Selasa, 23 Februari 2016

23.43 -

Sunat ~ Pembaptisan

Ada pertanyaan yang menarik. Kalau Yesus disunat, mengapa kemudian sunat tidak menjadi keharusan bagi pengikut-Nya? 

Dari definisinya, sunat (circumcisio) mengacu kepada ‘pemotongan’, yaitu secara khusus pada pemotongan kulit penis. 

Jika kita mempelajari tulisan ahli sejarah Herodotus maka kita ketahui bahwa bukan hanya bangsa Yahudi saja yang mengenal tradisi sunat ini, melainkan juga bangsa Mesir, Kolkian dan Etiopian, dan kemudian kita ketahui bahwa tradisi ini menjadi bagian dari tradisi kaum muslim.

Namun bagi kita, umat Kristiani, kitapun perlu mengetahui makna “sunat” ini, agar kita semakin dapat menghayati iman kita:

1. Sunat dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama (PL), kita mengetahui sunat pertama kali disyaratkan oleh Allah kepada Abraham sebagai tanda perjanjian antara Allah dengan Abraham dan keturunannya, sehingga sunat dilakukan terhadap semua anak laki-laki pada saat anak tersebut berusia 8 hari (lih. Kej 17:11-12). 

Tradisi sunat ini dilanjutkan di jaman Nabi Musa (lih. Im 12:3, Kel 12:48), Yoshua (Yos 5:2) dan tradisi ini dilaksanakan seterusnya sampai pada jaman Yudas Makabe (167-160 BC) meskipun di tengah tekanan para penguasa (lih. 2 Mak 6:10); dan sampai juga ke jaman Yesus Kristus. 

Alkitab mencatat bahwa ketika Yesus genap berumur 8 hari, Bunda Maria dan St. Yusuf membawa-Nya ke Bait Allah untuk disunat dan diberi nama Yesus (lih. Luk 2:21).

2. Makna Yesus disunat

Maka kita melihat dengan obyektif di sini bahwa Yesus disunat karena pengaruh tradisi Yahudi, sebab Ia dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Ia dilahirkan oleh seorang perempuan, dilahirkan dari yang takluk kepada hukum Taurat, untuk membebaskan mereka yang takluk kepada hukum Taurat, sehingga kita dapat diangkat menjadi anak-anak Allah.

St. Thomas dalam ST, III, q.37, a. 1 menjabarkan bahwa dengan disunat, Kristus ingin membuktikan bahwa Dia sungguh-sungguh mempunyai kodrat manusia. 

Alasan kedua adalah untuk memberikan persetujuan bahwa tanda perjanjian yang diberikan oleh Allah dalam Perjanjian Lama adalah sah. 

Kristus sebagai keturunan Abraham – yang telah menerima perintah Tuhan bahwa sunat adalah tanda perjanjian dan ungkapan iman (lih. Kej 17:10) – juga disunat. karena 

- Kristus disunat, maka bangsa Yahudi tidak mempunyai alasan untuk tidak menerima Kristus. 

- Kristus juga menunjukkan bahwa ketaatan untuk menjalankan perintah Tuhan sesungguhnya sangatlah penting, sehingga Dia disunat pada hari ke-delapan (lih. Luk 2:21; bdk. Im 12:3) 

Dengan mengambil dan menjalankan sunat, maka Kristus dapat membebaskan manusia dari hukum ini dan memberikan hukum yang lebih sempurna (Gal 4:4-5) – yaitu sunat secara rohani. St. Athanasius dalam komentarnya tentang Luk 2:23, menuliskan hal ini dengan begitu indahnya, 

“Karena Anak Allah menjadi manusia, dan disunat di dalam daging, bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, namun agar Dia dapat menjadikan kita [anak-anak] Allah melalui rahmat, dan agar kita dapat disunat secara rohani; dengan demikian, sekali lagi, untuk kepentingan kita Dia dipersembahkan kepada Allah, sehingga kita dapat belajar untuk mempersembahkan diri kita kepada Tuhan.”[1]

Sunat rohani, yang menandai kita menjadi anak-anak Allah melalui rahmat-Nya, terjadi pada saat Pembaptisan, di mana melaluinya kita “dilahirkan kembali dalam air dan Roh” (Yoh 3:5). 

