Rabu, 20 April 2016

Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan?



Seorang pembaca menuliskan pesan “Ada satu contoh kasus keluarga Fritzl di Austria. Sang ayah menyekap anak gadisnya di gudang bawah tanah selama lebih dari 20 tahun!, dimalam hari memperkosanya, selama itu di siang hari dia dan istri hidup bersosial secara wajar. Dari anak gadisnya itu , dia punya beberapa anak lagi, dan mereka semua tinggal di bawah tanah. 

Ketika polisi membongkar gudang itu, itulah pertama kali cucu2nya yang sudah besar (sudah umur belasan tahun!) melihat matahari dan bulan… dalam arti harafiah!!!. 

Kasus ini terbongkar oleh polisi ketika umat Katolik sedang bersiap menyambut Triduum Paskah. Ironis? Sebenarnya apakah Tuhan sama-sekali tidak mau campur tangan ? Manusia wajar yang mengetahui hal seperti itu, pasti akan segera turun tangan. Dimanakah batas kejahatan bagi Tuhan? Saat kejahatan menjadi-jadi dan manusia terdiam, apakah Tuhan akan turun tangan? Berapa lama manusia mesti menunggu? 

Apakah selama bangsa Israel dijajah bangsa Mesir, lalu Tuhan membimbing Israel exodus? Ketika Yesus melihat kumpulan 5000 leibh orang2 yg mengikutinya dan hari menjadi sore, mereka kelaparan. Yesus pun merasa “kasihan” dan berkeputusan: “kita harus memberi mereka makan”. Padahal urusan bekal mestinya tanggung jawab kumpulan orang itu sendiri, mestinya mereka saling berbagi atau harus berusaha bersama apa gitu…Apakah Tuhan sekarang masih sama?”

Kalau dapat diringkas maka pertanyaan ini mau menyampaikan: mengapa seolah Tuhan ‘diam’ melihat kejahatan dan kesengsaraan yang terjadi di dunia sekarang ini. Atau, mengapa Tuhan membiarkan kejahatan, lalu sampai di mana atau sampai kapan? 

Pertanyaan serupa ini pernah dibahas , di sini, silakan klik? Pertanyaan semacam ini memang adalah pertanyaan yang sulit dijawab, karena melibatkan misteri Tuhan sendiri. Oleh karena itu, saya ingin mengutip surat apostolik dari Paus Yohanes Paulus II yang berjudul, Salvifici Doloris (SD), atau On the Christian Meaning of Human Suffering.

Bab III, dari dokumen itu berjudul :The Quest for an Answer to the Question of the Meaning of Suffering. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa dengan adanya penderitaan- penderitaan di dunia maka manusia dapat bertanya, “Why?” (Mengapa?) Mengapa ada kejahatan di dunia? Malah kadang pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat menjadikan orang frustasi dan akhirnya menolak adanya Tuhan. 

Maka, menurut Paus, kuncinya adalah kita harus memahami apakah arti dari penderitaan itu.

Alkitab menceritakan tentang misteri penderitaan ini secara jelas di dalam kitab Ayub. Teman-teman Ayub menarik kesimpulan bahwa penderitaan yang diderita oleh Ayub disebabkan oleh dosa-dosanya. 

Namun Tuhan akhirnya menyatakan kepada para sahabat Ayub bahwa Ayub tidak bersalah. “Itu [Penderitaan Ayub] harus diterima sebagai misteri, yang tidak dapat dipahami oleh manusia dengan akal budinya sendiri” (SD 11). 

Maka dapat saja penderitaan terjadi pada orang-orang yang tak bersalah, kepada Bangsa pilihan Allah, dan bahkan Gereja-Nya sendiri. 

Jika demikian yang terjadi, maka hal ini merupakan undangan terhadap belas kasihan-Nya, yang mengajar manusia untuk memimpinnya kepada pertobatan. 

