Kamis, 04 Agustus 2016

23.42 -

Dosa ringan

Dosa ringan adalah 'dosa' dalam arti analog, yakni suatu perbuatan salah yang dilakukan dengan kurang bebas (setengah dipaksa atau dihalangi) karena kurang pengertian, atau menyangkut hal yang tidak begitu penting, karena tidak termasuk pola asasi dunia ciptaan atau penebusan.



Oleh karena itu, pendosa tidak memalingkan-diri secara radikal dari Allah, walaupun tidak melaksanakan kehendak-Nya dengan sempurna.



(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ).

23.37 -

Dosa melawan Roh Kudus

Dosa melawan Roh Kudus, yang menurut Mat 12:31 tidak dapat diampuni, adalah (menurut para teolog): berdosa seenaknya karena Allah rahim, putus asa karena tidak percaya bahwa Allah mengampuni, bertekad tidak mau menurut kebenaran yang sudah diketahui, iri hati atas rahmat orang lain, menolak rahmat dan menunda pertobatan.



Dosa-dosa ini semua menghalangi Roh Kudus bersemayan di hati sehingga orang seperti itu tidak dapat dibenarkan.



(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ).

21.55 -

Dosa-dosa pokok

Dosa-dosa pokok ialah sikap salah yang menimbulkan banyak dosa lain, yaitu : sombong, kikir, cabul, gelojoh, iri hati, marah dan makas. Kebalikannya adalah keutamaan pokok, yakni: kerendahan hati, kemurahan hati, kemurnian, kelembutan, kesederhanaan, kasih persaudaraan dan kerajinan.

(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ).

21.51 -

Dosa berat

Dosa berat adalah dosa dalam arti sesungguhnya, yakni perbuatan bebas, yang merugikan kemanusiaan pelakunya sendiri dan/atau orang lain dan karenanya berlawanan dengan kehendak Allah.

Dosa ini menyangkut inti pribadi seseorang, yang memalingkan diri dari Allah dan memutlakkan kepentingan atau makhluk ciptaan.

Prasyarat untuk dosa berat ini adalah suatu keputusan yang menyangkut seluruh diri manusia yang bersangkutan, walaupun hal ini tidak selalu perlu disadari secara refleks.

Maka, yang diperlukan adalah pengertian yang mencukupi tentang apa yang terjadi, persetujuan genap dan perkara yang sungguh penting.

Keputusan melawan kehendak Allah serupa ini menghilangkan kehidupan ilahi atau rahmat dari pelaku dosa itu.

Jika pendosa mati tanpa bertobat secara radikal, ia takkan mampu menikmati kehidupan abadi bersama Allah. Maka, pendosa harus bertobat dengan sungguh-sungguh dan (bagi seorang Katolik) wajib menerima Sakramen Tobat secepat mungkin.

(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ).

21.46 -

Dosa asal


Dosa asal/warisan lazimnya berarti (1) dosa pertama, yaitu dosa yang dilakukan dan harus dipertanggungjawabkan oleh manusia pertama saja (Kej 2-3 dan Rm 5). Dosa ini mencemarkan/mengenai semua orang bukan karena diikuti/diturutinya, melainkan karena mereka berasal dari Adam.



Maka, dosa asal disebut (2) akibat-akibat dari dosa pertama itu, yakni (a) atas usaha sendiri orang tidak lagi sanggup memperoleh keselamatan (b) semua manusia dari dirinya sendiri tidak lagi terbuka pada hidup atau rahmat ilahi (Rm 5). 



Keadaan ini tidak berkenan pada Allah, maka dianggap 'dosa' dalam arti analog. Karena itu anusia tidak dapat membebaskan diri dari situasi yang tercemar dosa dan tidak semestinya itu, maka ia memerlukan penebus.


Manusia memang tak berhak menerima rahmat, yaitu persahabatan atau pemberian Diri Allah Yang Mahakudus, - sebab, semata-mata merupakan hadiah cuma-cuma.

Di lain pihak rahmat itu menguduskan manusia sebelum dapat berbuat sesuatu yang baik, dan seharusnya dimiliki setiap orang, supaya dapat hidup selamanya dan dalam arti kata sebenarnya. 