Kelahiran kembali ini ditandai dengan “menanggalkan manusia lama berserta segala hawa nafsunya …dan mengenakan manusia baru di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” (Ef 4:22-24). 

Maka inilah makna “sunat” yang baru, yang tidak lagi berupa penanggalan/pemotongan kulit lahiriah, tetapi penanggalan hawa nafsu dan dosa dan mengenakan hidup yang baru di dalam Roh Kudus.

3. Yang ditekankan Yesus: sunat rohani

Jadi sebenarnya yang ingin ditekankan Yesus adalah dimensi spiritual dari “sunat” seperti yang sebelumnya telah diajarkan dalam PL, bahwa yang terlebih utama adalah sunat hati/rohani (Ul 10:16 dan 30:6, Yer 4:4, 9:25-26). 

Seperti juga Yesus mengajarkan bahwa yang terpenting bukan apa yang terlihat dari luar, tetapi yang ada di dalam hati; bukan menerapkan hukum supaya terlihat baik dari luar, namun agar kita melakukan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat 23:5, 23)

Maka Rasul Paulus mengajarkan:

“Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.” (Rom 2:29).

“Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” (Kol 2:12)

Maka di sini “sunat lahiriah” tidak menjadi hukum utama bagi seseorang untuk menjadi anggota bangsa pilihan Allah, tetapi “sunat rohaniah” yang adalah Pembaptisan berdasarkan iman akan Allah Tritunggal yang telah mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia.

4. Para rasul mengikuti ajaran Yesus, juga mengajarkan sunat rohani

Para Rasul mengajarkan berdasarkan pengajaran Tuhan Yesus sendiri adalah: bahwa yang terpenting adalah sunat rohani, dan bukanlah sunat badani. 

Oleh sunat rohani, yaitu iman akan Yesus Kristus inilah, maka seseorang diselamatkan, dan bukan karena memenuhi hukum sunat lahiriah menurut hukum Taurat. Rasul Paulus mengajarkan:

“Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Gal 2:16)

5. Sunat menurut Bapa Gereja

Berikut ini beberapa kutipan ajaran Bapa Gereja abad-abad awal tentang sunat yang merupakan tanda akan penggenapannya dalam Baptisan, yang dilestarikan oleh Gereja Katolik:

1. St. Yustinus Martir (155)

“Karena itu, bejana pertobatan dan pengetahuan akan Tuhan ini yang ditetapkan karena pelanggaran umat Tuhan, sebagaimana diserukan oleh Nabi Yesaya, telah kita imani dan saksikan bahwa Baptisan yang diwartakan-Nya itulah saja yang dapat memurnikan orang-orang yang telah bertobat; dan ini adalah air kehidupan….. 

Sebab apakah gunanya baptisan itu [sunat] yang hanya membersihkan daging dan tubuh saja? Baptislah jiwa dari kemarahan dan dari dengki dan iri hati, dan dari kebencian; dan lihatlah! Tubuh menjadi murni…. Tapi kamu telah memahami segala sesuatunya secara jasmani, dan kamu pikir itu adalah kesalehan jika kamu berbuat demikian, sementara jiwamu dipenuhi dengan tipu daya dan singkatnya, dalam setiap kejahatan….” (Dialogue with Trypho, ch. 14).

“Dan Nabi Musa menyatakan bahwa Tuhan sendiri bersabda: “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk…” (Ul 10:16, lih. Im 26:40-41). 

Sebab sunat jasmani sejak Nabi Abraham, diberikan sebagai sebuah tanda; bahwa kamu dipisahkan dari bangsa-bangsa lain, dan dari kami; dan bahwa kamu sendiri dapat menderita menanggung apa yang sekarang secara adil kamu tanggung … dan bahwa tak seorangpun dari kamu dapat pergi ke Yerusalem…. * Semua ini terjadi atasmu dengan setimpal dan adil, sebab kamu telah menganiaya Sang Keadilan, dan para nabi-Nya sebelumnya; dan sekarang kamu menolak mereka yang berharap kepada-Nya dan di dalam Dia yang mengutus-Nya – yaitu Tuhan yang Mahabesar Pencipta segala sesuatu - dengan mengutuk di dalam sinagoga-sinagoga, mereka yang percaya kepada Kristus. Sebab kamu tidak punya kuasa untuk melukai kami … (Dialogue with Trypho, ch. 16).

