Senin, 02 Juli 2018

02.41 -

Pertobatan sejati

Masa Prapaskah adalah masa Retret Agung, masa berahmat untuk mengolah batin, masa pembaharuan diri selama 40 hari mempersiapkan diri untuk merayakan Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus pada hari Minggu Paskah. Selama 40 hari, kita diajak untuk introspeksi diri: mengolah pikiran, hati, dan tindakan kita agar lebih pantas untuk menyongsong kebangkitan-Nya. 

Masa Prapaskah dimulai Rabu Abu sampai dengan Sabtu Paskah. Hari Minggu tidak dihitung karena hari Minggu adalah hari Tuhan (Neh 8:9-10). 

Mengapa? Pada hari Minggu kita wajib merayakan Kebangkitan Kristus. Pada hari Jumat-lah kita mengenang wafat-Nya demi menebus dosa-dosa kita. Jadi, hari Minggu sepanjang tahun adalah hari-hari pesta dan hari Jumat sepanjang tahun adalah hari-hari tobat

Menurut ajaran Gereja yang sekarang, puasa 40 hari kita didasarkan pada puasa Yesus selama 40 hari sesudah pembaptisan-Nya (KGK 538-540; 2043). "Oleh masa puasa selama 40 hari setiap tahun, Gereja mempersatukan diri dengan misteri Yesus di padang gurun" (KGK 540). 

Hendaknya kita selalu mengingat bahwa semangat dasar Prapaskah yang harus diperjuangkan adalah pertobatan. Namun perlu diingat bahwa pertobatan itu tidak boleh dibatasi hanya pada aspek individual dan rohani saja. 

Jika pertobatan dibatasi hanya pada dimensi rohani saja, maka penghayatan iman kita juga menjadi kerdil. Hal ini bertentangan dengan iman kita bahwa Kerajaan Allah yang diwartakan dan dikerjakan oleh Yesus Kristus mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. 

Pertobatan mempunyai aspek sosial, sehingga pertobatan yang rohani itu harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang membangun sisi positif dari hidup bersama dan memperbaiki akibat-akibat negatif dari dosa manusia. 

Pertobatan juga mempunyai aspek ekologis, sehingga perlu diwujudkan dalam kaitan dengan lingkungan alam di sekitar kita. 

Aspek sosial dan ekologis pertobatan akan nampak lebih jelas jika kita melihat dampak dari dosa manusia pertama. Dalam imbauan Apostolik pasca-sinode Reconciliatio et Paenitentia, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa perbuatan dosa manusia melukai bukan hanya relasi manusia dengan Allah, tetapi juga mengenai relasi dengan diri sendiri, relasi manusia dan sesama manusia, dan dengan alam semesta

Konsekuensinya, jika pertobatan dimengerti sebagai pemulihan kembali kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh dosa, maka pertobatan ini harus diwujudkan dalam relasi dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan alam semesta. 

Inilah rekonsiliasi rangkap empat yang harus dilakukan manusia. Keempat rekonsiliasi itu saling terkait satu sama lain. 

(1) Rekonsiliasi antara Allah dan manusia (Rm 5:10-11; 2 Kor 5:18-20; Kol 1:19-23; Ef 2:14-18) berarti memulihkan kembali keretakan relasi manusia dengan Allah. 

Apakah relasi kita dengan Allah sudah benar? Jika pikiran dan hati kita lebih banyak tertuju pada dunia, mencintai dunia dari pada Tuhan, maka kesudahan kita adalah kebinasaan (Flp 3:19; 2 Tim 4:10; Mat 6:21). 

Dosa adalah terutama penghinaan terhadap Allah dan pemutusan persekutuan dengan Dia. Serentak pula ia merugikan persekutuan dengan Gereja. Karena itu, pertobatan mendatangkan secara serentak pengampunan Allah dan perdamaian dengan Gereja (KGK 1440). 

Sebagaimana yang terjadi ketika Ekaristi pada saat konsekrasi, Tuhan Yesus “meminjam pita suara” imam pada saat Sakramen Tobat, sehingga kata-kata absolusi atau pengampunan yang diucapkan oleh imam, sebenarnya merupakan ucapan Yesus sendiri. 

