21.02 -
*Orang Kudus dan tokoh Alkitab*
Santa Elisabeth dari Trinitas
Dari abad ke abad para ahli hidup rohani terpesona oleh Sang Mempelai yang hadir dalam lubuk terdalam hati mereka. Di sana mereka menemukan Sang Mempelai dan memandang keindahan-Nya.
Tulisan ini bermaksud memperkenalkan spiritualitas Santa Elisabeth dari Trinitas yang telah mencapai persatuan mistik melalui keterpusatannya kepada Allah Tritunggal yang hadir dalam lubuk hatinya. Inti spiritualitas Elisabeth berpusat pada kehadiran Allah Tritunggal dalam lubuk hati manusia (Inhabitasi Allah Tritunggal).
Latar Belakang Spiritualitas Elisabeth
Sebagaimana para kudus, Elisabeth menjadikan Injil sebagai pusat hidupnya. Ia senantiasa merenungkannya dalam kesunyian dan keheningan Karmel. Seperti dikatakan dalam Regula Karmel: “setiap orang harus tinggal dalam pondoknya, siang-malam berjaga-jaga dalam doa dan merenungkan hukum Tuhan.”
Dalam kesunyian dan keheningan itulah, Elisabeth menemukan makna terdalam dari Injil dan menghayatinya dalam kesehariannya di Karmel. Melalui Injil, Elisabeth sampai pada pengertian mendalam mengenai hakikat panggilan setiap orang Kristen, yaitu bersatu dengan Allah. Persatuan akan terjadi kalau seseorang tenggelam dalam jiwanya dan “berada sendirian dengan Yang Sendirian” (alone with The Alone).
Pengalaman Elisabeth akan misteri inhabitasi Allah Tritunggal yang dihayati secara mendalam dalam hidupnya didasarkan pada Kitab Suci. Untuk mendasari spritualitasnya, ia selalu kembali ke Kitab Suci sebagai referensi utamanya. Berulangkali ia mengutip Injil Yohanes dan surat-surat apostoliknya. Juga dijumpai di sana-sini dalam tulisannya ayat-ayat yang diambil dari surat-surat rasul Paulus yang kaya akan nilai teologis.
Sebagai seorang Karmelites, Elisabeth mewarisi kekayaan spritualitas Karmel yang diwariskan oleh para pendahulunya, yaitu Theresa Avila dan Yohanes Salib. Kedua tokoh Spanyol ini, begitu besar pengaruhnya terhadap perkembangan hidup rohani Elisabeth.
Mengikuti teladan Teresa Avila, Karmelites muda ini berkali-kali berbicara tentang lubuk jiwa sebagai tempat di mana Allah bersemayam (buku Puri Batin). Dalam lubuk jiwa manusia Sang Baginda (Tuhan) bersemayam laksana seorang raja agung menanti kedatangan mempelai wanita (manusia).
Teladan Yohanes Salib yang mengatakan bahwa persatuan yang mengubah itu (unio-transforman) tercapai di dalam lubuk terdalam dari jiwa seseorang melalui kematian dan penyangkalan diri.
Elisabeth mengarahkan seluruh hidupnya kepada persatuan dengan ketiga pribadi ilahi di dalam keheningan dan keterpusatan jiwanya. Dalam keheningan Karmel – yang disebutnya sebagai surga – Elisabeth melewati seluruh tahapan kematian, penyangkalan diri dan kesunyian batin untuk menenggelamkan dirinya di dalam suatu persatuan cinta kasih dengan Allah Tritunggal yang dikasihinya.
Menanggapi rahmat yang luar biasa ini, Elisabeth akhirnya melihat panggilannya dalam Gereja, seperti yang dikatakan dalam salah satu suratnya: “tampak bagiku bahwa kelak di dalam surga misiku adalah menarik jiwa-jiwa, yakni dengan menolong mereka keluar dari diri mereka sendiri untuk kemudian terpaut pada Allah lewat suatu gerakan yang penuh kasih dan sangat sederhana, dan membantu mereka untuk tetap tinggal dalam keheningan batin yang besar yang memberikan keleluasaan bagi Allah untuk menyatakan dirinya sendiri kepada mereka dan untuk mengubah mereka menjadi diri-Nya sendiri.”
