Jumat, 20 Juli 2018

04.02 -

Pesan penting untuk orang tua



Kisah seorang anak

Seorang anak, menelepon ayahnya yang tinggal pisah rumah dengan dia dan ibunya. Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantar dia ke sekolah seperti biasanya. Jarak sekolahnya 1 Km dari rumahnya, dan si anak bertubuh lemah.

Pagi itu jam 6:00 si anak menelepon ayahnya:
Anak: ayah, antarkan aku sekolah.
Ayah: ibumu kemana?
Anak: ibu sakit ayah, tidak bisa mengantarkan aku ke sekolah, Kali ini ayah yang antarkan aku ke sekolah.
Ayah: ayah tidak bisa, ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek.
Anak: ayah, uang ibu hanya tinggal 10 ribu, ibu sakit, kami pun belum makan pagi, tak ada apa apa dirumah, kalau aku pakai untuk ongkos, kasihan ibu sakit belum makan, juga adik-adik nanti makan apa ayah?
Ayah: ya sudah, kamu jalan kaki saja kesekolah, ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki. Kamu anak laki laki harus kuat.
Anak: ya sudah, terimakasih ayah.

Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya. Dihapus air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar. Ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.

Ibu: apa kata ayahmu nak?
Anak: kata ayah iya ibu, ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.
Ibu: baguslah nak, sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki. Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kamu ke sekolah.
Anak: iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar, ayah bilang aku tunggu didepan gang supaya cepat, ibu.
Ibu: berangkatlah nak, belajar yang rajin yang semangat.
Anak: iya ibu

Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam dalam ingatan si anak.
Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan beasiswa. Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar. Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik-adiknya sampai sarjana.

Satu hari, saat di kantor, ayahnya menelpon.
Anak: ada apa ayah?
Ayah: nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah kerumah sakit
Anak: memang istri ayah kemana?
Ayah: sudah pergi nak sejak ayah sakit-sakitan.

Anak: ayah, aku sedang kerja, ayah kerumah sakit pakai taxi saja.
Ayah: kenapa kamu begitu? Siapa yang akan urus pendaftran di RS dan lain-lain? Apakah supir taxi? Kamu anak ayah, masakan orangtua sakit kamu tidak mau bantu mengurus?

Anak: ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku, mengurus diri sendiri? Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak? Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelpon ayah minta antarkan ke sekolahku, waktu itu ibu sakit, ibu yang selalu antarkan kami anak-anaknya... yang mengurus kami seorang diri, namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki laki harus kuat, dan ayah katakan ayahpun dulu berjalan kaki ke sekolah, maka aku belajar bahwa karena ayah lakukan demikian maka akupun harus lakukan hal yang sama... saat aku sakitpun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata-kata ayah, anak laki laki harus kuat. Ayah tahu? Hari itu pertama kalinya aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang. Tapi ayah tahu? Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda, ibu bisa tahu aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku kesekolah. Ayah mengajarkan aku, pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku lemah aku harus bisa. Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka ayah pun harus bisa.

Si ayah terdiam... sepi di seberang telepon. Baru disadarinya betapa dalam luka yang di torehkannya di hati anaknya.

Anak adalah didikan orangtua. Bagaimana kita bersikap, memperlakukan mereka, kita sama saja sedang mengajarkan mereka bagaimana memperlakukan kita kelak ketika kita tua dan renta.

Si anak Dosa? Mungkin ... Si anak durhaka? Barangkali ... Yang jelas ayahnya yang membuat anaknya demikian. Dan kelak orang tua membuat pertangung jawabannya masing-masing kepada sang Khalik Si Empunya Anugerah yang di titipkan kepada masing-masing.

Menjadi orangtua bukan karena menanamkan Benih atau karena melahirkan. Menjadi orangtua, karena mengasuh, mendidik, menyayangi, memberi waktu, perhatian, mengayomi, mencurahkan perhatian dan kasih sayang. Menjadi orangtua, tidak ada kata pensiun. Finishnya hanya dikematian.

