20.16 -
*Kehendak Allah*
Bersyukurlah senantiasa
Tak jarang kita jatuh dalam sikap konyol si anak kecil yang hanya melihat “lubang” pada kuenya dan tidak melihat serta berterima kasih atas hadiah kue itu: mata kita hanya tertuju pada “lubang”, apa “yang kurang/tidak ada” sehingga hidup kita pun menjadi kelabu, penuh dengan keluhan dan kemurungan.
Sering juga terjadi, kita tidak mensyukuri yang ada pada kita, namun ketika sesuatu itu diambil dari kita barulah kita sadar betapa berharganya pemberian Tuhan tersebut. Misalnya: ketika sehat kita tidak pernah mensyukuri kesehatan kita, namun ketika jatuh sakit kita mengeluh dan ingin sehat.
Tuhan menghendaki kita bersyukur, pertama-tama bukan agar pemberian-Nya dihargai, tetapi karena sikap tidak bersyukur akan menghalangi kita untuk menerima pemberian-Nya secara penuh serta mengalami sukacita-Nya.
Seperti ember yang terisi penuh dengan batu-batu tidak bisa menerima air yang dicurahkan ke atasnya, demikianlah hati yang tidak tahu bersyukur. Batu-batu itu antara lain adalah dosa-dosa dan segala keluhan kita ... entah itu mengenai suatu kepahitan, kekecewaan, kemarahan, dendam, sakit hati, dosa-dosa orang lain yang kita simpan/ingat terus, dll.
Mudah dimengerti bahwa hati yang demikian sukar mengalami sukacita. Sebaliknya ucapan syukur yang tulus akan men-“ceriah”-kan jiwa kita, mengusir mendung kesedihan/kemurungan/dll, akan melahirkan sukacita dalam hati dan membuat kita lebih siap menerima berkat Allah.
Ada eksperimen kecil oleh seorang dosen yang sekaligus seorang pembimbing rohani dan seorang psikolog dalam salah satu kuliahnya. Untuk eksperimen ini kita membutuhkan seorang teman.
Pertama, rentangkan tangan ke samping sehingga sejajar dengan bahu. Pejamkan mata dan bayangkan kembali suatu peristiwa yang membuat anda merasa bahagia dan bersyukur. Jika anda sudah bisa membayangkan kembali peristiwa itu, anda bisa mengangguk untuk memberi kode kepada teman anda.
Maka, ia harus berusaha menekan tangan kanan anda ke bawah, sedangkan anda harus berusaha sekuat tenaga mempertahankan posisi tangan anda agar tidak turun – tentunya anda merasa lebih kuat dan lebih dapat mempertahankan posisi tangan anda.
Selang beberapa saat ulangilah kembali semua langkah di atas, namun kali ini bayangkanlah peristiwa yang membuat anda mengeluh atau tidak bahagia – tentunya teman anda lebih mudah untuk menggoyangkan/menurunkan posisi tangan kanan anda.
Eksperimen ini mau menunjukkan bahwa keadaan batin kita akan mempengaruhi keadaan fisik kita.
Jika kita mengarahkan perhatian kita ke hal-hal negatif, batin kita akan “murung/kelabu”, dan fisik kita pun akan lemas. Sayang, banyak orang tidak menyadari hal ini, sehingga sepanjang hari bukannya memanjatkan litani syukur dan pujian kepada Allah melainkan “litani keluhan”.
Apakah dengan “litani keluhan” keadaan/masalah kita akan menjadi lebih baik? Sedikit pun tidak. Jadi, bukankah lebih baik kita panjatkan litani syukur dan pujian serta doa-doa kita kepada Tuhan yang berguna untuk mengatasi masalah kita?
Di sinilah pentingnya cara memandang suatu hal/keadaan.
Dua orang narapidana ditempatkan dalam sel yang sama dan mendapat perlakuan yang sama. Narapidana pertama setiap hari duduk di atas ranjangnya dengan wajah murung dan kepala tertunduk menatap lantai, sedang wajah narapidana kedua selalu berseri-seri. Kenapa?
Karena narapidana kedua ini melalui jendela selnya memandang taman dan bersyukur atas sinar matahari, bunga, burung, kupu-kupu, serta keindahan taman itu.
Ada dua orang anak kembar. Pada hari ulang tahun mereka, ditaruhnya sebuah kotak hadiah di depan kamar mereka masing-masing. Ketika si bungsu membuka kotak hadiahnya dan menemukan sebuah tempat pensil di dalamnya, ia berkata: “Ah, sayang hanya ada tempatnya, tidak ada pensil dan penanya.” Si sulung membuka kotak hadiahnya, ternyata ia menemukan kotoran kuda di dalamnya, dan ia pun bersorak: “Horee, kalau ada kotorannya pasti ada kudanya!”
Apa rahasia seorang kristiani sehingga mampu senantiasa bersyukur? Karena dia selalu memandang segalanya dalam terang iman, harapan dan kasih (1 Kor 13:13).
1. Kasih
Kasih akan mengubah cara pandang kita.
