Senin, 10 Oktober 2016

19.32 -

Arti salib dalam kehidupan kita

Di pegunungan Himalaya, ada seorang pertapa bernama Asita. Sewaktu bermeditasi diberitahukan oleh para dewa dari alam Tavatimsa bahwa seorang bayi telah lahir yang kelak akan menjadi Budha. Pada hari itu juga pertapa itu berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut.

Setelah melihat bayi, dia mengatakan bahwa Pangeran kecil itu kelak tidak boleh melihat empat peristiwa, yaitu: 1. Orang tua. 2. Orang sakit. 3. Orang mati. 4. Pertapa suci. 


Kalau Pangeran kelak melihat empat peristiwa tersebut, maka dia segera akan meninggalkan istana dan bertapa untuk menjadi Budha. 

Karena itu, Raja memerintahkan pengawal-pengawalnya agar Pangeran dijaga jangan sampai melihat empat peristiwa tentang kehidupan. 

Apabila ada dayangnya yang sakit, maka dayang itu segera disingkirkannya. Semua dayang dan pengawalnya adalah orang-orang muda belia. Selanjutnya Raja membuatkan tiga buah istana yang besar dan indah, satu istana untuk musim dingin, satu untuk istana musim panas, dan satu lagi istana musim hujan. 

Sekeliling istana dan kebun dibuatkan tembok, dan pintu-pintu yang kokoh dan kuat, dan dijaga siang dan malam oleh orang-orang kepercayaan Raja.

Kemudian Raja mengirim undangan kepada orang tua yang mempunyai anak gadis untuk mengirimkan anak gadisnya ke pesta, di mana Pangeran akan memilih seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Dengan pernikahannya ini, Raja berharap Pangeran akan lebih diikat kepada hal-hal duniawi. 

Dengan demikian Pangeran Siddattha dan Putri Yasodhara memadu cinta di tiga istananya yang mewah sekali dan selalu dikelilingi oleh penari-penari dan dayang-dayang yang cantik-cantik.

Raja merasa puas dengan apa yang telah dikerjakannya dan berharap bahwa Pangeran kelak dapat menggantikannya sebagai Raja negara Sakya.

Pangeran tidak bahagia dengan cara hidup yang dianggap seperti orang tawanan dan terpisah sama sekali dari dunia luar.

Pada suatu hari Pangeran mengunjungi ayahnya dan berkata: “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan ke luar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan kuperintah.”

Karena permohonan itu wajar, maka Raja berkata: “Baik, anakku, engkau boleh ke luar dari istana untuk melihat bagaimana penduduk hidup di kota. 

Tetapi sebelumnya aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku.”

Sewaktu pangeran sedang berjalan-jalan di kota, dengan tiba-tiba seorang tua ke luar dari sebuah gubuk kecil. Rambut orang itu panjang dan sudah putih semua, kulit mukanya kering dan keriput, matanya sudah hampir buta, pakaiannya compang-camping dan kotor sekali. Giginya sudah ompong, badannya kurus kering dan dengan susah payah serta terbungkuk-bungkuk ditopang oleh sebuah tongkat berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya yang sedang bergembira. 

Dengan suara lemah dan perlahan sekali ia meminta-minta makanan dan mengatakan kalau tidak diberi makanan, ia pasti akan mati hari itu juga karena ia lapar sekali dan beberapa hari tidak makan.

Melihat peristiwa itu, Pangeran sedih sekali dan peristiwa itu direnungkannya dengan lebih dalam. Meskipun diselenggarakan sebuah pesta besar untuk menghibur Pangeran, pikirannya masih tetap terganggu oleh peristiwa itu.

Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat kota Kapilavatthu, tetapi sekarang tanpa terlebih dulu memberitahukannya kepada para penduduk.

Dengan berat hati Raja memberikan izinnya karena dia tahu, tidak ada gunanya melarang sebab hal itu tentu akan membuat Pangeran sangat sedih.

Hari itu pemandangan kota berlainan sekali. Tidak ada penduduk berkumpul untuk mengelu-elukannya, tidak ada bendera-bendera, bunga-bunga, dan penduduk berpakaian rapi. Tetapi hari itu, Pangeran dapat melihat penduduk yang sedang sibuk bekerja. 

Pangeran memperhatikan orang-orang kecil yang sederhana dan semua orang kelihatan sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjaannya. 

Tetapi tiba-tiba Pangeran melihat seorang yang sedang merintih-rintih dan berguling di tanah dengan kedua tangannya memegang perut. Di mukanya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya megap-megap.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Pangeran melihat sesuatu yang membuat dia sedih. Sejak kanak-kanak, Pangeran terkenal sebagai anak yang penuh kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup. Begitu melihat peristiwa itu, maka dihampirinya orang itu dan kepala orang itu diletakkan kepangkuannya dan dihiburnya.

Berselang beberapa hari, Pangeran kembali mohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.

Tidak lama kemudian dia berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang. Di atas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sungai dan meletakkannya di atas tumpukan kayu yang kemudian dinyalakan api. Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun api telah membakarnya dari semua sudut.

Pangeran heran dan kaget melihat peristiwa itu. Pikirnya: “Sangat mengerikan keadaan yang disebut mati itu, semua orang akan mengalaminya. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Tetapi aku rasa pasti ada cara untuk menghentikannya. Aku harus mencarinya dan menolong dunia ini.”

Sewaktu Pangeran mengunjungi Kapilavatthu untuk keempat kalinya, di sebuah taman, Pangeran berhenti dan duduk beristirahat di bawah pohon jambu. 

