Rabu, 12 Oktober 2016

00.03 -

Apakah Yesus lahir 25 Desember?



Benarkah bahwa perayaan kelahiran Yesus Kristus, 25 Desember, aslinya adalah pesta religius non-kristiani bangsa Romawi yang terkenal dengan ungkapan "Dies Natalie (Solis) Invicti" (Hari Raya Kelahiran Dewa Matahari yang tak terkalahkan)? Jadi, perayaan Natal sebenarnya adalah perayaan non-kristiani?

Pertama-tama, harus diakui bahwa banyak sarjana kristiani berpendapat bahwa sejak abad ke IV (bukti sejarah yang tertua tercatat pada tahun 336) perayaan Natal diadakan tanggal 25 Desember untuk menggeser pesta agama non-kristiani "kelahiran dewa matahari".

Kaisar Aurelius telah lebih dahulu menyatakan bahwa tanggal itu sebagai "Kelahiran Dewa Matahari yang tak terkalahkan". Jadi, disimpulkan bahwa Gereja mengambil alih pesta religius non-kristiani.

Pendapat mereka ini didasarkan pada dua sarjana dari abad XVII dan XVIII.

Yang pertama ialah Paul Ernst Jablonski, seorang Protestan dari Jerman. Ia berusaha menunjukkan bahwa perayaan kelahiran Kristus tanggal 25 Desember adalah salah satu contoh pengkafiran agama Kristiani rasuli sehingga berubah menjadi agama Katolik yang sekarang.

Yang kedua ialah Jean Hardouin, seorang rahib Benediktin yang mencoba membela Gereja Katolik dengan mengatakan bahwa pengambilan pesta itu merupakan usaha pengkristenan pesta religius non-kristiani Romawi.

Gereja melihat ini sebagai peluang untuk masuk dalam budaya dengan tetap menjaga kemurniaan Injil. Kristus adalah Sang Matahari sejati, yang memang tak terkalahkan. Dewa-dewa itu hanyalah ciptaan manusia dan tidak ada (Mzm 135:15-17).

Kedua pendapat di atas dibantah, bahkan dikatakan bahwa orang-orang Kristiani sudah lebih dahulu memilih tanggal 25 Desember itu dan baru kemudian tanggal itu digunakan sebagai perayaan religius non-kristiani.

Jadi, merekakah yang mencuri dari orang Kristiani dan bukan sebaliknya. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh William J. Tighe, kepala jurusan sejarah dari Muhlenberg College (Bdk. "Calculating Christmas," pada Touchstone, December 2003, pada www.touchstonemag.com).

Tighe berpendapat bahwa ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sudah sejak abad II atau III, orang-orang Kristiani baik di Timur (Yunani) maupun di Barat (Latin) berusaha menentukan tanggal kelahiran Yesus, lama sebelum mereka merayakannya secara liturgis.

Penetapan kelahiran Yesus ini merupakan akibat langsung dari penetapan waktu wafat-Nya. Bagaimana menetapkan tanggal wafat Yesus? Menurut Injil Yohanes, Yesus wafat sehari sebelum malam Paska Yahudi. Dipercayai bahwa kematian Yesus terjadi pada tanggal 14 Nisan menurut penanggalan Lunar Yahudi.

Orang-orang kristiani Yunani (Timur), yang mengikuti penanggalan matahari (solar), mencari padanan dari 14 Nisan dan menetapkan 6 April. Sedangkan di Gereja Latin (Barat) lebih memilih tanggal historis wafat Yesus itu, dan ditetapkan tanggal 25 Maret.

Ketiga, bagaimana tanggal wafat Yesus itu ditetapkan sebagai tanggal kelahiran-Nya? Hal ini didasarkan pada kepercayaan Yudaisme yang ada pada jaman Kristus, yaitu cara nabi Israel wafat pada tanggal yang sama dengan kelahiran atau pengandungannya.

Gagasan ini adalah faktor kunci untuk mengerti bagaimana orang-orang kristiani awali percaya bahwa kelahiran Kristus terjadi 25 Desember.

Orang-orang kristiani awali menerapkan kedua tanggal di atas pada Yesus Kristus, yaitu 6 April dan 25 Maret sebagai tanggal wafat Yesus tetapi juga sebagai tanggal kelahiran atau pengandungan.

Lama-lama kedua tanggal tersebut lebih dilihat sebagai tanggal pengandungan. Masa pengandungan dihitung sembilan bulan. Maka kelahiran Yesus dirayakan 9 bulan sesudah 25 Maret atau 6 April, yaitu pada 25 Desember di Gereja Latin (Barat) atau 6 Januari di Gereja Yunani (Timur).

Jadi, perayaan Natal sama sekali tidak berasal dari praktik religius non-kristiani.

Keempat, bagaimana menjelaskan tindakan Kaisar Aurelius yang menetapkan 25 Desember 274 sebagai pesta Dewa Matahari?

Di Roma ada dua kuil yang dibaktikan kepada Dewa Matahari. Pesta Dewa Matahari dirayakan pada 9 Agustus dan 28 Agustus. Kedua pesta ini tidak lagi dirayakan sejak abad II.

Pada saat itu, tidak ada pesta religius yang dikaitkan dengan "titik balik matahari" (solstice, 21 Desember) dan panjang siang dan malam (equinox). 

Tindakan Kaisar Aurelius di atas sebenarnya lebih merupakan usaha politis untuk merangkul dan menyatukan berbagai aliran kepercayaan yang ada waktu itu di bawah pesta tahunan kelahiran Matahari.

Kekaisaran yang dipimpinnya waktu itu sedang mengalami kemerosotan karena berbagai pemberontakan, serangan-serangan musuh, penurunan ekonomis yang tajam.

Penetapan tanggal 25 Desember itu merupakan ungkapan simbolis harapan kembalinya kejayaan Kekaisaran yaitu bahwa siang hari dalam Kekaisarannya akan semakin panjang dan malam hari semakin singkat.

Jadi tuduhan bahwa Perayaan Natal berasal dari perayaan religius non-kristiani adalah mitos tanpa dasar yang kuat.

(Sumber: Warta KPI TL No.140/XII/2016 » Konsultasi iman dari Adven sampai Natal, Dr. Petrus Maria Handoko, CM).