Maka penderitaan itu maksudnya adalah untuk memimpin seseorang kepada pertobatan, yaitu untuk membangun kembali kebaikan di dalam diri orang yang mengalami penderitaan (SD 12).

Misteri penderitaan hanya dapat dipahami dalam terang Kristus. Kristus menyebabkan kita memasuki misteri penderitaan dan untuk menemukan alasannya “mengapa”, sejauh kita mampu menangkap kasih ilahi-Nya. 

“Kasih adalah sumber yang paling penuh yang menjawab pertanyaan mengenai makna penderitaan ini. Jawaban ini telah diberikan oleh Tuhan kepada manusia di dalam salib Tuhan Yesus Kristus.” (SD 13).

1) Dengan melihat kepada kejamnya dosa dan penderitaan, kita akan semakin menyadari akan besarnya akibat dosa, namun juga besarnya kasih Allah yang datang di dalam diri Kristus untuk membebaskan kita dari penderitaan kekal akibat dosa tersebut.

Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang menderita berdasarkan kenyataan bahwa Ia mengambil penderitaan itu bagi Diri-Nya sendiri (SD 14).

2) Dengan adanya realitas penderitaan di dunia ini yang sifatnya sementara, dan dorongan kita secara alami untuk menghindarinya, maka seharusnya kitapun mempunyai dorongan yang lebih besar untuk menghindari penderitaan yang sifatnya selamanya, yaitu penderitaan di neraka jika kita tidak diselamatkan karena tidak bertobat. (SD 14)

3) Jika mengalami penderitaan, entah karena kita sendiri mengalami penderitaan itu, ataupun karena kita menderita melihat orang lain yang sungguh menderita, maka kita diundang untuk mengambil bagian di dalam karya keselamatan

Paus Yohanes Paulus mengajarkannya demikian, “Each one is also called to share in that suffering through which the Redemption was accomplished…..Each man, in his suffering, can also become a sharer in the redemptive suffering of Christ.” (SD 19) 

Ini sesuai dengan ajakan Rasul Paulus untuk melengkapi dalam daging kita, apa yang kurang dalam penderitaan Kristus, untuk Tubuh-Nya, yaitu Gereja-Nya, (Kol 1:24) karena anggota- anggota Gereja-Nya masih ada yang mengalami penderitaan sampai pada saat ini (lih. SD 24)

4) Dengan menderita bersama Kristus, maka dapat dikatakan bahwa bukan kita lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (Gal 2:19). 

Karena jika Ia mengasihi kita dengan cara ini, menderita dan wafat bagi kita, maka dengan penderitaan dan wafat-Nya ini, Ia hidup di dalam diri orang yang mengasihi Dia dengan cara yang sama (SD 20). Maka Kristus dapat dikatakan hidup di dalam diri orang itu.

5) Namun, dengan iman kita percaya bahwa salib dan penderitaan yang ada di dalam kehidupan manusia itu disertai dengan pengharapan pemenuhan janji akan kebangkitan. 

Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita adalah “orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm 8:17-18). 

Dan Rasul Petrus juga berkata, “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.” (1 Pet 4:13).

Dengan melihat uraian di atas, maka malah mungkin bukan ironi, namun memang ada maksudnya bahwa Tuhan mengizinkan pembongkaran kasus kejahatan pada keluarga Fritzl di Austria terjadi pada saat menyambut Triduum Paskah. 

Karena mungkin seharusnya kenyataan pahit itu membuka pikiran kita akan kejamnya akibat dosa, dan beban dosa yang harus ditanggung oleh Kristus di kayu salib-Nya. Karena baru satu dosa saja sudah demikian menyedihkan akibatnya, apalagi dosa semua umat manusia, di sepanjang sejarah manusia, yang harus dipikul oleh Yesus Kristus! 

Maka melalui kejadian itu, Tuhan sesungguhnya menyerukan seruan pertobatan kepada semua orang yang mau membuka hati mereka. 