Sakramen Tobat hendaknya dipandang bukan sebagai sarana untuk mencuci jiwa kita dari dosa melainkan sebagai bentuk sesal kita apabila kita telah melukai Tuhan. Jadi, pengakuan dosa mengandaikan adanya "relasi pribadi dengan Tuhan". 

Bagaimana kita tahu kalau kita melukai hati Tuhan? Berkat Sakramen Baptis, maka Roh Kudus berdiam di hati kita. Ia yang akan membimbing kita kepada seluruh kebenaran. Tidak mungkin Roh Kudus menolak untuk memberitahu dosa-dosa kita, jikalau kita memang berniat mengakuinya dengan tulus. 

Dalam pemeriksaan batin, kita menyerahkan hati nurani pada Roh Kudus karena "Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. 

Bilamana perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu,... Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya" (GS 16) (KGK 1776). 

Sesuatu yang indah dalam Gereja Katolik adalah bahwa keseluruhan keberadaan kita sebagai manusia, yaitu jiwa dan raga kita, dapat terlibat dalam karya penyelamatan Allah lewat Sakramen. Inilah pertobatan rohani yang sering kali kita lakukan selama masa Prapaskah. Tetapi ini bukan satu-satunya wujud pertobatan. 

(2) Rekonsiliasi dengan diri sendiri 

Sudahkah kita memandang dan memperlakukan diri sendiri dengan baik dan adil? Jika kita sudah bersahabat dengan jiwa kita, maka jiwa kita tidak akan memberontak, mengeluh atau menghakimi orang lain. 

Sering-seringlah keluar rumah dan mengunjungi tempat-tempat terindah. Kagumi keindahan alam dan masukkanlah keindahan alam ke dalam jiwa, pikiran, perasaan dan ego kita. Alam selalu bisa membuat kita segar, muda, bertenaga dan berakumulasi di dalam keindahan. Karena alam memiliki energi positif yang luar biasa.

Bagaimana caranya dapat membangun relasi yang baik dengan diri sendiri? Kita harus hidup dalam komunitas. Di dalam komunitas kita memperdalam iman melalui pengajaran-pengajaran Gereja. Di sinilah kita disadarkan untuk saling memperhatikan kepentingan orang lain (Flp 2:4), saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik (Ibr 10:24), saling berbagi dan memberi kesaksian (Kis 2:41-47). 

Di sini juga terjadi persahabatan antara orang-orang yang tidak menyembunyikan kegembiraan dan penderitaan mereka, tetapi membiarkannya terbuka bagi sesama dalam sikap berpengharapan

Selain itu kita akan beroleh kesempatan untuk (1) mengenal diri sendiri dengan baik dari segi jasmani dan rohani. (2) menerima diri kita dengan baik, sebagai mana adanya. (3) mengembangkan diri kita sebaik mungkin karena kita telah menerima pengajaran dari Gereja. 

Contoh: Yesus hidup dalam 2 komunitas: (1) Komunitas para Rasul, dimana Dia sebagai guru (Mat 26:18). (2) Komunitas kecil keluarga Betania (Lazarus, Marta dan Maria - Yoh 11:5). 

Ketika Yesus mengalami kelelahan sesudah melayani orang banyak (Mrk 6:31), Dia pergi ke rumah sahabat-Nya yang berada di Betania untuk berbagi suka duka. Di sana Dia merasa aman, bernilai, dihargai, dipahami dan dicintai karena mereka menaruh kasih pada-Nya setiap waktu (Ams 17:17). 


Ketika kebutuhan dasar psykis manusia sudah terpenuhi maka dia akan mampu menerima dirinya sendiri dengan iklas apapun yang telah dan akan terjadi akan dapat diterimanya dengan iklas, bentuk keiklasan ini akan lebih mendekatkan diri kita kepada Tuhan, dan akan lebih lapang dan santai dalam menjalani kehidupan

Dalam keluarga Allah, kita mengalami kehadiran Allah yang mempersatukan. Sebagai putra-putri Allah, kita disatukan oleh Kristus dalam Gereja-Nya. Jadi, kita harus mencintai Kristus dengan mencintai Gereja-Nya yang satu, kudus, Katolik dan apostolik. 

Sebagai komunitas yang memiliki ikatan ilahi hendaknya diwujudkan secara nyata dengan (Ef 4:2): 

1. Rendah hati: menempatkan orang lain menjadi yang utama dan menempatkan diri sendiri sebagai pelayan. 

2. Lemah lembut: baik hati, pengampun, mudah memahami dan menerima orang lain, tidak pemarah, tidak mudah menceka, tidak mudah menghakimi. 