Artinya, hidup bersama dengan Sang Penciptanya yang mengadakan dan memanggil manusia kepada-Nya dalam cintakasih-Nya yang tak terhingga itu.

Hidup ini bukan hak manusia, melainkan kerinduannya. Rahmat - dipandang dari pihak manusia - adalah permulaan kehidupan ilahi yang mencapai penyelesaiannya dalam persatuan akrab dengan Allah. Persatuan ini lazimnya kita sebut sorga.

Hampa akan rahmat itu merupakan hal yang tidak diinginkan Allah dan mengakibatkan keadaan yang analog dengan situasi yang diakibatkan oleh dosa berat sebagai perbuatan pribadi. 

Keadaan yang diakibatkan oleh dosa - Adam menyangkut seluruh keturunannya, tetapi tidak termasuk tanggungjawab mereka, maka tidak dapat diatasi dengan bertobat.

Oleh karena itu, dosa asal sebagai situasi yang semestinya tidak ada, hanya dapat disebut 'dosa' dalam arti kiasan (analog), yaitu keadaan seluruh umat manusia yang diresapi akibat-akibat dosa dan kesalahan (guilt). Bahwa keadaan kita demikian, itu menjadi pengalaman sehari-hari.

Dosa asal harus dilihat pada latarbelakang, bahwa baik keselamatan maupun kemalangan bersifat sosial juga, bukan individual semata-mata. Perbuatan baik dan jahat setiap orang bukan masalah dia saja. Kesehatan umat beriman (dan masyarakat) diwarnai oleh baik/buruknya anggotanya.

'Reformasi' tidak jalan bukan karena tiada metode, sarana dan keinginan, melainkan karena tiada orang yang lurus.

Mengapa dan bagaimana keadaan universal itu dapat terjadi, diterangkan dengan bantuan gambaran dosa pertama 'Adam', yang akibat-akibatnya dialami oleh kita semua. Yakni: manusia, sejak permulaan (baik sebagai individu maupun sebagai keseluruhan) cenderung pada yang jahat (Kej 8;21).

Pengalaman sehari-hari membuktikan, bahwa secara spontan manusia tidak bertindak 'manusiawi' seperti yang diinginkan oleh Penciptanya. Kodrat manusia terluka sangat mendalam.

Persahabatan dengan Penciptanya bukan sesuatu yang timbul dengan sendirinya dari lubuk hati manusia. Semua manusia dijangkiti sesuatu yang tidak sesuai dengan kodrat mereka seperti dicita-citakan Sang Pencipta.

Keadaan yang tidak wajar, tetapi nyata itu, diakui oleh seluruh agama (Bdk. Misalnya Surah Alquran 2,76; 3,72; 5,61; 6,43; 7,94 dst, 18,54 dst; semacam solidaritas jahat manusia untuk menentang Tuhan: 5,78; 8:73;21, 54).

Menurut Kitab Suci Kristen jalan keluar dari keadaan buruk itu adalah: Tuhan menyelamatkan kita dengan perantaraan Yesus Kristus, Sang Penebus.

Keadaan universal yang tidak baik itu mustahil diciptakan oleh Yang Mahabaik. Perbuatan 'Adam dan Hawa' itulah alteologi tentang pangkal-tolak kejahatan dalam dunia ini.

Semua agama sedunia mengakui keadaan-yang-penuh-kesalahan-dan-derita, tetapi berbeda pendapat tentang bagaimana mengatasinya. Semua agama besar mengakui adanya dosa dan kesalahan (guilt), tetapi berbeda pendapat tentang cara manusia dapat keluar dari keadaan itu.

Hinduisme dan Budhiisme menekankan usaha keras manusia, supaya makin lama makin bebas dari hukum karma. Islam menekankan bahwa Allah Yang Mahapengampun memungkinkan pertobatan manusia (Bdk. Surat 9, 118) sehingga diampuni.