Kasih akan mengubah cara pandang kita.
Hati yang tanpa kasih akan memandang segalanya sebagai beban, sedangkan hati yang penuh kasih akan memandang segalanya sebagai kesempatan. Berat tidaknya sesuatu lebih ditentukan oleh hati kita. Hati yang penuh kasih akan meringankan beban.
Suatu beban/penderitaan/korban yang diterima dengan rela dan penuh kasih akan melahirkan sukacita dalam hati. Sebaliknya, beban akan semakin menekan dan menyesakkan jika kita menolak/memberontak (misalnya: dengan mengeluh).
Kasih itu membangkitkan kerelaan berkorban.
Seorang ibu yang merasa stress, terbeban, dan jenuh dengan segala kesibukan dan tanggung jawabnya dalam keluarga (memasak, mencuci, menyeterika, dll.) datang ke seorang psikolog. Si psikolog memberinya sebuah resep.
Inilah resepnya.
- Tambahkan 1 sendok penyedap rasa KASIH dalam setiap masakanmu.
- Campurkan 1 takaran pewangi KASIH dalam setiap ember pelmu.
- Semprotkan cairan pelembut KASIH pada setiap baju yang kau seterika.
Di sebuah perguruan seorang murid sedang membawa sebuah ember. Kebetulan sang guru lewat di dekatnya, maka si murid ingin menguji kesaktian gurunya: “Guru, tahukah engkau seberapa berat ember yang kubawa ini?” Jawab si guru: “Seberat hatimu.”
Seorang mahasiswa ketika dimintai tolong oleh orang tua atau adiknya untuk mengantar ke pasar ataupun ke tempat lain selalu mengatakan: “Tidak ada waktu.” Namun, ketika ia jatuh cinta, tanpa diminta ia selalu menawarkan diri untuk mengantar/menolong si pemudi idamannya. Ajaibnya, ia selalu “punya waktu” untuk itu, padahal jumlah jam dalam sehari tetap saja 24 jam.
Ketika St. Theresia Lisieux dituduh memecahkan tempat bunga, padahal ia tidak melakukannya; ia tidak membantah, namun mempersembahkan demi cintanya kepada Yesus. Baginya itu suatu kesempatan untuk mencintai Yesus, untuk menyenangkan hati-Nya, dan menyelamatkan jiwa-jiwa. Cintanya kepada Yesus dan kepada jiwa-jiwa menguatkannya untuk menanggung segala sesuatu (penderitaan, tuduhan dan hal-hal pahit lainnya).
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh 15:13).
2. Iman dan harapan
Ketika pasangan hidup berselingkuh, anak terlibat narkoba, hutang melilit ... , masihkan kita perlu bersyukur? Jawabannya “ya!” Namun, tentu saja kita tidak akan bersyukur atas perselingkuhan pasangan hidup kita, atas korupsi suami kita, atas dosa anak kita, karena syukur demikian sangat tidak Kristiani (Tuhan sangat membenci dosa).
Seorang pemulung secara tak sengaja menemukan sebuah kupon undian berhadiah. Di luar dugaan, ia memenangkan hadiah sebuah rumah mewah (yang harganya bermilyard-milyard rupiah) dan uang sebesar satu juta rupiah. Akan tetapi, untuk mengambil semua hadiah itu, ia harus membayar pajak sebesar lima puluh ribu rupiah.
Seandainya anda adalah pemulung itu, bagaimana perasaan anda? Gembira atas hadiah itu? Ataukah sedih atas pajak yang harus dibayar? Tentu anda akan gembira, bukan? Bahkan sekalipun pajak yang harus dibayar itu meningkat hingga satu juta. Kenapa? Karena anda masih memperoleh satu rumah mewah.
Sebetulnya Tuhan benar-benar memberi anda hadiah “rumah mewah”, yaitu sorga (hidup kekal dalam kemuliaan Allah). Pajak yang harus dibayar melambangkan segala penderitaan yang harus kita tanggung di dunia ini.
Bahkan seandainya seumur hidup kita di dunia ini penuh penderitaan, ini semua tidak sebanding dengan hadiah yang Tuhan sediakan bagi kita. Karena itu, semenderita apa pun seorang Kristiani, ia tetap punya alasan untuk bersyukur dan bersukacita!
. . . aku yakin, bahkan penderitaan sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Rm 8:18).
Walaupun ada “hadiah luar biasa” dari Tuhan (yaitu sorga), namun syukur dan sukacita Kristiani tidak menutup mata dan melarikan diri dari penderitaan/salib yang di depan mata.
Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Rm 8:28).
Banyak hal yang saat ini tidak bisa kita mengerti dengan akal budi, mengapa Tuhan membiarkannya terjadi, namun yakinlah bahwa Tuhan tak pernah salah bertindak. Maka melangkah dan bersyukurlah dalam iman, percaya bahwa salib/penderitaan bukanlah “kata terakhir” bagi kita.
Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus bagi kamu (1 Tes 5:18).
(Warta KPI TL No. 56/XII/2008 » HDR November-Desember 2008 Tahun XII).