Tiba-tiba Pangeran melihat seorang pertapa berjubah kuning dengan membawa mangkok di tangan menghampirinya. Pangeran memberi salam kepada pertapa tersebut dan menanyakan kegunaan mangkuk yang sedang dipegangnya. 

Pertapa itu menjawab: “Pangeran yang mulia, aku ini seorang pertapa. Aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit dan mati. 

Mangkuk ini aku bawa untuk mengharapkan makanan dari mereka yang berbelas-kasih. Selain dari itu, aku tidak menginginkan hal-hal dan barang duniawi.

Pangeran terkejut karena ternyata pertapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengannya. Kata Pangeran: “Oh, Petapa suci, di manakah obat itu harus dicari?” 

Jawabnya: “Pangeran yang mulia, aku mencarinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”

*
Ada seseorang yang berpikir bahwa dia yang “paling menderita di dunia” sehingga dia berkata: “Tuhan, ambillah salib-salibku. Salibku terlalu berat.” 

Akhirnya Tuhan mengutus malaikat-Nya untuk memperlihatkan berbagai macam sikap orang memikul salib, ada yang memikul salib dengan terseok-seok karena menderitanya, tetapi ada juga orang yang memikul salib sambil berlari-lari. 

Dia juga dibawa malaikat ke gudang salib, kata malaikat: “Di gudang ini ada berbagai macam ukuran salib, silahkan mengambil mana yang cocok untukmu. Dalam setiap salib, dibaliknya ada nama pemiliknya.” 

Dalam gudang yang gelap itu dia meraba-raba untuk mencari-cari salib yang cocok untuknya. Akhirnya dia memilih salib yang paling kecil. Setelah ke luar dari gudang itu, dia menyerahkan salib itu pada malaikat, kata malaikat: “Coba lihat nama dibalik salib itu.” Ternyata dia melihat namanya sendiri.

Dari kisah di atas, kita dapat mengetahui bahwa 

Tuhan mempunyai rancangan yang indah terhadap setiap manusia, tetapi Tuhan juga memberikan kehendak bebas pada setiap manusia.

Manusia mempunyai dua kecenderungan, yaitu: 

1. Selalu ingin memuaskan keinginannya. Laksana minum air garam, semakin diminum semakin haus (sifat dari dosa)... akhirnya menuju kebinasaan. 

2. Takut menderita. Hal inilah yang menghalangi menuju kekudusan. 

Darimana asalnya penderitaan? Penderitaan/salib mulai masuk dalam hidup manusia ketika manusia jatuh di dalam dosa (dosa asal) sehingga manusia mengalami penderitaan dan kematian.

Lebih banyak teologi yang berbicara tentang kemakmuran dari pada berbicara tentang salib. Karena secara manusiawi yang terkait dengan salib itu selalu tidak mengenakkan, membuat takut

Buktinya: ketika Yesus mengatakan tentang penderitaan-Nya (Luk 9:22-27 - Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga; Luk 9: 43-48 - Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia), para murid-Nya tidak mengerti perkataan itu, tidak dapat memahaminya, tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya. Mereka tidak mendengarkan perkataan Yesus tentang pemberitaan salib, tetapi mereka bertengkar tentang siapakah yang terbesar diantara mereka.

Mengapa ini bisa terjadi? Karena bagi dunia, “salib” adalah suatu batu sandungan atau suatu kebodohan, tetapi bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya, salib adalah suatu pembelajaran untuk melihat bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, karena dibalik salib itu ada kekuatan Allah dan hikmat Allah (1 Kor 1: 22-23; Rm 8:28). 

Maka, Tuhan mengutus putra-Nya ke dunia untuk menjelaskan tentang arti salib.

Yesus adalah 100% manusia dan 100% Allah. Secara manusiawi, pada saat disalib Yesus pun sangat ketakutan sehingga Dia berkata: “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku ... ; peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Luk 22:42, 44). 

Tetapi Dia menyadari panggilan hidupnya, sehingga Dia berkata: “...tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” 

Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepadaNya (Luk 22:42-43).

Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku (Luk 9:23)

Menyangkal diri ~ berani berkata tidak pada diri sendiri terhadap keinginan-keinginan yang tidak teratur, yang dapat membawa kepada dosa

Memikul salib setiap hari ~ seharusnya kita mempersembahkan kurban-kurban melalui salib dengan menghayati panggilan kita (umum/awam - imam, nabi dan raja; khusus - imam, biarawan-biarawati). 

Berat/ringannya salib tergantung bagaimana sikap orang itu memikul salib, bukan tergantung dari besar dan kecilnya salib. 

Yesus yang bangkit telah menempuh jalan salib. Jika kita memikul salib bersama Yesus, maka salib yang berat akan terasa ringan, karena Yesus yang memikul salib melalui kita, ini adalah kurban-kurban yang berkenan kepada Allah.

Marilah kita belajar dari Paulus:

Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (Flp 3:10-11)

» kerinduan Paulus untuk mengenal Kristus melalui jalan salib.

Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku di dera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkantung-kantung di tengah laut.

Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjur dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota; bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu.

Aku banyak berjerih lelah dan bekerja; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian ... , urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat (2 Kor 11:21-27)

» penderitaan-penderitaan yang ditanggung Paulus

Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus (Kol 1:24)

» ketika penderitaannya disatukan dengan penderitaan Kristus, maka dia tetap dapat bersukacita meskipun menderita.

Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman (2 Tim 4:7)

» jalan menuju kesempurnaan.

(Sumber: Warta KPI TL No. 78/X/2010 » Renungan KPI TL tgl 23 September 2010, Bapak Effendy; Riwayat Hidup Budda Gotama, S.Widyadharma).