Mengapa dosa asal (1) dengan akibatnya (2) dibiarkan terjadi oleh Sang Pencipta tidak dapat kita mengerti seluruhnya. Memang kalau Tuhan hendak menciptakan makhluk yang dapat mencintai-Nya, mau-tak-mau makhluk ini harus diberikan kebebasan.

Dan kebebasan ini dapat disalahgunakan. Maka, terjadi yang-jahat. Tentu saja, keputusan salah/jahat dapat Tuhan hindari - tanpa memaksa - dengan memberi rahmat berlimpah dan bukan hanya yang mencukupi.

Mengapa Tuhan tidak berbuat demikian? Kita tidak (diberi)tahu. Tetapi kita diberitahu, bahwa Tuhan hendak menyempurnakan penciptaan-Nya dengan penebusan, yang hasilnya jauh melebihi suatu penciptaan tanpa (dosa dan) penebusan; Bdk. felix culpa pada upacara Malam Paskah.

Penyelamatan manusia dalam Kristus lebih utama, lebih mutlak dan lebih baik bagi manusia dari pada dipertahankan dalam keadaan seperti diciptakan (maksudnya tanpa dosa).

Misteri dosa asal terletak pada misteri penebusan atau pemberian-Diri Allah dalam Kristus sebagai Rahmat Universal. Maka, ajaran tentang dosa asal harus dipandang dalam rangka penebusan, sebagai karya Allah yang melampaui penciptaan-Nya.

Bagaimana dosa asal yang satu ini berhubungan dengan dosa-dosa umat manusia sesudahnya? Ada yang mencari jawaban secara historis-teologis tentang bagaimana dahulu terjadinya; ada lagi yang memandang ajaran tentang dosa asal sebagai ajaran dalam bentuk historis tentang keberadaan manusia dan dunia sekarang ini.

Ada teolog yang berpandangan, bahwa ajaran tentang dosa asal adalah semacam 'teologi sejarah' umat manusia untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana mungkin dunia ciptaan Tuhan ini penuh kejahatan?

Lalu disimpulkan, bahwa dunia ini bukan seperti yang dikehendaki Tuhan. Maka, dunia ini harus dibebaskan dari keadaan buruknya. Hal ini hanya mungkin, jika manusia bersedia ditebus oleh Kristus dan dalam kekuatan rahmat-Nya melanjutkan penebusan Kristus itu.

Dosa asal menjadi paling nyata dalam (a) kematian yang dialami sebagai kehancuran manusia serta penuh kegelapan dan (b) dalam menyiksa dan menteror sesama manusia hanya karena suka melihat manusia menderita.

Contoh: Pembantaian Jenghis Khan, KH Nazi, Gullah komunis, penyiksaan Tapol sesudah G 30 S dan pembunuhan ngeri yang dilakukan oleh rezim Polpot di Kamboja.

Peristiwa kesetanan seperti ini tidak jarang terjadi di mana-mana dan tidak dapat di-'terang'-kan dengan sakit jiwa. Jiwa manusia gelap.

Akibat dosa asal ditiadakan oleh iman yang dinyatakan dalam Sakramen Pembaptisan, yang oleh karena itu harus diterima oleh orang yang percaya akan Kristus.

Maka sebelum manusia mengambil keputusan apapun (untuk beriman/mencinta; untuk berdosa), situasinya sudah tidak netral lagi: 'Dalam' Adam ia kena dosa asal (keadaan tanpa rahmat); 'dalam' Kristus ia dipanggil dan disanggupkan menjadi anak Allah.

Ia bebas untuk menyetujui keadaan yang diwariskan dari Adam atau untuk membuka-diri supaya diubah secara total oleh rahmat penebusan dan pengudusan yang diperoleh Kristus bagi seluruh umat manusia.

Hanya kemanusiaan Kristus yang tidak (dapat) kena dosa asal, dan Maria karena dilindungi terhadap dosa asal sejak semula berkat jasa Puteranya.

Martin Luther menolak pandangan beberapa teolog, bahwa manusia sanggup mencintai Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya, - tanpa rahmat mendahului segala keputusan serta perbuatannya (sola gratia).