Sekali lagi di sini tampak begitu besarnya pengaruh Yohanes Salib terutama tentang persatuan Transforman (persatuan yang mengubah) di mana dalam persatuan itu “jiwa menjadi lebih Allah dari pada jiwa”, sehingga benarlah apa yang diserukan oleh Santo Paulus, “aku hidup, tetapi bukan aku lagi yang hidup tetapi Allah yang hidup di dalam Aku” (Gal 2:20).
Rumah Kediaman Allah
Elisabeth dipanggil sesuai dengan arti namanya yaitu “Rumah Kediaman Allah.” Sesungguhnya panggilan ini merupakan panggilan semua orang Kristen. Dasarnya terdapat dalam surat rasul Paulus “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam dalam kamu” (1Kor 3:16). Atau “kita adalah bait Allah” (2 Kor 6:16).
Setiap orang Kristen karena rahmat pembaptisan telah dijadikan Allah sebagai bait-Nya yang kudus; tempat kediaman-Nya. Oleh karena itu, setiap orang kristen merupakan “rumah kediaman Allah.”
Elisabeth menulis tentang arti namanya ini sebagai berikut :
“Jiwaku telah menjadi bait kediaman-Nya, menjadi harta milik-Nya dan menjadi kerajaan-Nya. Aku terus hanya berpikir untuk menyerahkan hidupku bagi Allah, untuk melakukan beberapa balas jasa kecil bagi cinta kasih yang besar yang diberikan kekasihku dalam perayaan Ekaristi.”
Selanjutnya ia menulis:
“Aku telah menjadi milik Allah seluruhnya. Di tengah pelbagai pesta dan perjumpaan dengan orang-orang, aku tetap terpesona pada Guruku … Bagiku, tampaknya tidak ada sesuatu pun dapat melanturkan seseorang dari Dia, bila orang itu bertindak hanya untuk Dia, selalu di dalam hadirat-Nya yang kudus, selalu berada di bawah pandangan ilahi yang menembus sampai ke lubuk jiwa. Bahkan di tengah-tengah dunia ini tetaplah mungkin bagi kita untuk dapat mendengar Dia yaitu melalui keheningan sebuah hati yang merindukan untuk hidup hanya sendiri bersama dengan Dia.”
Untuk merasakan kehadiran Allah dalam jiwa kita, maka syarat mutlaknya keheningan sebuah hati. Melalui keheningan, orang Kristen dapat mendengar bisikan kasih Allah yang mengkomunikasikan diri-Nya. Elia di Gunung Horeb dapat merasakan kehadiran Allah dalam “angin sepoi-sepoi basah” (lambang keheningan).
Dipanggil kepada kekudusan
Konsili Vatikan II merumuskan hakikat panggilan setiap orang kristen dengan mengatakan:
“Makna luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mula manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup karena ia diciptakan oleh Allah dan tetap lestari hidup berkat cinta kasih-Nya (GS 19).
Antara panggilan kepada kekudusan – yang berpuncak pada persatuan dengan Allah – dan cinta kasih tidak dapat dipisahkan. Hakikat kekudusan adalah mencapai persatuan cinta kasih dengan Sang Cinta. Tetapi “bukan kita yang mengasihi Allah tetapi Allah yang mengasihi kita” (1Yoh 4:10).
Lebih lanjut Yohanes mengatakan, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16).
Santo Paulus mengatakan bahwa “cinta Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus yang diberikan kepada kita” (Rm 5:5).
Jadi gerakan cinta kasih pertama-tama berasal dari Allah melalui Putera-Nya dan setiap orang Kristen dipanggil untuk memasuki aliran cinta kasih Allah itu.
Elisabeth begitu terpesona oleh panggilan yang begitu luhur ini, bahwa sejak semula manusia berada dalam rencana Allah untuk memasuki persekutuan dengan-Nya. Melalui Yesus Kristus, Allah mengangkat kita menjadi putera-puteri-Nya. “Dalam kasih Allah telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1:5).
Menurut Elisabeth hal ini membawa kita kepada “lembah kemuliaan yang mendalam bahwa Allah telah menciptakan kita seturut gambaran dan keserupaan-Nya.”
Kata-kata Paulus dalam Rm 8:28-30 dipahami Elisabeth sebagai panggilan setiap individu tidak lain daripada suatu pemenuhan takdir sejak semula atau pemenuhan pilihan Allah: “Mereka yang ditentukan-Nya dari semula” (Rm 8:30a).
