiku berbicara padaku semenjak mertuaku meninggal.
Dua bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosiku. Tetapi ketika mendengar suaranya, aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang mengalir keluar dengan derasnya.
Jawabku: “Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi.” Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan.
Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.
Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata “Maafkan aku, maafkan aku.” Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa.
Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta diantara kami telah ada sebuah luka yang menganga.
Hampir setiap malam aku mendengar suara rintihan dari dalam kamar mertuaku. Namun, itu tak kuhiraukan. Hampir setiap hari suamiku selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak... sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang.
Aku tahu suamiku mencoba menarik simpatiku. Tetapi aku tetap tidak bergeming. Akhirnya suamiku mengurung diri dalam kamar.
Setiap malam dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Pikirku: “Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya.” Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.
Suatu malam, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara keras. Suamiku segera berlari masuk ke kamar, aku digendongnya dan dia berlari mencari taksi ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, dia menggenggam tanganku dengan erat, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku. Di punggungnya yang kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya.
Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya. Pada saat aku di dorong menuju ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang. Sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya.
Ke luar dari ruang bersalin, dia memandang anakku dan aku dengan senyum bahagia sambil berurai air mata. Aku memegang tangannya, diapun membalasnya dengan senyuman bahagia sambil menangis.
Tiba-tiba dia terjerambab ke lantai. Aku histeris memanggil namanya. Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya. Saat itu aku menangis, padahal aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya.
Kata dokter: “Kanker hati suamimu sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mujizat. Bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk.” Tanyaku: “Kapankah kanker itu terdeteksi? Jawabnya: “Lima bulan yang lalu.”
Tanpa peduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke kamar mertuaku lalu menyalakan komputer.
Di dalam komputer, ada sebuah surat yang sangat panjang, ditujukan kepada anak kami: “Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan. Sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu. Tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu.
Di dalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang kamu hadapi ... Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah.
Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan adalah orang yang paling ayah cintai.”
Semua tertulis dengan lengkap di dalam komputer itu, mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah.
Dia juga menulis sebuah surat untukku: “Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yang paling bahagia dalam hidupku. Maafkanlah salahku, maafkanlah aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.
Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti engkau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Berikanlah hadiah-hadiah ini pada anak kita sesuai dengan tahun yang tertulis pada bungkusnya..”
Ketika aku kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata: “Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya.”
Dengan susah payah dia membuka matanya sambil tersenyum dan mendekap anaknya. Dengan tangannya yang mungil, anaknyapun juga memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah. Dengan berurai air mata, aku menjepret beberapa kali momen itu.
Perasaan kepahitan yang tiada habis dapat menghancurkan tubuh kita dalam waktu yang sangat singkat. Sering tidak mengamalkan pengampunan menghentikan hati untuk menyelesaikan tugasnya melakukan detoksifikasi (Dr Robert Demaria – Resep Dr Bob: Sehat tanpa obat hari ke 342)
Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kisah nyata di atas.
* Merubah kebiasaan bukanlah hal yang gampang.
* Kita mayoritas lebih peduli dengan diri sendiri, lebih mengutamakan rasa tersinggung, sehingga tidak ada klarifikasi dalam menghadapi suatu persoalan ... hal ini sangat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Jika kita mau membuka hati kita, maka kita tidak akan berandai-andai - ada pengorbanan untuk bertanya.
* Kita harus mampu memandang suatu peristiwa dengan pikiran yang terbuka. Mohonlah anugerah itu agar diberi oleh Sang Pencipta.
* Di dalam rumah tangga tidak ada pemenang, segala sesuatunya harus dikerjakan secara bersama.
Marilah kita belajar dari Luk 2:41-52
Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah.
Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tuanya.
Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia.
Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia di Bait Allah. Kata ibu-Nya kepada-Nya: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku cemas mencari Engkau.”
Jawab-Nya kepada mereka: “Mengapa kamu mencari aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapaku?”
» Orang tua Yesus begitu peduli dengan anaknya.
Mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Ibunya menyimpan perkara itu di dalam hatinya.
» Meskipun mendapat jawaban yang tidak biasa dari anak-Nya, ibu-Nya tidak terluka.
Dalam memandang suatu peristiwa dalam keluarga, janganlah berandai-andai tetapi hadapilah dengan pikiran terbuka, sehingga tidak ada satupun angggota keluarga yang terluka.
(Sumber: Warta KPI TL No. 71/III/2010 » Renungan KPI TL tgl 4 Maret 2010, Dra Yovita Baskoro, MM).