Manusia tidak hanya kehilangan keadaan semula yang baik, tetapi menjadi dan tetap, walaupun dibaptis, ingin berbuat jahat (peccatumnregnatum).

Teologi Protestan dan Katolik berpegang pada ajaran, bahwa yang belum ditebus, dikuasai dosa sehingga tidak berkenan pada Allah.

Menurut pandangan Katolik: Pembaptisan membenarkan manusia sehingga menjadi baik, walaupun lemah sehingga mudah berdosa.

Walaupun istilah 'dosa asal/warisan' tidak terdapat dalam Kitab Suci, namun apa yang dimaksudkan sesuai dengan berbagai perkataan Yesus tentang kekuasaan dosa dan setan, tentang kejahatan dan kelemahan manusia untuk berbuat baik: 'Tanpa Aku, kamu tidak dapat berbuat apapun' (yang baik) (Yoh 15:5).

Dalam Surat Roma bab 5, Paulus menjelaskan, bahwa semua orang perlu ditebus, karena sejak Adam semua orang berdosa. Ajaran tentang dosa asal dikembangkan oleh St. Agustinus. Gereja Timur menekankan akibat-akibat dosa Adam dan Hawa bagi seluruh umat manusia.

(Sumber: Ensiklopedi Gereja, A. Heuken SJ).

00.51 -

Karunia air mata



Akibat pendidikan yang kita terima, kita biasa menahan air mata sedapat mungkin. Jika seseorang menjauhi penderitaan yang harus dihadapinya, ia melarikan diri ke dalam penyakit.

Perasaan yang ditekan, biasanya menyatakan diri dalam gangguan atau keluhan neurotis (sakit syaraf).

Orang baru bisa mulai disembuhkan, jika ia menerima baik rasa sakit yang ditekan atau penderitaan yang ditolak. Penerimaan itu biasanya disertai tangisan hebat, yang melepaskan hati manusia dari beban perasaan yang tertumpuk dan sekarang dapat dibuang. 

Air mata meringankan rasa sakit, karena dengan menangis orang menjadi bebas dari padanya. Air mata tiba-tiba menjadi air yang membebaskan, melepaskan dan membahagiakan. Rasa sakit berubah menjadi rasa sukacita

Dalam hatinya manusia mengalami keutuhan, yang tidak terancam lagi oleh suatu rasa sakit, dan suatu kesukaan yang tidak dapat diganggu lagi oleh kekecewaan dan kegagalan. Itulah keselamatan dari Allah yang mengatasi segala duka dalam hidup manusia.

Sengsaraku Engkaulah yang menghitung-hitung,
air mataku Kautaruh ke dalam kirbatMu.
(Mzm 56:9)

Para rahib kuno membeda-bedakan bermacam-macam jenis air mata. Air mata kekanak-kanakan, bila orang menangis karena keinginannya tidak dipenuhi; air mata sakit hati, ketakutan, kemarahan atau keberangan; air mata karena orang merasa tak mampu berhasil atau karena merasa kasihan dengan dirinya sendiri. 

Semua jenis air mata itu jelas tidak menyembuhkan orang, malahan memperkuat sikap hati yang keliru: ia tambah marah atau berang, ia semakin merasa sakit atau berbelaskasihan dengan dirinya.

Selain air mata yang bersumber pada ketakutan, kesusahan dan derita, dan yang menekan hati, ada juga air mata yang disebabkan sengat dosa yang melukai hati, renungan akan harta kekal serta kerinduan akan kemuliaan yang mendatang ataupun rasa takut akan neraka atau oleh rasa sedih karena melihat orang lain berjiwa keras dan buta. 

Air mata yang dipuji-puji oleh para rahib ialah air mata sesal atas kedosaannya sendiri dan sekaligus tanda kerinduan akan keselamatan yang dari Allah.

Air mata mencuci bersih dari dosa, menghapus segala bekas yang ditinggalkan dosa dalam hati, membersihkan hati, membasuh jiwa sehingga bersih, segar dan lega. 