3. Sabar: tahan menghadapi tantangan, tidak mudah putus asa, selalu penuh harapan, tenang dalam sikap dan tidak reaktif, setia dalam karya, tidak mutungan (patah hati sehingga tidak mau melanjutkan hubungan). 

4. Menunjukan kasih dengan saling membantu: selalu bersedia menolong yang membutuhkan, peka dan tanggap terhadap kesulitan, penderitaan dan kesusahan orang lain. 

(3) Rekonsiliasi dengan sesama manusia 

Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa hidup tanpa manusia lain. Dan dalam sebuah hubungan, akan selalu ada gesekan (Ams 27:17), jika kita menjauhkan diri dari kasih karunia Allah (Ibr 12:15). Untuk ini, kita sangat membutuhkan yang namanya rekonsiliasi. 

Gesekan ini akibat dari kelemahan-kelemahan kita dan orang lain yang berhubungan dengan kita, yang akan mengakibatkan perseteruan, permusuhan, kebencian, rasa jengkel, kesal, dan emosi negatif lain. 

Rekonsiliasi adalah tindakan yang dihasilkan dari keputusan secara sadar oleh kita yang menghendaki pemulihan dalam hubungan yang kita jalin dengan siapapun, dimanapun dan kapanpun. Rekonsiliasi adalah tanda bahwa kita memilih untuk hidup menurut Roh bukan menurut daging. 

Bagaimana cara melakukan rekonsiliasi

(1) Berdoa, mintalah kekuatan dari Tuhan untuk memampukan kita memaafkan/mengampuni orang yang bersalah kepada kita secara nyata. Teruslah berdoa melepaskan pengampunan, katakan: “Tuhan aku mau mengampuni A, aku mau melepaskan pengampunan kepadanya.” 

(2) Bertindak. Jika Tuhan memberikan kesempatan atau waktu yang tepat/baik, berbicaralah 4 mata dengan orang yang membuat hubungan kita dengannya menjadi tidak baik, secara baik-baik. 

Hasil dari rekonsiliasi adalah "hubungan yang buruk menjadi baik kembali" dan "berkat Tuhan mengalir" secara jasmani dan rohani. Dalam hubungan yang baik, pasti ada kesehatan, kesembuhan dari sakit penyakit, hati yang penuh damai sejahtera dan sukacita (Mzm 133). 

Rekonsiliasi dengan sesama tidak dibatasi dalam lingkup Gereja, tetapi juga mencakup seluruh umat manusia. Pemulihan ini mengembalikan pengakuan akan nilai transenden dari manusia (GS 76), yang bisa diwujudkan antara lain dalam bidang politis, sosial dan ekonomi. 

Pertobatan inilah yang diwujudkan dalam hubungan dengan umat beragama lain, misalnya dalam bentuk dialog dengan umat beragama lain, bakti sosial bersama, membela hak asasi manusia, menggalakkan kesatuan dalam masyarakat, dll (GS 40-43). 

(4) Rekonsiliasi dengan alam semesta 

Dunia ini diciptakan Allah baik adanya (1 Tim 4:4). Setiap ciptaan saling berhubungan. Contoh: manusia membutuhkan makanan yang bersumber dari tumbuhan dan hewan. Hewan pun membutuhkan tumbuhan sebagai makanan. Untuk hidup, tumbuhan membutuhkan manusia dan hewan. 

Allah menghendaki manusia dengan segenap akal budi dan kehendak bebasnya, melestarikan dan menjaga berlangsungnya rantai kehidupan. 

Namun saat ini situasi "baik adanya" bertolak belakang dengan yang ditetapkan oleh Allah, alam mengalami masa-masa kritis dan menuju kehancuran karena dalam diri manusia tidak berfungsi dengan benar. Manusia hidup bukan lagi untuk kemuliaan Allah melainkan untuk kepentingan diri sendiri yang bersifat merusak dan menghancurkan. 

Seperti hilangnya sumber daya alam, perubahan iklim, munculnya berbagai macam penyakit, bencana alam yang kerap kali terjadi, dan perubahan sosial budaya dalam masyarakat kita: sikap individual, sikap konsumtif, dan sikap instant (menghalalkan segala cara) yang mengakibatkan penderitaan pada seluruh isi alam semesta, termasuk manusia. Secara khusus penderitaan manusia tampak pada adanya kesenjangan/jurang pemisah antara kaya dan miskin. 