Bukankah kita adalah bagian dari bilangan mereka?...Ya kita memasuki bilangan mereka. Kita telah menjadi milik Allah melalui pembaptisan, hal inilah yang dimaksudkan Santo Paulus melalui perkataan ini: “mereka dipanggil-Nya.” Kita memang dipanggil untuk menerima meterai Roh Kudus.
Selanjutnya Ia telah membenarkan kita melalui sakramen-Nya, melalui sentuhan yang langsung dalam kontemplasi kita “di dalam lubuk jiwa kita yang terdalam.” Dan akhirnya Ia pun berkenan memuliakan kita, tetapi kita akan dimuliakan-Nya seturut seberapa besar kita telah dijadikan serupa dengan gambaran Anak-Nya yang kudus.” “Betapa kayanya kita di dalam kasih karunia Allah” kata Elisabeth,
“Kita telah ditentukan sejak semula untuk menerima adopsi ilahi menjadi anak-anak Allah, di mana karenanya kita menjadi ahli-ahli waris dari kekayaan kemuliaan-Nya! Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef 1:4).
Kita telah ditentukan dari semula melalui pengangkatan kodrat insani kita untuk mengambil bagian dalam citra Allah. Akan tetapi, pengangkatan kodrat ini tidak mengubah atau menghancurkan kodrat insani melainkan menyempurnakannya. Seperti dikatakan oleh Santo Agustinus: “Rahmat tidak menghancurkan kodrat tetapi menyempurnakannya.”
Akan tetapi bagi Elisabeth, pengangkatan kodrat ini sama sekali tidak meniadakan perjuangan. Ingat bahwa Elisabeth adalah murid Yohanes Salib yang mengajarkan bahwa untuk mencapai persatuan dengan Allah orang harus berjalan dalam kekosongan dan penyangkalan diri; “nada, nada, nada atau kosong, kosong, kosong.” Seperti yang ditulis Elisabeth,
“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rm 8:29). Hal ini yang tengah aku coba tanamkan pada diriku: menjadi serupa dan identik dengan Guruku yang kupuja, yang disalibkan demi kasih! Barulah kemudian aku akan mampu memenuhi tugasku untuk menjadi suatu pujian bagi kemuliaan Allah (Laudem Gloriae)."
Atau seperti yang dikatakan dalam salah satu suratnya:
“Aku tidak tahu lagi apa pun juga, dan memang aku tidak mau tahu apa pun lagi selain dari pada “untuk mengenal Dia dan ikut merasakan penderitaan-Nya untuk menjadi serupa dengan Kristus di dalam kematian-Nya (Fil 3:10), serupa dengan Kristus yang disalibkan oleh karena cinta kasih-Nya. Bila aku benar-benar menjadi serupa dengan Sang Teladan ilahi ini, bila aku telah seutuhnya hidup di dalam Dia dan Dia di dalam aku maka aku akan memenuhi panggilanku yang abadi yaitu menjadi seorang yang baginya “Allah telah memilih aku di dalam Dia (Ef 1:4), sejak semula aku akan terus menjadi seperti orang yang diingini Allah untuk selama-lamanya dan bila aku terbenam sepenuhnya di dalam kekerabatan mesra dengan Allah Tritunggalku, maka aku pun akan menjadi pujian yang tak berkesudahan bagi kemuliaan-Nya.”
Inhabitasi Allah Tritunggal
Kehadiran Allah dalam lubuk terdalam hati manusia adalah kehadiran ketiga pribadi ilahi sekaligus. Doktrin kristen mengatakan, “Allah adalah satu dalam substansi dan tiga dalam pribadi. Allah itu satu sekaligus tiga. Kesatuan ini tak terpisahkan.” Kehadiran ini merupakan kehadiran secara roh, sebab Allah adalah roh. Maka hanya iman sajalah yang dapat menyelami kehadiran ini. Iman itu ibarat kendaraan yang menghantar jiwa memasuki hadirat ilahi. Maka kalau Allah hadir dalam lubuk terdalam hati manusia dan manusia adalah rumah kediaman-Nya, hal itu dipahami sebagai kehadiran Allah dalam keutahan trinitarian-Nya.