Air mata menyuburkan dan menghidupkan jiwa, menciptakan kedamaian batin yang mendalam, melenyapkan hawa nafsu dan pikiran yang mengacau, melindungi terhadap pikiran melayang dan membuat roh berpusat dalam doa murni kepada Allah. 

Air mata mematahkan kekuatan kesombongan, mengusir segala pikiran yang dengan sombong mau dipegang oleh orang, menyerahkan hati kepada cinta Allah dan memenuhinya dengan sukacita.

Air mata melenyapkan ketakutan,
dan di mana ketakutan sudah lenyap,
bersinarlah cahaya sukacita yang jernih,
dan dari sukacita yang tak dapat binasa itu
berkembanglah cinta Allah yang suci
(Klimakus)

Doa menghasilkan pengenalan diri. Mengenal diri dalam doa tidak terjadi di tingkat pengetahuan akal budi, melainkan dalam suatu perjumpaan yang menyentuh hati

Di hadapan Allah yang mengasihi kita dan memandang kita penuh kasih sayang, kita menjadi sadar akan dosa kita sehingga merasa sedih

Rasa sedih itu tak lain ialah kerinduan akan keselamatan, keutuhan, keseimbangan antara jiwa-raga, kedamaian dan kemampuan untuk dapat mencinta dengan kasih tak terbagi.

Orang yang tidak dapat menangis,
berjiwa keras dan membuktikan kejenuhan rohani.
(Evagrius)

Dalam tangisan kita disentuh oleh Allah secara langsung, dengan tidak memakai pengantara gambar atau kata. Allah sendiri menguasai kita. Maka putuslah segala macam hubungan di mana saya sendiri masih dapat berkuasa menurut keputusan saya sendiri. Sekarang tinggal saja satu hubungan ialah menyerah dan melepaskan segala macam hubungan. 

Dalam tangisan itu kita sudah tidak mau mencapai suatu hasil lagi, kita hanya membiarkan diri kita disentuh dan dikuasai. Namun, air mata bukan satu-satunya tanda bukti bahwa kita menyerah tanpa syarat atau mencari rasa yang mengharukan untuk menikmatinya.

Air mata mempersatukan kembali jiwa dan raga. Rasa sedih itu timbul justru karena raga dan jiwa berlawanan satu sama lain, yang selalu timbul dalam dosa. Jiwa dan raga, budi dan perasaan kehilangan kesatuannya akibat dosa. 

Air mata memulihkan kembali keseimbangan antara yang rohani dan jasmani, antara budi dan perasaan dan memulihkan kembali juga kesatuan di dalam diri manusia.

Orang yang merindukan karunia ini, harus menyediakan banyak waktu untuk membiasakan hatinya terus-menerus merenungkan dosanya serta hukumannya, dengan seluruh pikirannya membayangkan kuburannya dan betapa singkat sisa hidupnya.


(Sumber: Warta KPI TL No.105/I/2013 » Doa dan Mengenal Diri, Anselm Grun, OSB).

Senin, 01 Agustus 2016

23.04 -

Apakah Yudas Iskariot berjasa dalam karya keselamatan manusia?



Sebagai orang awam, kita mengalami kebingunan untuk menjawab pertanyaan di atas. Untuk dapat memahami tokoh “Yudas Iskariot” kita harus memahami cara menafsirkan Kitab Suci dan memahami antara Penyelenggaraan Ilahi dan kehendak bebas manusia.

Bertanya untuk menggali pengertian yang lebih mendalam adalah bagian dari penghayatan iman yang bertanggung jawab (fides quaerens intellectum).

Ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya.

Untuk mempertanggungjawabkan iman kita, kita harus memahami ajaran Gereja tentang menafsirkan Kitab Suci. Sebab Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri sebab ada kemungkinan dapat diartikan keliru (2 Ptr 1:20-21; 2 Ptr 3:15-16).

Konsili Vatikan II memberikan tiga kriteria menafsirkan Kitab Suci sesuai dengan Roh yang telah mengilhaminya (DV 12, 3) (KGK 111-114).