Hal ini terjadi karena kita telah memperlakukan alam semesta ini dengan semena-mena sehingga alam kita telah terluka oleh dosa dan kesalahan kita

Hanya ada satu jalan untuk memperbaiki semua ini, yaitu dengan mengizinkan Allah memperbarui gambar-Nya di dalam diri kita oleh karya penyelamatan Yesus, melalui Pertobatan Ekologis. 

Melalui Pertobatan Ekologis, manusia sebagai mitra Allah harus ikut ambil bagian dan peduli dalam karya penciptaan, antara lain: pembudidayaan alam semesta dan pelestariannya. Sikap peduli inilah yang merupakan bukti cinta manusia, baik secara vertikal maupun horizontal. 

Untuk itu diperlukan sikap yang benar dalam hidup sehari-hari agar kita bisa menjaga kelestarian lingkungan secara total, yaitu: 

1. Kesederhanaan. Sikap ini membimbing manusia pada pemahaman akan batasan-batasan tertentu, sehingga diri manusia dituntun menjadi pribadi yang tahu hemat atau sesuai dengan kebutuhan. Sehingga sumber alam yang tersedia tidak habis terkuras. 

2. Keadilan. Sikap ini menjauhkan manusia dari keserakahan dan mau menang sendiri, sehingga tidak tanggap terhadap lingkungannya. Dengan keadilan, manusia membangun kesejahteraan bersama. 

3. Pengendalian diri. Sikap ini membantu manusia dalam mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berlebihan. 

4. Disiplin. Sikap ini sangat berkaitan erat dengan sikap tanggungjawab

Jadi, sebagai pengikut Kristus, kita harus meninggalkan cara-cara hidup lama yang melukai alam semesta. Kita beralih kepada cara hidup baru yang menjaga dan mencintai alam semesta yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. 

Dimensi sosial dan ekologis dari iman juga nampak jelas jika kita mengingat bahwa dalam Kerajaan Allah kelak, kesempurnaan keselamatan meliputi juga pemulihan kembali relasi manusia rangkap di atas. 

Kesempurnaan Kerajaan Allah berarti datangnya langit dan bumi yang baru. Inilah pemulihan seluruh alam semesta. Pemulihan inilah yang juga menjadi bagian dari tugas misioner Gereja. Pemulihan inilah yang menjadi bagian integral dari pertobatan selama masa Prapaskah. 

Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (1 Yoh 1:9). 

Dengan semangat pertobatan, boleh saja kita berpantang setiap hari selama masa Prapaskah, yaitu 40 hari. Praksis yang demikian, akan melatih kita untuk berdisiplin menyerahkan diri kepada Tuhan. 

Kemajuan rohani dituntut askese dan mengembangkan keutamaan-keutamaan/kebajikan

[Baca juga: 7 Pilar dasar kehidupan Kristiani]. 

Askese adalah tindakan matiraga yang disokong oleh rahmat untuk mengejar kesempurnaan diri secara Kristiani dengan mengikuti teladan Kristus supaya semakin serupa dengan pribadi Kristus

(1) Matiraga dengan puasa dan pantang merupakan salah satu ungkapan pertobatan kita untuk "mematikan" dan mengurangi kesenangan ragawi sebagai wujud pertobatan demi memperoleh pengampunan dari Allah dan mendekatkan diri kita pada Tuhan dan sesama

Jadi, dengan puasa dan pantang kita mengorbankan kenikmatan dan kesenangan pribadi, untuk menjadi lebih "lapar" akan Tuhan sehingga kita lebih peka dan terbuka pada kuasa Tuhan yang membebaskan dari ketertarikan pada nafsu berbuat dosa, memperkuat sikap tegas kita melawan nafsu-nafsu tersebut dan menyembuhkan luka-luka dosa kita. 

Ungkapan tobat lainnya yaitu: (2) mendengarkan Sabda Tuhan dan berdoa. Hal ini meliputi antara lain, mengikuti perayaan Ekaristi, membaca Kitab Suci, mengikuti lectio divina, mendoakan ibadat Jalan Salib, doa rosario, mengikuti rekoleksi, retret, dll. 

