Senin, 05 September 2016

Kasus roti hangus



Seorang ahli pendidikan (AP) bertanya pada tiga orang ibu yang ditunjuk dari para peserta sebuah pelatihan.



AP: “Misalkan suatu pagi anda sedang menyiapkan roti bakar untuk sarapan suami anda, tiba-tiba telepon berdering, anak anda menangis, dan roti bakar jadi hangus suami anda berkomentar: ‘Kapan kamu akan belajar memanggang roti tanpa menghanguskannya?’ (tipe orang mengejek/melecehkan). Kira-kira, bagaimana reaksi anda?”


Ibu Pertama: “Langsung saya lemparkan roti itu ke mukanya!” – tipe orang kasar.

Ibu Kedua: “Saya akan katakan padanya, “Bangun dan bakar sendiri rotinya!” – tipe orang cuek.

Ibu Ketiga: “Saya rasa saya akan menangis.” – tipe orang melankolis.

AP: “Lalu bagaimana perasaan anda terhadap suami anda?” 

Semua: “Marah, benci, dan merasa dianiaya.”

AP: “Mudahkah bagi anda untuk menyiapkan roti bakar lagi pagi itu?”

Semua: “Tentu saja tidak.”

AP: “Dan jika suami anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi anda untuk membereskan rumah dan belanja kebutuhan sehari-hari dengan lapang dada?”

Ibu Pertama: “Tidak, Saya akan merasa sumpek sekali sepanjang hari.”

Ibu Kedua: “Saya tidak membeli apapun untuk keperluan rumah hari itu.”

AP: “Katakanlah bahwa roti itu memang hangus. Tetapi suami anda mengatakan kepada anda, ‘Tampaknya pagi ini kamu lelah ya... sayang, telepon berdering, anak kita menangis, dan sekarang roti hangus’ Kira-kira apa reaksi anda?” (tipe orang yang tidak pemarah).

Ibu Pertama: “Saya tidak percaya bahwa yang berbicara itu adalah suami saya.”

AP: “Mengapa anda gembira? Bukankah anak tetap menangis, telepon berdering, dan roti sudah hangus...?”

Semua: “Kami tidak akan peduli dengan semua itu.”

AP: :Lalu apa yang berbeda kali ini?”

Ibu Pertama: “Saya merasa suami saya baik sekali, karena tidak menyalahkan saya, melainkan memahami pada saya, bukan memusuhi saya.”

AP: “Jika suami anda pergi bekerja, akan mudahkah bagi anda untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga?”

Ibu Kedua: “Saya melaksanakan tugas-tugas saya dengan senang hati.”

AP: “Sekarang, mari kita bicara tentang suami tipe ketiga. Setelah roti itu hangus, ia memandang istrinya sambil mengatakan, ‘Nih, saya ajari kamu cara membakar roti!” (tipe orang yang menggurui).

Semua: “Tidak. Suami macam itu lebih buruk lagi dari yang pertama, sebab ia menganggap saya dungu.”

Saat itu, AP itu mengatakan: “Bagaimana kalau apa yang suami anda lakukan kepada anda itu, anda lakukan kepada anak-anak anda dan anak-didik anda?”

Ibu Pertama: “Sekarang saya mengerti tujuan anda membuka dialog ini. Saya memang selalu mengkritik anak-anak saya, anak-didik saya, tanpa saya sadari. Saya selalu mengatakan, ‘Kamu sudah dewasa, sudah harus tahu bahwa apa yang harus kamu lakukan itu salah.’ Saya sekarang tahu mengapa mereka marah dengan kata-kata saya.”

Ibu Kedua: “Saya juga selalu mengatakan kepada anak-anak saya, anak-didik saya ‘Biar saya tunjukkan padamu cara melakukan ini dan itu.’ Dan sering kali mereka marah saat mendengarnya.”

Ibu Ketiga: “Saya sering mengkritik anak-anak saya, anak-didik saya. Hal itu menjadi hal yang biasa bagi saya. Dan saya sering mengulang-ulang kalimat yang dulu diucapkan orang tua dan guru saya kepada saya. Dulu, saya juga sangat tidak suka mendengar mereka mengatakannya.”

Setelah sampai pada yang dituju, AP itu mengatakan: “Sekarang anda semua mengerti bahwa apa yang anda ingini dari suami anda, itulah yang diingini pula oleh anak-anak kita, anak-didik kita, suami kita, istri kita, dan rekan-rekan kita dari kita, yakni: pengertian dan empati.”

Empati artinya mendengar dengan hati, dengan penuh kasih. Hingga memahami orang lain seperti apa adanya: apa yang dipikirkannya, apa yang dirasakannya dan mengapa dia bertindak demikian – orang bijak.

Beda halnya bila mendengar dengan pikiran: menganalisa, mencari kelemahan, membantah, menilai dan akhirnya ingin membuktikan bahwa yang lain salah, dan pendapatnya yang benarorang pintar.

Apa yang tidak kausukai sendirijanganlah kauperbuat kepada siapapun (Tob 4:15)

Marilah kita berhati-hati dalam sikap/cara kita menyampaikan pendapat, agar hubungan bertahun-tahun antara suami dengan istri/anak dengan orang tua/dalam persekutuan tidak rusak, gara-gara satu kalimat. 

(Sumber: Warta KPI TL No. 57/I/2009 » Renungan KPI TL tgl 11 Desember 2008, Romo Lulus Widodo Pr.)