Sabtu, 08 Oktober 2016

Kambing hitam yang tidak berguna



Pada suatu siang tampak sekelompok anak sekolah dasar sedang bermain di sebuah taman bermain. Semua tampak begitu ceria seolah tidak terlalu memedulikan sinar matahari yang lumayan terik. Mereka tertawa dan berlari ke sana kemari.

Di tengah keasyikan itu tampak seorang bocah tengah mengamati tukang balon gas yang berjualan di salah satu pojok taman tersebut. 



Sedari tadi tukang balon itu melepaskan satu persatu balonnya untuk menarik perhatian anak-anak yang lewat. Dalam pengamatan sang bocah setidaknya sudah ada empat balon yang dilepaskannya, yaitu merah, kuning, hijau, dan biru.


Penuh rasa penasaran, sang bocah mendekati tukang balon tersebut, tanyanya: “Maaf, Pak. Kalau balon berwarna hitam itu Bapak lepaskan, apakah ia bisa terbang seperti balon lainnya?” 

Penjual balon itu tersenyum dan sambil menatap mata bocah yang lugu itu, ia berkata: “Anak manis, bukan warna balon yang menentukan apakah balon itu bisa terbang, melainkan isinya. Balon berwarna apa pun kalau diisi dengan gas helium pasti bisa terbang.”

Sang bocah hanya menggangguk, berterima kasih, lalu meninggalkan si bapak penjual balon. Tampaknya ia sedang merenungkan secara serius ucapan penjual balon itu. 

Yang pasti, hari itu ia mendapat satu pelajaran penting: isi balon-lah yang menentukan apakah balon tersebut bisa terbang. Bukan warna balonnya!

Cerita sederhana ini sesungguhnya mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada sekedar cerita tentang gas helium yang mampu membuat balon terbang. 

Berapa banyak manusia yang tidak menghasilkan prestasi apa-apa dalam hidup ini karena selalu menyangka keadaan sekitarnya jauh lebih penting dibandingkan apa yang terjadi dalam dirinya. 

Orang-orang seperti itu biasanya amat sinis dalam melihat kehidupan ini. Karena mereka selalu merasa dirinya menjadi korban situasi, sehingga mereka cenderung menyalahkan segala sesuatu di luar diri mereka, seperti situasi ekonomi yang tidak juga membaik, pendidikan yang terlalu teoritis, korupsi yang merajarela, orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga mereka kurang mendapat kasih sayang, dsb.

Jadi, kita harus membangun karakter yang kuat agar dapat menghasilkan prestasi dalam hidup ini. Karakter yang kuat tidak bisa dibangun dalam semalam, membutuhkan sebuah proses panjang dan terkadang pengorbanan sangat besar

Misalnya: tepat waktu, tepat janji, melakukan apa yang kita katakan, berani berkata “tidak” untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan nurani kita, berani mengakui kesalahan dan minta maaf, mengembalikan uang kembalian yang lebih atau kembali ke kasir untuk melaporkan barang belanjaan yang belum masuk dalam hitungan. Sikap seperti ini akan membentuk kebiasaan dan pada akhirnya akan menjadi karakter kita.

Karakter seseorang yang paling asli sering kali justru terungkap pada masa-masa sulit atau masa-masa penuh kekuasaan.

Masa depan kita sepenuhnya berada di tangan kita, bukan di tangan orang lain. Sayangnya, manusia sering lupa dan terbiasa “menyerahkan” tanggung jawab itu ke tangan orang lain. 

Kita memang tidak dapat kembali ke hari yang telah lewat, namun sepanjang masih hidup, kita senantiasa diberikan anugerah dari-Nya untuk memilih kehidupan seperti apa yang ingin kita raih.

Tindakan menyalahkan orang lain bukanlah sesuatu yang bijaksana.

1. Dengan menyalahkan orang lain kita tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang ada atau tidak memperbaiki situasi karena kita menganggap orang lain-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas situasi yang kita alami. 

Jika seseorang terbiasa menyalahkan situasi dan orang lain atas apa yang terjadi pada dirinya, orang tersebut akan sulit sekali bertumbuh dewasa, meskipun usianya dari tahun ke tahun terus bertambah (menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan).