Mendekatkan diri pada Sabda Allah dan menambah doa selama masa Prapaskah, membuat kita semakin mengenal kekudusan dan cinta Allah dan juga keburukan dosa. Maka, kita akan semakin tertarik untuk membalas kasih Allah dan sekaligus "menolak dosa sebagai penghinaan terhadap Allah" (SC 109). 

Pertobatan adalah langkah awal di mana seseorang menyadari kesalahan dan pelanggarannya, lalu berpaling dari dosa-dosanya dan meninggalkannya.

Sebelum hidup dalam pertobatan, apa yang ada dalam pikiran, hati dan kehendak kita semata-mata dikuasai segala hal yang bersifat duniawi, sehingga yang dihasilkan pun adalah perbuatan-perbuatan daging. 

Pertobatan kita "hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perseorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial-kemasyarakatan (SC 110). Artinya pertobatan itu perlu dibuktikan dengan secara khusus meluangkan waktu untuk berdoa, menjalankan karya kesalehan dan amal kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia (KHK 1249). 

Pertobatan mempunyai aspek sosial, sehingga pertobatan yang rohani itu harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang membangun sisi positif dari hidup bersama dan memperbaiki akibat-akibat negatif dari dosa manusia. 

Ungkapan Nabi Yesaya sungguh kaya dalam hal ini (Yes 58:6-7), berpuasa yang dikehendaki-Nya yaitu: membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! 

Puasa yang mampu membawa pada kekekalan (Yoh 16:22 hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu; Mat 6:20 - ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya), yaitu: 1. Kasih 2. Sukacita 3. Damai sejahtera 4. Kesabaran 5. Kemurahan 6. Kebaikan 7. Kesetiaan 8. Kelemahlembutan 9. Penguasaan diri 10. Kerendahan Hati 11. Kesederhanaan 12. Kemurnian (KGK 1832 - Buah Roh menurut Tradisi Gereja). 

Sebelum pertobatan, pikiran kita semata-mata tertuju kepada perkara duniawi (Flp 3:19), kita tidak menyukai Tuhan atau hal-hal yang suci. Pertobatan menyebabkan seseorang ingin melakukan apa yang benar. 

Banyak kelemahan mungkin ada dalam diri orang yang telah bertobat, namun kedagingan atau keduniawian tidak dapat mendominasi hidupnya. Hal ini terjadi karena ada kerinduan mencari kehendak Tuhan dan melakukan hal yang benar. 

Orang yang benar-benar bertobat memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp 2:5; 1 Kor 2:16). Ketika kita menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Kristus maka pikiran kita akan senantiasa diperbaharui dan semakin selaras dengan kehendak-Nya (Rm 12:2). 

Pikiran adalah medan peperangan dalam kehidupan manusia. Apa yang kita pikirkan itulah yang akan membentuk setiap tindakan kita. Jika yang kita pikirkan adalah hal-hal yang berasal dari daging, maka kita akan berjalan dalam daging dan perbuatan kita pun akan semakin jauh dari kebenaran. 

Hati (perasaan) juga memiliki peranan besar terhadap perilaku lahiriah kita. "... dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang." (Mrk 7:21-23). 

Maka dari itu "Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan." (Ams 4:23). Hati yang senantiasa terjaga bersih dan murni akan berdampak positif pula terhadap setiap perkataan dan tindakannya

Bagaimana menjaga hati kita supaya tetap bersih dan murni? Kita harus mengizinkan Roh Kudus untuk menyelidiki dan memperbarui hati kita (Mzm 51:12). Pikiran dan hati yang telah diperbaharui oleh firman Tuhan akan mempengaruhi kehendak kita

Itu membutuhkan proses yang tidak instan tapi secara bertahap dan terus-menerus seumur hidup kita, hingga kita memiliki kehidupan yang sesuai dengan standar yang dikehendaki Tuhan. 

Dengan menyangkal diri dan melakukan silih, roh kita akan semakin peka akan kehendak Allah, dan semakin dikuatkan untuk melakukan hanya apa yang Allah kehendaki, bukan yang kita kehendaki. 