1. Memperhatikan dengan seksama "isi dan kesatuan seluruh Kitab Suci"

2. Membaca Kitab Suci "dalam terang tradisi hidup seluruh Gereja"

3. Memperhatikan “analogi iman"

Dengan memperhatikan ketiga hal ini, kita perlu juga memahami "Tipologi", untuk melihat kaitan antara Kitab Suci Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.

Ayat- ayat yang menunjukkan tipologis Perjanjian Lama digenapi dalam Perjanjian Baru menerangkan bagaimana Kristus dan Gereja-Nya telah dinyatakan secara figuratif di dalam PL. Selubung masih tetap menyelubungi, jika membaca Perjanjian Lama tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya (KGK 128-1302 Kor 3:14).

Mensyukuri pengkhianatan Yudas?

Yudas Iskariot adalah seorang pencuri, sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya  (Yoh 12:6) » Yesus tidak memecat Yudas sebab “rencana Bapa-Nya harus terlaksana". 

Apakah kita harus berterima kasih kepada Yudas karena sebenarnya ia telah "sukses" dengan peran jahatnya yang harus terlaksana?

Dari beberapa nas PL dan PB, saya sering menyimpulkan bahwa Yesus itu sudah "diprogram" untuk menderita sengsara, wafat dan bangkit.  Oleh karena itu apakah tidak seharusnya kita berterima kasih kepada Yudas Iskariot yang telah terlibat dalam penderitaan dan wafat Yesus?

Dua pertanyaan di atas sebenarnya berkaitan dengan problem klasik tentang bagaimana hubungan antara Penyelenggaraan Ilahi dan kehendak bebas manusia.

Allah adalah awal dan tujuan akhir serta pendukung alam semesta dengan tata sebab-akibatnya (Bdk. 1 Kor 4:7; Flp 2:13). Segala sesuatu tergantung pada Allah sebagai sebab pertama dan universal. Juga kebaikan moral yang ada dalam setiap keputusan dan tindakan tergantung dari rahmat Allah.

Allah tetap menghargai sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi di antara ciptaan. Artinya Penyelenggaraan Ilahi tidak menghapuskan tapi malah mendukung kebebasan manusia.

Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segaIa perbuatannya.

Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri (Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan” (GS 17).

Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, ia tuan atas tingkah lakunya” (St. Ireneus, Against Heresies/Adv. haeres. 4,4,3) (KGK 1730).

Maka dengan pengertian ini, kita mengetahui Allah tidak dengan secara aktif menentukan segala sesuatu bagi manusia tanpa melibatkan kehendak bebas manusia, sebab jika demikian manusia hidup seperti robot saja, dan tidak mungkin dapat dikatakan berakal budi dan mempunyai citra Allah.

Juga, Allah tidak mungkin secara aktif menjadikan manusia berdosa; sebab itu bertentangan dengan hakekat Allah yang penuh kasih, sehingga tak mungkin Ia ‘menjerumuskan’ manusia ke dalam dosa.

Allah menciptakan manusia dengan menganugerahinya kebebasan. Kebebasan ini adalah salah satu unsur yang membuat manusia secitra dan gambaran dengan Allah.

Karena itu manusia dipanggil untuk menggunakan kebebasannya untuk menanggapi rencana keselamatan Allah. Dengan demikian, manusia menjadi mitra dan kekasih Allah yang semakin menyerupai Dia.

Kausalitas vertikal Allah tidak membatalkan kausalitas horizontal ciptaan. Hanya Allah yang bisa memberikan kekuatan fisik pada segala sesuatu tanpa mengharuskan penerima menjadi boneka atau kehilangan kebebasannya.

Inilah misteri kuasa Allah yang tak terbatas dalam pergaulan-Nya dengan kehendak bebas manusia sebagai ciptaan. Kemampuan ilahi inilah yang tidak bisa ditiru atau dimiliki oleh ciptaan manapun. Jadi harus ditegaskan bahwa Allah Sang Kebaikan itu pasti tidak menghendaki yang jahat.

Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah bisa menggunakan kejadian-kejadian, bahkan yang jahat dan tidak baik itu, menurut rencana-Nya dan untuk kebaikan-Nya (Rm 8:28 » Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan).