Kitalah orang yang paling bertanggung jawab atas hidup dan masa depan kita. Situasi buruk dan pengalaman masa lalu yang begitu gelap bisa kita jadikan tempat belajar atau justru membelenggu hidup dan masa depan kita.

2. Tindakan menyalahkan orang lain akan merengut kebahagiaan dalam hati kita

Biasanya, batin kita akan dipenuhi rasa sakit hati, marah, dengki dan dendam

Yang berbahaya adalah secara tidak disadari terkadang kita mencari cara untuk membalas rasa sakit hati tersebut. Akibatnya, beban mental yang kita miliki semakin bertambah berat dari waktu ke waktu.

3. Tindakan menyalahkan orang lain akan menguras banyak waktu dan energi yang sebenarnya bisa kita manfaatkan untuk berbagai kegiatan lain yang lebih produktif.

Mereka yang berjiwa besar selalu berhasil menangkis sanggahan licik dari orang-orang yang berjiwa kerdil (Albert Einstein)

Memang, terkadang keadaan kita memburuk akibat ulah orang lain. Misalnya: usaha kita hampir bangkrut karena ditipu rekan bisnis kita. 

Jika kita mampu memaafkan mantan rekan bisnis kita, maka pengalaman pahit itu akan menjadi pelajaran berharga agar lebih berhati-hati dalam memilih rekan bisnis ~ belajar untuk menerima kenyataan yang ada, belajar untuk melepaskan masa lalu, belajar untuk mengampuni, dan juga belajar untuk menarik hikmah dari peristiwa buruk yang kita alami.

Terpuruk dan terus-menerus hidup dalam penyesalan atas masa lalu terkadang akan menjadi tembok bahkan batu sandungan bagi masa depan seseorang.

Yang pasti, disadari atau tidak, kitalah yang harus menentukan sikap kita atas segala peristiwa yang terjadi atas kita. dengan kata lain, sikap adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk bersikap positif atau negatif. Dan, sikap yang kita pilih sangatlah bergantung pada cara berpikir kita.

Hidup akan menjadi sangat berarti jika kita dapat melihatnya dari sisi yang lain.

Kita tidak selalu bisa menentukan apa yang terjadi terhadap kita, namun kita selalu bisa menentukan apa yang terjadi dalam diri (atau hati) kita. Kita tidak selalu bisa menentukan apa yang orang lain lakukan terhadap kita, namun kita selalu bisa menentukan apa yang kita lakukan terhadap orang lain (Dr. John C. Maxwell).

Milikilah sikap pemenang yang mampu melihat hal-hal yang baik dalam situasi yang buruk. Bersyukurlah atas hal-hal baik tersebut. Sikap yang berbeda akan melahirkan tindakan yang berbeda dan pada akhirnya akan melahirkan hasil yang berbeda.

Kita tidak dapat mengubah masa lalu tetapi dapat mengubah masa depan dengan cara mengubah kebiasaan buruk saat ini. Perubahan yang sejati haruslah berasal dari dirinya sendiri. 

Proses perubahan pasti menuntut pengorbanan, minimal korban perasaan. Jika proses perubahan itu berlangsung mulus, biasanya itu bukan perubahan sejati.

Perubahan hidup baru akan terjadi 

* Jika orang mau meninggalkan pola hidup yang lama. 

* Setelah memperoleh informasi, pengetahuan, atau keterampilan baru - melakukan studi lanjut. Misalnya: membaca berbagai buku refrensi yang ada hubungannya dengan hal tersebut atau belajar dari mereka yang lebih berpengalaman.

* Merenungkan semuanya dan mencari apa saja yang kiranya relevan bagi hidup kita. 

* Melaksanakannya. Jika tidak punya komitmen kuat biasanya kita akan gugur di tahapan ini, terlebih-lebih jika kita mendapatkan berbagai hambatan, seperti kritik tajam dari orang-orang sekitar kita.

Kita dapat menggiring seekor kuda ke tepi sungai namun kita tidak dapat memaksanya minum air sungai tersebut. Sebagus apa pun pengajaran/kotbah yang sangat berguna bagi peningkatan kualitas hidup kita, tentu tidak akan ada gunanya jika tidak memiliki komitmen kuat untuk menindaklanjutinya.

(Sumber: Warta KPI TL No. 75/VII/2010 » The Power of Hope, Paulus Winarto).