Silih dapat dilakukan dengan bermacam cara: dengan perbuatan, dengan doa silih, dengan berkurban, dengan pantang dan puasa

Apakah kita bisa melakukan pertobatan sejati dengan kekuatan diri sendiri? Tidak! Karena seringkali kita melakukan suatu dosa tanpa sadar. Hal ini terjadi karena kita diikat dan dijerat oleh Iblis pada kehendaknya, yaitu agar kita selalu kembali untuk melakukan dosa. 

Bagaimana caranya agar kita bisa terlepas dari ikatan dan jeratan Iblis tersebut? Dengan pertolongan Tuhan melalui doa sesama kita dan tuntunan-Nya sehingga kita mengenal kebenaran (2 Tim 2:24-26). 

Seseorang yang memiliki pertobatan yang sejati imannya tetap teguh untuk hidup seturut dengan kehendak Tuhan, apa pun yang terjadi dan di mana pun berada. 

Marilah kita belajar dari Zakheus (Luk 19:1-10): 

[1-4] Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus melintasi kota itu. Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya. (1A) Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek. Maka (1B) berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu (1C) memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ. 

» Zakheus berarti “suci". Dia memang suci, karena dimurnikan sendiri oleh Yesus Kristus. Dia seorang pendosa yang diubah oleh Yesus menjadi seorang kudus. 

(1ABC) Ketika hati Zakheus digerakkan oleh Tuhan, dia berjuang mengubah sikapnya dengan melepaskan harga dirinya dan tidak menyerah karena keterbatasannya. 

[5-6] Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: (2) "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu." Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita. 

» Semua orang memanggil Zakheus dengan sebutan “pemungut cukai”. (2) Zakheus merasakan sejuknya kasih yang melimpah dari Yesus, yang mau menyapa dan tinggal bersamanya, yang mau menerima dia apa adanya. Kasih inilah yang menjadi suatu kekuatan baru untuk mengubah apa yang tidak dapat dia ubah sebelumnya. 

[7- 8] Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: "Ia menumpang di rumah orang berdosa." Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: (3) "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat." 

» Kasih dari Yesus mendorong Zakheus untuk melakukan sesuatu yang melebihi hukum yang berlaku, melebihi tingkat keadilan (Kel 22:1), dengan mengatakan (3). Zakheus melakukan silih atas segala dosa-dosanya dan berjuang untuk menghasilkan buah-buah yang sesuai dengan pertobatan (Luk 3:8, 11, 13-14). 

[9-10] Kata Yesus kepadanya: "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham. Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang." 

» Pertobatan yang benar selalu akan menghasilkan keselamatan. Zakheus yang mengalami kasih Tuhan, dan kemudian bertobat dan melakukan silih atas dosa-dosanya, akhirnya mendapatkan sesuatu yang paling berharga, yaitu mendapatkan keselamatan. 

Sudahkah kita mengalami pertobatan sejati? Pertobatan sejati pasti menghasilkan buah Roh dan itu akan berdampak bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. 

(Sumber: Renungan KPI TL Tgl 15 & 22 Februari 2018, 1 Maret 2018, Dra Yovita Baskoro, MM). 


Banyak orang yang bertobat, tetapi pertobatannya tidak efektif karena dia motivasinya tidak kuat. Akhirnya tobat ... kumat.... tobat ... kumat ... 

Pertobatan bukanlah sekedar perbaikan hidup, tetapi pembaruan hidup secara radikal dalam mengikuti Yesus. Dengan cara merefleksikan terhadap hal-hal yang mendasar dan berani melihat apa yang Yesus minta di dalam kehidupan; mengolah konflik batin sehingga dapat berbalik ke jalan Tuhan (metanoia). Ini bukan suatu himbauan tetapi merupakan perintah Tuhan. 

Pertobatan harus diperjuangkan seumur hidup kita. Pertobatan tidak akan berkenan dihadapan Tuhan jika segala sesuatunya selalu menyalahkan orang lain (Kej 3:12-13 – manusia itu menjawab: “Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang ...”; Jawab perempuan itu: “Ular itu yang memperdaya ku...”)

Masa Prapaska adalah masa pembaruan relasi dengan ...

1. Diri sendiri - kita harus bisa melakukan penyangkalan diri melalui mata dan mulut. 

Apakah kita sudah dapat bersahabat dengan tubuh - memperhatikan kesehatan: pola makan/tidur; 

jiwa - mengendalikan emosi negatif, mampu bersyukur atas apa yang kita punyai dan apa yang kita alami; 

pikiran - kalau kita memiliki pikiran yang luas dan terbuka, maka akan mudah untuk pembaruan diri.