Catatan *: Lihat Apology, I, 47. Orang-orang Yahudi -menurut Hadrian’s edict, dengan hukum melarang orang-orang Yahudi untuk memasuki Yerusalem, dengan ancaman hukuman mati. St. Yustinus melihat dalam hal sunat, hukuman bagi mereka sendiri.

“Maka basuhlah, dan menjadi bersihlah dan jauhkan segala kejahatan dari jiwamu, sebagaimana Tuhan menghendaki kamu dibasuh dalam bejana ini, dan disunatlah dengan sunat yang sejati. Sebab kami juga akan melakukan sunat jasmani dan Sabat, dan semua perayaan-perayaan, kalau seandainya kami tidak tahu alasan mangapa hal-hal itu diajarkan kepada kamu, yaitu karena pelanggaranmu dan ketegaran hatimu. Sebab jika kami dengan sabar menanggung semua hal yang dirancangkan terhadap kami oleh mereka yang jahat…, supaya bahkan di tengah-tengah kekejaman yang tak terkatakan, kematian dan penganiayaan, kami berdoa untuk belas kasihan kepada mereka yang menganiaya kami ... mengapakah Trypho, bahwa kami tidak akan melakukan ritus-ritus itu yang tidak mencelakakan kami – yang kumaksud tentang sunat, Sabat dan berbagai perayaan Yahudi? (Dialogue with Trypho, ch. 18).

“Bahkan kamu yang disunat menurut daging, membutuhkan sunat kami [menurut rohani]; tetapi kami, yang telah memiliki hal yang kedua [sunat rohani], tidak membutuhkan hal yang pertama [sunat jasmani]. Sebab jika itu keharusan, seperti anggapanmu, Tuhan tak akan menciptakan Adam tidak disunat. Ia tak mungkin menghormati persembahan Habel yang tidak disunat saat mempersembahkan kurban, dan tak mungkin berkenan kepada Henokh yang tidak disunat… Lot yang tidak disunat diselamatkan dari Sodom dan Gomora…. Nuh, permulaan suku kita, meskipun tidak disunat, masuk ke dalam bahtera. Melkisedek, imam dari Yang Mahatinggi, tidak disunat… Maka untuk kamu sendiri sunat diperlukan; supaya bangsa tersebut menjadi bukan bangsa apapun; sebagaimana dikatakan oleh Nabi Hosea…. (Dialogue with Trypho, ch. 19).

2. Tertullian (160-220)

“Biarlah ia yang berusaha keras mempertahankan bahwa Sabat tetap harus dilakukan sebagai obat keselamatan dan sunat di hari kedelapan…. mengajarkan kita bahwa pada masa lalu, orang-orang benar melakukan hari Sabat dan sunat, dan karena itu mereka disebut ‘para sahabat Allah’. Sebab jika sunat memurnikan manusia, karena Tuhan menciptakan Adam tidak disunat, mengapa Ia tidak menyunatkan dia bahkan setelah ia berdosa, jika sunat itu memurnikan? … Maka, karena Tuhan pada mulanya menciptakan Adam tidak bersunat dan tidak melakukan Sabat, konsekuensinya keturunannya, Habel mempersembahkan kurban, yang tidak bersunat dan tidak melakukan Sabat, dipuji oleh-Nya (Kej 4:1-7, Ibr 11:4). Nuh juga tidak bersunat- ya, dan tidak melakukan Sabat- Tuhan membebaskan dari air bah. Sebab Henokh juga, orang yang paling benar, tidak bersunat dan tidak melakukan Sabat, ia diangkat dari dunia ini, yang pertama tidak mengalami kematian sehingga, menjadi kandidat bagi kehidupan kekal, ia menunjukkan kepada kita bahwa kita juga dapat, tanpa menanggung beban hukum Musa, menyenangkan Tuhan” (An Answer to the Jews, 2 [A.D. 203]).