Kitab Suci menyatakan dengan cukup jelas bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Dia mengatur peristiwa-peristiwa untuk melindungi mereka yang dipilih-Nya.

Yusuf meyakinkan saudara-saudaranya: "Memang kamu telah mereka-reka yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar." (Kej 50:19-21).

Kasus pengkhianatan Yudas Iskariot sering membuat orang bingung. Kalau pengkhianatannya sudah dinubuatkan sejak dulu, apakah dia masih memiliki kebebasan kehendak? 

Injil Yohanes dengan jelas menunjukkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Yudas ketika Yesus berkata: "Dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya." (Yoh 19:11). 

Yudas mempunyai kehendak bebas, dia menggunakan kebebasannya, memilih berbuat dosa. Jadi, Yudas bukanlah pahlawan, tetapi tetap pengkhianat. Pilihan kejahatan yang dilakukannya harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah.

Pertanyaan hipotesis, lalu apa yang akan terjadi seandainya Yudas memutuskan untuk tidak mengkhianati Yesus? Jika demikian, Allah dengan kemahakuasaan-Nya akan menggunakan sarana dan kejadian lain. Yang pasti, rencana-Nya akan terlaksana. Dengan cara bagaimana? Kita tidak tahu.

Ada dua kisah kematian Yudas Iskariot (Mat 27:3-9; Kis 1:16-19). Rincian dari kisah itu sangat berbeda satu dengan lainnya, seakan-akan sulit sekali untuk didamaikan.

Berdasarkan fakta ini, kita diingatkan bahwa Kitab Suci bukanlah sebuah laporan historis tentang peristiwa-peristiwa, tetapi sebuah ungkapan iman yang tetap didasarkan pada data historis sebagai substansinya.

Kisah kematian Yudas Iskariot dari Kis 1:18 merujuk dari Keb 4:18-19

Orang fasik melihat lalu menghina, mereka akan ditertawakan Tuhan. Sesudahnya mereka menjadi mayat terhina, dan di tengah-tengah orang mati menjadi buah cemooh selama-lamanya. Terpelanting tak bersuara mereka dicampakkan Tuhan, dan digoyangkan-Nya dari dasar-dasarnya. Mereka akan dimusnahkan sama sekali dan akan berada dalam sengsara. Maka kenangan kepada mereka akan lenyap (Keb 4:18-19).

Yudas jatuh tertelungkup, dan perutnya terbelah sehingga semua isinya tertumpah keluar (Kis 1:18).

» Perlu diingat bahwa pada zaman dahulu, sangatlah penting memberikan pemakaman yang layak untuk orang yang meninggal. Tidak ada nista yang lebih besar dan mengerikan dari pada seorang yang meninggal dan jenazahnya tidak dimakamkan.

Kisah kematian Yudas dalam Kisah Para Rasul adalah cerita yang disebarkan orang-orang Kristiani pertama, yang kemudian dilebih-lebihkan, dan didasarkan pada Kitab Kebijaksanaan (kematian tak wajar » kematian para pendosa atau musuh Allah yang melawan rencana Ilahi).

Kisah kematian Yudas Iskariot dari  Mat 27:3-5 merujuk dari 2 Sam 17:23

Ahitofel sahabat raja, penasihat raja (1 Taw 27:33). Kepadanya Daud mempercayakan banyak rahasia kerajaannya, tetapi Ahitofel mengkhianati Daud dan berpihak pada musuh-musuh Daud. Ketika nasehatnya tidak dipedulikan ... kemudian menggantung diri (2 Sam 17:23).

Yudas adalah salah satu murid Yesus (Mat 10:4), yakni kelompok murid yang paling dekat dengan Yesus, bahkan dipercaya memegang kas. Akan tetapi ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya (Yoh 12:6; 13:29).

Yudas rela "menjual" Gurunya dengan harga yang begitu rendah, motivasi utama pengkhianatannya adalah keserakahan akan uang.  

Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia ... lalu pergi dari situ dan menggantung diri  (Mat 27:3, 5).