Pesan untuk para orang tua oleh Ibu Elly Risman - Senior Psikolog UI, Konsultan Parenting Nasional

Kalau Anda dititipi anak Presiden, kira-kira bagaimana mengasuh dan menjaganya? Beranikah Anda membentaknya sekali saja? Pasti tidak, kan?

Nah, yang sekarang menitip bukan Presiden, tapi yang jauh lebih berkuasa dari Presiden, yaitu Allah. Beranikah Anda membentak, memarahi, mencubit, menyentil, bahkan memukul?

Jika Anda pernah melakukannya, kira-kira nanti di hari akhir, apa yang Anda jawab ketika ditanya Pemiliknya?

"Jiwa anakmu lebih mahal" dari susu termahal yang ditumpahkannya. "Jaga lisanmu", duhai orangtua. "Jangan pernah" engkau "memarahi" anakmu hanya gara-gara ia menumpahkan susunya atau karena ia "melakukan hal" yang menurutmu "salah". Anakmu tidak tahu kalau apa yang ia "lakukan adalah kesalahan. "Otaknya belum mempunyai konsep" itu.

"Jaga Jiwa Anakmu." Lihatlah "tatapan mata" anakmu yang "tidak berdosa" itu ketika "engkau marah-marah". Ia diam dan mencoba mencerna apa yang engkau katakan. "Apakah ia mengerti?"
Mungkin iya, tapi cobalah perhatikan apa yang ia lakukan "setelah" engkau "pukul dan engkau marahi. Anakmu "tetap memelukmu", masih ingin "engkau belai". Bukankah inilah tanda si anak "memaafkanmu?

Namun, jika engkau terus-menerus mengumbar kata-kata kasarmu kepadanya, "otak anakmu akan merekamnya" dan akhirnya, "cadangan ‘maaf’ di otaknya hilang". 

"Apa yang akan terjadi" selanjutnya, duhai orangtua? Anakmu akan "tumbuh menjadi anak yang ‘ganas’" dan ia pun akan "membencimu sedikit demi sedikit" hingga "tidak tahan" hidup bersamamu.

Jiwa anak yang terluka itu akan mendendamPernahkah engkau "saksikan" anak-anak yang "malas" merawat orangtuanya ketika tua ? Jangan salahkan anak-anaknya. Cobalah memahami apa yang sudah "dilakukan" oleh orang tua itu kepada anak-anaknya ketika mereka masih kecil.

Orangtua .., anakmu itu "bukan kaset" yang bisa kau rekam untuk kata-kata kasarmu. Bersabarlah. Jagalah kata-katamu agar anak hanya tahu bahwa ayah ibunya adalah contoh yang baik, yang bisa menahan amarahnya.

Duhai orangtua, engkau pasti kesal kalau anakmu nakal. Tapi pernahkan engkau berpikir bahwa kenakalannya mungkin adalah efek rusaknya jiwa anakmu karena kesalahanmu (kau pukul dan kau cubit hanya karena melakukan hal-hal sepele. Kau hina anakmu hanya karena ia tidak mau melakukan hal-hal yang engkau perintahkan.

Cobalah duduk dan merenungi apa saja yang telah engkau lakukan kepada anakmu. Apakah engkau lebih sayang pada susu paling mahal yang tertumpah? 

Anakmu pasti menyadari dan tahu ketika kemarahan itu selalu hadir di depan matanya. Jiwanya pun menjadi memerah bagai bara api. 

Apa yang mungkin terjadi ketika jiwa anak sudah terusik?

- Anak tidak hormat pada orangtua. 
- Anak menjadi musuh orangtua. 
- Anak menjadi sumber kekesalan orangtua. 
- Anak tidak bermimpi hidup bersama dengan orangtua. 

Hal-hal inikah yang engkau inginkan, duhai orangtua?
Ingatlah, jiwa anakmu lebih mahal dari apa pun termahal yang ada di dunia. Jaga lisan dan perlakuan*kepada anakmu.