Kamis, 06 September 2018

07.18 -

Kepuasan tidaklah ditentukan oleh keadaan



“Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu. Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.

Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:10-13)

Bagi kalian yang belum tau, saya sebenarnya dulu memiliki hobby Bboy (breakdance). Saya mengikuti sesi latihan Bboy seminggu dua kali dan menonton puluhan video Bboy setiap hari. Meningkatkan kemampuan saya dan memenangkan sebuah kejuaran Bboy adalah satu-satunya tujuan saya dulu. 

Namun selama tiga tahun pertama saya bekerja keras di dalam Bboy, saya belum berhasil-berhasil memenangkan satu pun pertandingan. Oleh karena itu, saya sangat ingin menang. Memenangkan pertandingan Bboy adalah sesuatu yang saya pikir akan memberikan kebahagiaan yang paling luar biasa untuk saya dulu. 

Singkat cerita, satu tahun setelahnya, saya akhirnya berhasil memenangkan sebuah pertandingan Bboy. Saya mendapatkan piala yang sangat besar, sebuah medali, dan sejumlah uang di dalam amplop. 

Banyak dari teman saya yang memberikan selamat kepada saya melalui sosial media. Saya begitu senang dan saya berkata kepada diri saya bahwa hari tersebut merupakan hari paling bahagia di hidup saya.

Sudah tujuh tahun berlalu sejak hari kemenangan saya itu, dan kemarin saya baru melihat piala saya kembali di dalam sebuah lemari rumah yang sudah tidak pernah dipakai. Piala tersebut sudah sangat berdebu, dan sepertinya sudah tidak ada yang peduli dengan piala tersebut, termasuk diri saya sendiri. 

Menurut saya sangatlah lucu, sesuatu yang dulunya saya pikir akan memberikan kebahagiaan paling luar biasa di dalam hidup saya, kini menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja dan tidak memberikan saya kebahagiaan sama sekali.

Bukankah ini yang sering terjadi di dalam kehidupan kita? Kita menghabiskan begitu banyak waktu dalam berusaha mendapatkan apa yang kita percaya akan memberikan kebahagiaan tertinggi. Mungkin sesuatu tersebut adalah uang, kemenangan, penerimaan, jabatan, popularitas, atau seks. 

Namun entah mengapa, setelah kita mendapatkannya, kita hanya merasa senang untuk sementara. Dimana setelah berjalannya waktu, itu semua menjadi terasa sia-sia dan tidak lagi membahagiakan. Kita menemukan diri kita masih merasa kosong, dan kita merasa ada hal lain lagi yang kita butuhkan untuk memberikan kebahagiaan yang kita inginkan. 

Beberapa tahun yang lalu, saya mendengar kabar tentang seorang artis terkenal yang melakukan bunuh diri. Banyak yang bertanya-tanya, “Mengapa dia melakukan bunuh diri? Bukankah dia sudah memiliki uang, popularitas, dan hal-hal lain yang merupakan the American Dream?”

Setelah saya membaca banyak artikel yang membahas tentang kematiannya, saya menemukan bahwa alasan dari dia mencabut nyawanya sendiri adalah karena dia merasa dirinya tidak dapat menemukan kebahagiaan—dia berpikir dia sudah mendapatkan segalanya yang dapat membuatnya bahagia, tetapi ternyata menemukan dirinya masih belum menemukan kebahagiaan yang dia butuhkan. Dalam kata lain, dia tidak tahu bagaimana cara mengisi lubang yang ada di dalam hatinya.

Pada renungan hari ini, kita ingin belajar tentang yang namanya menemukan kepuasan. Pada Filipi 4:10-13, Rasul Paulus sedang di penjara di mana Dia mengatakan bahwa Dia telah menemukan rahasia untuk menjadi puas di dalam setiap keadaan. 

Yang uniknya, Rasul Paulus mengatakan bahwa dia menemukan rahasia menjadi puas bukan ketika dia mendapatkan rumah bagus, memenangkan sebuah kejuaraan, atau pun menerima penghargaan dari raja—melainkan ketika dia sedang di penjara.

Satu hal yang dapat kita pelajari adalah kepuasan bukanlah sesuatu yang didasari oleh keadaan. Kamu dapat berada di posisi yang kelihatannya memiliki segalanya tetapi merasa tidak puas, tetapi kamu juga dapat berada di posisi yang kelihatannya tidak memiliki apa-apa tetapi merasa puas. 

Masalah-masalah yang Rasul Paulus hadapi waktu itu bukanlah masalah-masalah ringan, melainkan masalah-masalah yang sangat berat. Dia disiksa secara fisik, disiksa secara mental, dilemparkan ke dalam penjara, terus diancam akan dibunuh, dan lain-lain. 

Namun entah mengapa, dia tetap dapat bersukacita dan bahkan menguatkan teman-temannya yang memiliki keadaan hidup yang jauh lebih baik dari dirinya. Dia bahkan menulis empat dari kitab perjanjian baru dari dalam penjara. 

Bagaimana dia mampu memiliki kekuatan yang begitu luar biasa ini? Darimanakah sumber sukacita dan sumber perasaan puas yang dimiliki olehnya?

Kunci dari merasa puas di dalam setiap keadaan menurut Rasul Paulus adalah pengenalan akan Kristus. Rasul Paulus mengatakan pada Filipi 4:7, “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” 

Rasul Paulus ingin mengatakan, “Tentu masalah-masalah yang saya hadapi tidaklah masuk akal, tetapi damai dari Yesus Kristus lebih tidak masuk akal lagi.”

Saya yakin banyak diantara kalian yang hingga hari ini kesulitan untuk menemukan perasaan puas di dalam hidup oleh karena keadaan kalian. Saya ingin mengingatkan bahwa jika kalian tidak dapat bahagia hari ini, kalian tidak akan dapat bahagia di hari-hari esok. Kebahagiaan dan kepuasan sejati bukanlah sesuatu yang didasari oleh keadaan kita, melainkan oleh isi hati kita

Jika kamu memiliki pengenalan sejati akan Yesus Kristus yang telah mengasihimu, mengampunimu, dan menyelamatkanmu, saya berani jamin, kamu pasti akan menemukan kebahagiaan, ketenangan, dan kepuasan yang tidak masuk akal yang kamu cari-cari selama ini.

“You never know what is enough unless you know what is more than enough”—William Blake

(Sumber: @gracedepth)