» Cara kematian Yudas, sahabat baik Yesus, dilukiskan mirip dengan cara kematian Ahitofel, sahabat baik Daud.

Matius menulis Injilnya untuk orang-orang Yahudi, satu-satunya penginjil yang menceritakan akhir hidup Yudas, tetapi  tidak bermaksud menyajikan data historis tentang nasib Yudas.

Misi utama Matius hendak mewartakan Yesus sebagai Daud baru (Tipologi), Mesias yang dinantikan orang Israel. Hal ini ditekankan oleh Matius dari sejak kelahiran sampai pada saat kematian Yesus, termasuk kematian Yudas.

Akhir hidup Petrus dan Yudas Iskariot

Yesus ditangkap ... Petrus mengikuti dari jauh ... Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya: “Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku.” Lalu ia pergi dan menangis dengan sedihnya (Luk 22: 54-62).

» Dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan (2 Kor 7:10). Penyesalan ini adalah keinsyafan yang diberikan oleh Roh Allah (Yoh 16:8-11 » Ia akan menginsyafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman).

Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: "Bukan aku ya Rabi?" 

» Dari cara Yudas memanggil Yesus yang berbeda dengan cara murid-murid lain, penginjil Matius ingin menunjukkan bahwa Yudas sendiri sudah mulai memisahkan diri dari  lingkungan murid Yesus.

Yesus membalas salam dan ciuman Yudas dengan berkata: “Hai teman, untuk itukah engkau datang?” (Mat 26:50 

» Panggilan teman untuk mengingatkan Yudas bahwa ada ikatan yang pernah ada antara dia dan Yesus; Yesus ingin menegur Yudas sebagai orang yang bersalah).

Yesus mengetahui benar siapa yang akan mengkhianatinya. akan tetapi Dia diam saja; Dia tidak melakukan suatu tindakan pencegahan apapun. Dia seorang yang berserah kepada kehendak Bapa-Nya, sebab memang nasib-Nya sudah tersurat dalam Kitab Suci.

Di sinilah letak misterinya

Sulit sekali memahami bagaimana di satu sisi pengkhianatan Yudas sudah dinubuatkan dalam Kitab Suci, artinya sudah diketahui Allah jauh sebelumnya, tetapi di lain sisi Yudas tetap manusia yang bertanggungjawab sehingga Yesus bisa berkata: "Celakalah orang yang oleh-Nya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik orang itu kiranya ia tidak dilahirkan."

Namun, perlu dicatat di sini bahwa ungkapan yang kedengarannya sangat keras itu sebenarnya merupakan semacam kutukan yang biasa bagi orang-orang Yahudi.

Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia (Mat 27:3).

» Dukacita yang berasal dari dunia ini menghasilkan kematian (2 Kor 7:10). Penyesalan Yudas tidak berakhir dengan suatu pertobatan yang sejati, yakni dengan keputusan untuk kembali ke jalan yang benar. Tetapi malah melakukan bunuh diri yang merupakan dosa melawan perintah Tuhan, “Jangan membunuh” (Kel 20:13).

Penyesalan Yudas hanya memimpin kepada penyesalan, depresi, mengasihani diri sendiri, dan tanpa pengharapan. Dia tidak percaya kepada kerahiman Allah karena sudah memisahkan diri dari  lingkungan murid Yesus.

Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada Tuhan, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya (Yes 50:7); Pada-Mu ada pengampunan (Mzm 130:1-4).

Dua kisah ini sekilas memang bertentangan, tetapi dapat juga diperdamaikan dengan upaya rekontruksi sebagai berikut: Yudas memang bunuh diri dengan jalan menggantung diri. Akan tetapi, sewaktu ia menggantung diri pada satu dahan pohon, dahan itu patah sehingga Yudas jatuh ke tanah tepat di atas sesuatu yang tajam sehingga dia mati dengan isi perut tertumpah keluar.


(Sumber: Seri Konsultasi Iman 2, Dari Prapaskah sampai Paskah, Dr Petrus Maria Handoko, CM; Kisah Sengsara Yesus menurut Injil Matius, Dr. Hendricus Pidyarto, O.Carm).