Elisabeth menulis “Bapa bersemayam dalam hati kita. Siang-malam Ia menundukan diri dengan cinta kasih untuk membagikan kehidupan ilahi-Nya kepada kita. Ia menghendaki kita menjadi orang-orang yang bersemangat rohani yang dapat memancarkan Dia.” “Tinggallah di dalam Aku sama seperti Aku dalam Bapa.” Bagi Elisabeth merupakan suatu ajakan untuk menjalin relasi pribadi menuju persatuan dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hati manusia. Karena itu ia menulis:
"Allah Tritunggal Mahakudus selanjutnya adalah kediaman kita, rumah kita, tempat tinggal Bapa kita, yang sebaiknya tidak pernah kita tinggalkan…Oleh sebab itu, kita setiap hari sebaiknya turun melalui jalan ini untuk memasuki lembah yang amat dalam yang adalah Allah sendiri. Biarlah kita bergulir dengan bebas kepada kedalaman lembah ini dengan kepercayaan yang penuh kasih. Di sanalah tenggelam sampai ke lubuknya yang terdalam, di mana lembah mendalam dari ketiadaan diri kita akan menemukan dirinya berhadapan dari muka ke muka, dengan kedalaman kerahiman Allah, dengan kebesaran atau kemahakuasaan Allah semesta alam."
Dengan memasuki relasi kasih ini, maka kita ambil bagian dalam kehidupan Allah dan dibawa masuk ke dalam inti terdalam dari misteri Allah Tritunggal. Kalau kita membiarkan Allah menguasai ada kita, maka kita akan memancarkan kehidupan keilahian Allah Tritunggal. Karena Allah tinggal dalam lubuk terdalam hati kita, maka doa-Nya adalah doa kita juga (bdk. Rm 8:26).
“Aku berharap dapat terus merasakan hal ini, untuk terus menjadikan diriku sendiri sebagai buyung air yang kecil dekat sumber air, pada air mancur kehidupan, supaya aku kemudian sanggup memberikan Dia kepada jiwa-jiwa, yaitu dengan membiarkan air dari cinta kasih-Nya meluap keluar melalui aku.”
Relasi dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hati kita akhirnya memiliki nilai apostolik yang membawa orang kepada relasi yang sama dengan Allah.
Inhabitasi Allah Tritunggal memiliki efek yang besar bagi perkembangan hidup rohani. Bagi Elisabeth efek pertama kehadiran ini adalah tindakan yang total untuk melupakan diri sendiri; suatu kelepasan sempurna yang disertai pengasingan diri tertentu yang bukan lagi bersifat manusiawi belaka melainkan menyerap seluruh ada kita. Seperti terdapat dalam salah satu tulisannya:
“Semoga tahta cinta kasih-Nya berakar secara penuh dalam kerajaan batinmu dan semoga kebesaran cinta-Nya itu menarikmu untuk semakin melupakan dirimu secara penuh. Berbahagialah jiwa yang telah mencapai kelepasan sempurna seperti ini.”
Perbuatan melupakan diri sendiri dalam cinta kasih manjadikan kita bersatu dengan Allah. Hal ini merupakan sumber sukacita, kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkatakan. Pengalaman ini merupakan prarasa kehidupan abadi di mana kita dapat memandang Allah dari muka ke muka. Karena itu para kudus mengatakan bahwa pengalaman persatuan dengan Allah itu dapat dicapai manusia semenjak ia berada di dunia ini. Surga adalah kepenuhan persatuan ini dan buahnya adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan. Maka efek selanjutnya dari kehadiran Allah ini adalah sukacita. Atau mengalami pengalaman surgawi semenjak di dunia ini. Inilah yang dimaksud dalam Regula Karmel ketika dikatakan, tujuan hidup ini adalah “mengalami dalam roh kuasa kehadiran Allah dan kemanisan kemuliaan surgawi bukan saja sesudah mati namun sudah sejak hidup di dunia ini.”
Kesimpulan
Kehidupan mistik Elisabeth mengajak semua umat beriman untuk kembali ke dalam lubuk terdalam hatinya. Allah tidak jauh dari manusia. Ia bersemayam dalam hati kita. Melalui keterpusatan hati akan kahadiran Allah Tritunggal manusia menemukan Dia yang bertahta dengan mulia. Elisabeth menyadarkan segenap orang kristen akan makna panggilannya yaitu mencapai persatuan dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hatinya.
(Sumber: Mengenal Spiritualitas Santa Elisabeth dari Trinitas, www.carmelia.net)