2. Sesama - kita harus menyadari bahwa setiap orang punya kekuatan dan kelemahan. Jadi, kita harus belajar mengerti dan menerima apa adanya, agar tidak terjadi konflik. Karena orang lainpun juga bergulat dengan dirinya sendiri. 

Di dalam relasi dengan sesama kita membutuhkan:

* Komunikasi yang jujur. Emosi negatif harus disalurkan dengan cara berbicara. Jika tidak disalurkan akan berbahaya seperti gunung berapi. Jadi, jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat (Mat 5:37 ). 

Jika emosi negatif 

- tidak dapat disalurkan ~ dapat menyakiti orang lain dan membunuh karakter/ harapan/semangat orang lain melalui kata-kata. 

- tidak diolah ~ dapat menyebabkan berbagai macam penyakit, mengenai diri kita sendiri.

* Belas kasih dan pengampunan.

* Kasih sayang.

* kepercayaan

3. Alam (lingkungan hidup) - kita harus peka terhadap lingkungan hidup. Jika tidak, akan terjadi global warning. Seorang mistikus mempunyai kepekaan terhadap lingkungan hidup. 

Misalnya: jika melihat sebuah pohon besar, dia melihat Tuhan luar biasa dalam menciptakan pohon itu. Sedangkan seorang pengusaha melihat peluang untuk memiliki uang banyak.

4. Allah - relasi dengan Allah akan terganggu jika manusia menjadikan dunia sebagai pusat hidupnya.

Untuk kemajuan rohani, kita dituntut perjuangan rohani (penyangkalan diri). Penyangkalan ini dapat dipakai sebagai salah satu silih atas dosa-dosa kita. 

Jadi, tujuan dari pantang dan puasa adalah melatih kita untuk melakukan penyangkalan diri dalam banyak hal. 

Misalnya: berderma, melakukan semangat kemiskinan, melakukan banyak kesabaran, melihat penderitaan dengan bersyukur, melakukan banyak kebajikan dll.

Jika kita memiliki motivasi yang benar, maka akan mengalami perjumpaan dengan Tuhan. Dan juga akan terjadi transformasi di dalam kehidupan kita - memiliki karakter ilahi/karakter serupa Yesus (menjadi manusia baru). 

Jadi, lakukanlah segala sesuatu dengan hati yang tulus tanpa beban apa pun juga. Meskipun dunia tidak berterima kasih, bersyukurlah karena kebaikan dan kesalehan jiwa yang sudah ditabur di surga tidak dapat dimiliki oleh siapa pun ... ngengat dan karat pun tidak dapat merusaknya.

Tetapi jika kita melakukannya sebagai kewajiban/sesuatu yang biasa-biasa saja/dengan motivasi yang tidak benar maka hasilnya adalah kesombongan – hidup kita tidak terjadi perubahan.

Kumpulkanlah bagimu harta di surga; di surga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar dan mencurinya. Hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu darimu (Mat 6:19-20; Yoh 16:22)

Agar pertobatan kita dapat berkenan pada Tuhan, marilah kita belajar dari Zakheus yang merubah sikap hidupnya (Luk 19:1-10)

Zakheus berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu 

» Zakheus membuka hatinya untuk menerima karunia Allah. Ini adalah pemberian Allah, bukan hasil usaha manusia (Ef 2:8).

Berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon untuk melihat Yesus 

» Ketika hatinya digerakan oleh suara Roh Kudus yang halus, dia langsung bertindak. Tanpa memperdulikan statusnya, dia meninggalkan apa yang menjadi kebanggaannya (mengalahkan egonya) untuk melihat Tuhan. Ini adalah suatu perjuangan yang luar biasa.

Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita 

» Tuhan Yesus tahu orang yang sungguh-sungguh mencari-Nya, sehingga Dia menoleh.

Semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.” 

» Tanpa memperdulikan kata orang, Zakheus mengambil langkah untuk berbalik ke jalan Tuhan.

Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” 

» Zakheus bersedia menerima hukuman atas dosa-dosanya, sehingga dia mampu masuk ke dalam pertobatan yang sejati. 

(Sumber: Warta KPI TL No. 71/III/2010 » Renungan KPI TL tgl 18 Februari 2010, Dra Yovita Baskoro, MM).