Kita diundang juga untuk mempersembahkan penderitaan dan kesedihan kita dengan penderitaan Kristus di kayu salib, supaya kitapun dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya kelak. 

Dalam keadaan ini, kita dapat mendoakan bagi pertobatan keluarga Fritzl, namun juga bagi pertobatan anggota keluarga kita, sanak saudara, teman ataupun anggota Gereja lainnya; dan juga mohon belas kasihan Tuhan Yesus atas dosa-dosa kita sendiri. 

Sebab penderitaan selalu dimaksudkan Tuhan untuk membawa pertobatan, dan mungkin pertobatan itulah yang dewasa ini relatif jarang ditemukan di dunia ini. Manusia hidup hanya sesuai dengan kehendaknya sendiri. Maka mungkin Tuhan membiarkan kejadian yang menyedihkan ini terjadi, agar setidak-tidaknya ada orang- orang yang tersentuh dan terdorong untuk bertobat, ataupun mendoakan bagi pertobatan orang lain.

Dalam kasus keluarga Fritzl, kita belum sampai pada akhirnya. Bisa saja sang ayah ditangkap dan dipenjara, dan di sel penjara itu dia bertobat. 

Tanpa terbongkarnya kasus itu mungkin ia tidak pernah bertobat sampai akhir hidupnya. Atau, mungkin terbongkarnya kasus tersebut adalah sebagai jawaban doa dari anak perempuan itu, yang telah bertahun- tahun berdoa mohon keadilan Tuhan. 

Dan begitu doanya dikabulkan, itu sungguh menguatkan iman perempuan itu beserta anak-anaknya (‘cucu-cucu’ keluarga Fritz). Atau mungkin ada orang yang gemar berselingkuh, dan tidak mempedulikan anak-anak hasil perselingkuhannya, lalu setelah membaca kasus tersebut ia bertobat. 

Atau orang- orang yang seperti anda, membaca kasus tersebut, merenungkannya dan membawanya ke hadirat Tuhan sehingga akhirnya semakin mendalami misteri salib Kristus…. 

Kita tidak pernah mengetahui maksud Allah, namun yang pasti Roh Kudus-Nya terus bekerja di dalam hati setiap orang. Walau kelihatannya tidak kelihatan, Allah terus bekerja, dan tidak diam. 

Hanya saja, caranya yang tidak kita ketahui, karena kita cenderung melihat apa yang kelihatan oleh mata, atau yang diberitakan di media masa. Kita mengharapkan pertolongan Tuhan yang instant/ segera datang, sedangkan Tuhan mempunyai kebijaksanaan waktu-Nya sendiri. Sebab cara pandang kita memang berbeda dengan cara pandang Allah.

Jadi, Tuhan tetaplah adalah Allah yang tetap sama, dahulu dan sekarang, dan selamanya. Ia adalah Allah yang peduli dan penuh belas kasihan kepada umat manusia ciptaan-Nya. 

Hanya saja, Ia berkarya dengan cara yang berbeda setiap waktu, dan mari kita menghormati kebijaksanaan Tuhan dalam hal ini. Jaman bangsa Israel/Musa berbeda dengan jaman Kristus, jaman para rasul berbeda dengan jaman abad Pertengahan, dan dengan jaman sekarang. 

Satu hal yang pasti adalah: Allah yang penuh kasih ini adalah juga Allah yang adil, sehingga pada akhirnya nanti, Allah pasti akan menyatakan keadilan-Nya. 

Kejadian- kejadian yang menyedihkan terjadi mungkin dapat membuat kita prihatin, namun sebaiknya juga meningkatkan pengharapan kita, agar Tuhan memakai kejadian-kejadian yang buruk sekalipun untuk mendatangkan hal-hal yang baik kepada umat-Nya.

(Sumber: Mengapa Tuhan membiarkan penderitaan?, katolisitas.org).