02.09 -
*Hati*
Teguran Batin
Dalam perjalanan ke bengkel dia di telpon teman-temannya untuk nonton film kesukaannya, aktornya adalah idolanya. Dalam kebimbangannya antara nonton dulu atau ke bengkel dulu ... akhirnya dia memutuskan pergi nonton dulu baru ke bengkel.
Ternyata sehabis menonton teman-teman tidak langsung pulang, mereka makan-makan, minum-minum sambil mengobrol.
Tanpa disadarinya hari sudah menjadi sore dan bengkel sudah tutup. Sepanjang jalan dia sibuk menyusun argumentasi untuk dikatakan pada papanya.
Sampai di kantor papanya, dia tidak berani menatap mata papanya, matanya sambil melirik-lirik berkata: “Pa, kata orang bengkel, mobil ini besok harus dibawa lagi ke sana karena masih ada yang belum beres. Sebenarnya ini harus ditinggal, tapi aku maksa bawa pulang untuk jemput papa.”
Papanya bilang: “Mungkin ada yang salah pada papa dalam mendidikmu selama ini. Karena kamu tidak mau berkata yang sebenarnya.”
Lalu anaknya bilang: “Maksudnya ... apa pa?” Papanya bilang: “Okey... karena papa selama ini ternyata salah dalam mendidikmu, maka papa akan pulang berjalan kaki sambil merenungi kesalahan apa yang papa perbuat.”
Papanya segera melangkahkan kakinya ke luar kantor dan anaknya mengejar sambil berkata: “Jangan begitu ... pa ...”
Papanya tersenyum dan tidak ada marah diwajahmya berkata: “Tidak apa-apa, papa mau jalan kaki saja.”
Jarak dari kantor ke rumah adalah 35 km; papanya yang sudah berumur 52 tahun berjalan pelan sambil tertunduk. Meskipun dibujuk terus papanya tidak mau naik mobil ... papanya sudah berjalan 1 jam 45 menit.
Ketika dia mengikuti papanya dengan mobil, hatinya galau, ada sesuatu yang menyesakkan dadanya (batinnya berperang) dan air matanya pun mulai mengaburkan pandangannya.
Ketika hampir dua jam papanya berjalan, dia memutuskan menghentikan mobilnya, dia berlari mengejar dan memeluk papanya dari belakang sambil berkata: “Pa ... maafkan aku, tadi memang aku tidak ke bengkel tapi pergi nonton bersama Heni lalu makan-makan ...”
Dia belum selesai bicara, papanya menutup mulutnya sambil mengelusnya dan tersenyum, membimbingnya masuk ke mobil sambil berkata: “Papa sudah tahu, sebenarnya tadi siang papa menelpon ke bengkel. Tapi mereka mengatakan mobil belum datang sejak pagi. Jadi papa mau engkau mengatakan yang sebenarnya tanpa menceritakan ditelnya.”
Ternyata teguran batin tersebut lebih dalam bekasnya dalam diriku daripada teguran secara fisik. Sejak saat itu aku bersumpah tidak ingin melihat papaku menghukum dirinya karena perbuatanku.
Aku membayangkan, jika saat itu papaku memarahiku, mungkin hingga kini aku sudah melakukan sekian puluh kali kebohongan.
(Sumber: Warta KPI TL No. 42/X/2007; Renungan KPI TL Tgl 13 September 2007, Dra Yovita Baskoro, MM)