3. Eusebius dari Kaisarea (260-339)

“Mereka [para orang kudus pertama di Perjanjian Lama] tidak memperhatikan sunat jasmani, demikian juga kita [orang-orang Kristen]. Mereka tidak melakukan Sabat, demikian juga kita. Mereka juga tidak menghindari jenis-jenis makanan tertentu, maupun pembedaan-pembedaan lain yang dikeluarkan oleh Musa kepada keturunannya untuk dilakukan sebagai simbol-simbol; demikian juga umat Kristen di zaman ini melakukan hal-hal itu” (Church History 1:4:8 [A.D. 312]).

4. St. Yohanes Krisostomus (347-407)

“Ritus sunat dulu sangat dihormati menurut adat Yahudi …. Ini dipandang sebagai lebih mulia dari Sabat, sebagai yang tidak dihapuskan pada waktu tertentu. Ketika kemudian ini [sunat] tidak dilakukan lagi, terlebih lagi [tidak dilakukan] adalah hukum Sabat.” (Homilies on Philippians 10 [A.D. 402]).

5. St. Agustinus (354-430)

“Apakah ada di dalam ke sepuluh perintah Allah, selain penerapan hari Sabat, yang tidak harus ditaati oleh seorang Kristen…. Yang mana dari perintah-perintah ini [sepuluh perintah Allah], yang dikatakan orang bahwa umat Kristen tak harus melakukannya? Adalah mungkin untuk menegaskan bahwa bukanlah hukum yang tertulis di kedua loh batu yang dijabarkan oleh Rasul [Paulus] sebagai ‘hukum yang tertulis mematikan’ (2Kor 3:6), tetapi hukum sunat dan ritus-ritus sakral lainnya yang kini dihapuskan” (The Spirit and the Letter 24 [A.D. 412]).

6. Paus Gregorius I (540-604)

“Telah sampai ke telingaku bahwa orang-orang tertentu dengan semangat yang menyimpang telah menabur di antara kamu sesuatu yang salah dan bertentangan dengan iman yang kudus, sehingga melarang pekerjaan apapun yang dilakukan pada hari Sabat. Adakah yang lain yang dapat kukatakan selain menyebut orang-orang ini sebagai pengkhotbah Antikristus, yang ketika ia datang akan menyebabkan hari Sabat seperti hari Tuhan, untuk dijadikan hari yang bebas dari semua pekerjaan…. Sebab inilah yang dikatakan nabi, “Apabila kamu sungguh-sungguh mendengarkan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan tidak membawa masuk barang-barang melalui pintu-pintu gerbang kota ini pada hari Sabat, tetapi menguduskan hari Sabat dan tidak melakukan sesuatu pekerjaan pada hari itu…” (Yer 17:24) dapat dipegang sepanjang itu sesuai dengan hukum untuk dilakukan menurut hukum yang tertulis. Tetapi setelah rahmat Tuhan yang Mahakuasa itu, Tuhan kita Yesus Kristus, telah muncul, perintah-perintah hukum yang telah dikatakan secara figuratif tidak dapat dilaksanakan menurut hukum yang tertulis. Sebab siapapun yang mengatakan bahwa ini adalah tentang Sabat yang harus dilaksanakan, ia harus perlu juga mengatakan bahwa kurban-kurban jasmani [kurban hewan-hewan] harus dipersembahkan. Ia harus juga mengatakan bahwa perintah tentang sunat jasmani adalah untuk dipertahankan. Tetapi biarlah ia mendengar apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus yang berkata menentang dia: “…jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu” (Gal 5:2).

5. Apakah yang diajarkan oleh Gereja Katolik?

Gereja Katolik, berpegang kepada Kitab Suci, mengajarkan bahwa hukum sunat jasmani dalam Perjanjian Lama merupakan tanda dan persiapan bagi penggenapannya dalam sunat rohani, yaitu Baptisan dalam Perjanjian Baru.

KGK 527 Penyunatan Yesus, pada hari kedelapan sesudah kelahiran-Nya (Bdk. Luk 2:21), adalah suatu bukti bahwa Ia termasuk dalam keturunan Abraham dalam bangsa perjanjian, bahwa Ia takluk kepada hukum (Bdk. Gal 4:4) dan ditugaskan untuk ibadah Israel, yang dalamnya Ia akan mengambil bagian sepanjang hidup-Nya. Ia adalah pratanda “penyunatan yang diberikan Kristus”: “Pembaptisan” (Kol 2:11-12).

KGK 1150 Tanda-tanda perjanjian. Bangsa terpilih menerima dari Allah tanda-tanda dan lambang-lambang khusus, yang menandakan kehidupan liturginya. Mereka bukan lagi hanya gambaran tentang peraturan dalam kosmos dan bukan lagi hanya isyarat-isyarat sosial, melainkan tanda-tanda perjanjian dan lambang karya agung Allah untuk umat-Nya. Penyunatan, pengurapan, dan penahbisan para raja dan para imam, peletakan tangan, persembahan, dan terutama Paska, termasuk tanda-tanda liturgis Perjanjian Lama ini. Gereja melihat di dalam tanda-tanda ini pratanda Sakramen-sakramen Perjanjian Baru.

Oleh karena itu, setelah digenapi dalam Baptisan, Gereja tidak lagi kembali kepada hukum yang lama. Hukum sunat jasmani itu tidak untuk dianggap batal ataupun tidak ada, sebaliknya, tetap diakui sebagai gambaran Baptisan, namun pelaksanaannya disempurnakan. Prinsip dasar sunat, yaitu untuk meninggalkan kedagingan manusia yang lama, tetap disyaratkan, namun perwujudannya tidak secara jasmani, tetapi secara rohani, sebagaimana sejak awal direncanakan Allah (Ul 10:16). 

Setelah maksud sunat rohani tersebut, yaitu pertobatan, telah dipahami oleh umat-Nya, maka sunat jasmani tidak lagi disyaratkan. 

Keselamatan tidak diperoleh melalui sesuatu yang sifatnya jasmani semata, tetapi oleh sesuatu yang rohani. 

Sebab makna Baptisan itu tidak saja mencakup pertobatan, tetapi juga karunia kehidupan baru yang ilahi di dalam Kristus, yang menghantar kepada keselamatan kekal. 

Dan jika makna yang sempurna ini telah diperoleh di dalam Kristus, maka Gereja tidak dapat kembali ke makna samar-samar di zaman Perjanjian Lama saat penggenapannya di dalam Kristus belum terjadi. 

Hal yang serupa adalah pemaknaan Hari Tuhan, yang merupakan penggenapan makna hari Sabat pada Perjanjian Lama.

6. Jadi bagaimana sekarang, perlukah kita disunat?

“Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.” (1 Kor 7:19). Dengan mengetahui bahwa yang terpenting adalah sunat rohani, maka sekarang tidaklah menjadi penting, sunat atau tidak bersunat, asalkan kita melakukan hukum-hukum Allah terutama hukum kasih. 

Maka jika seseorang Katolik tidak disunat, itu disebabkan karena itu sudah bukan keharusan bagi kita sebagai pengikut Kristus, sebab keselamatan kita tidak diperoleh dari sunat/hukum Taurat tetapi oleh iman akan Kristus Tuhan.

Dengan demikian, seperti telah disampaikan di atas, “sunat” dalam Perjanjian Lama adalah persiapan/ gambaran dari Pembaptisan di Perjanjian Baru. 

Yesus memperbaharui dan menggenapi hukum Taurat dengan memberikan hukum yang baru; Yesus tidak membatalkannya, namun menyempurnakannya dan memberikan arti yang lebih penuh terhadap apa yang ditentukan dalam hukum Taurat Musa. 

Bahwa kekudusan tidak hanya sesuatu yang terlihat dari luar namun lebih kepada apa yang ada di dalam hati. Dan kekudusan yang sejati inilah yang menghantar kita kepada keselamatan kekal.

Di sinilah kita melihat kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 

St. Thomas Aquinas pernah mengajarkan tentang 3 jenis hukum yang ada dalam Perjanjian Lama, dan bagaimana Yesus menggenapinya dalam Perjanjian Baru (lih. Hukum Taurat » “Kamus”). 

CATATAN KAKI:

St. Athanasius, on Lk. 2:23; dikutip oleh St. Thomas dalam ST, III, q. 37, a. 3, ad 2. [↩]

(Sumber: Mengapa Yesus disunat, kita tidak?, katolisitas.org)