Senin, 30 Januari 2017

St. Louis de Montford




Louis Marie Grignion adalah nama kecil St. Marie de Montfort. Lahir pada tanggal 31 Januari 1673 di Montfort dan dibaptis keesokan harinya di gereja paroki St. Yohanes. Dia adalah anak kedua dari 18 bersaudara. Ayahnya seorang pengacara berwatak keras bernama Jeanne Baptiste Grignion dan ibunya Jeanne Robert de la Visiule seorang yang taat beragama, lemah lembut, dan penuh kesabaran.


Di tanah pertanian Bois Marquer, paroki Iffendic, ia melalui masa kecilnya. Di sini pula ia menerima komuni pertama dan sebagai tempat pembaharuan janji-janji baptisnya.

Ia tumbuh menjadi anak yang patuh dan taat beragama. Ia menjadi seperti ini karena pendidikan yang diperolehnya dalam keluarga yang sungguh religius.

Pada usia 12 tahun ia masuk kolese St. Thomas Bechet yang dikelola oleh para Jesuit di Rennes Prancis. Selama delapan tahun ia mengenyam pendidikan di sana. Ia merupakan seorang murid yang suka belajar dan secara umum ia seorang pendiam.

Namun, ia seorang murid yang rajin dan pandai. Ia menerima dengan baik segala ajaran yang diberikan oleh para imam di sekolahnya, dan semua itu telah menghantar dia menjadi seorang yang mempunyai pribadi rohani yang matang.

Berkat usaha dan relasinya dengan para imam suci itu ia memperoleh tiga hal yang menjiwai hidupnya

1. kasih dan kepedulian terhadap kaum miskin dan sakit.
2. kasih dan devosi yang hangat kepada Bunda Maria.
3. kasih dan gairah untuk karya misi.

Pada usia 20 tahun, ia berangkat ke Paris untuk melanjutkan studinya di seminari tinggi Bonafid sebagai calon imam, sesuatu yang merupakan cita-citanya sejak kecil.

Di sini bergabung dengan komunitas khusus untuk para seminaris miskin. Sebagai tambahan biaya hidupnya ia mengemis di jalan-jalan dan sesekali menjaga banyak peti jenazah.

Tiga tahun kemudian Louis de Montford bergabung dengan komunitas Seminari Saint Sulpice dan ditahbiskan pada tahun 1700 sebagai imam projo.

Namun enam tahun sebelum wafat (1704) ia pindah ke ordo lain yakni ordo ketiga Dominikan (OP). Louis digelarkan Beato oleh Paus Leo XIII pada Januari 1888, dan dikanonisasi dengan gelar St. Louis de Montfort pada tanggal 20 Juli 1947 oleh Paus Pius XII.

St. Louis de Montfort lahir pada saat dunia sedang mengalami aneka krisis. Krisis ini sangat menggelisahkan banyak orang, khususnya bagi warga Perancis. Prancis benar-benar diterpa kemiskinan dan kemelaratan.

Hal ini terjadi karena penerapan pajak yang terlalu tinggi oleh Raja Louis XIV. Selain itu Perancis sedang dipengaruhi oleh (1) gaya Barok, gaya yang ekspresinya menekankan kemewahan, keagungan dan kemegahan hidup yang berlebihan; (2) diresapi oleh semangat abad pencerahan (illuminisme), abad di mana manusia hidup berpusat pada dirinya sendiri yang serba mengandalkan akal budinya.

Dengan rasionalitasnya yang tinggi, manusia bebas memilih disposisi kebebasannya, segala produk sejarah tidak diindahkannya lagi.

Inilah yang disebut dengan semangat mentalitas libertinis yang merupakan lahan subur tumbuhnya anarkisme di bidang moral, agama, sosial, dan hukum.

St. Louis de Montford juga hidup pada saat Gereja sedang menghadapi peristiwa-peristiwa penting dan genting. 

Peristiwa penting: di antaranya Gereja sedang berusaha keras untuk melaksanakan hasil-hasil Konsili Trente yang dikenal dengan sebutan Konsili Reformasi intern Gereja Katolik.

Peristiwa genting

* Ajaran-ajaran sesat 

- Yansenisme

Ajaran ini merupakan ajaran sesat soal rahmat. Menurut Yansen (Uskup Ypres, Belgia) dosa asal sangat merusak kodrat manusia, hanya rahmat Allah sendirilah yang dapat menyelamatkan manusia.

Oleh karena itu, kepengantaraan manusia, para kudus, dan khususnya Bunda Maria sama sekali tak ada gunanya, karena mereka semua berdosa. Namun ajaran ini dikutuk oleh Paus Urbanus VIII pada tahun 1641 dan kemudian oleh Paus Klemens XI.

- Gallikanisme

Merupakan gerakan separatisme dalam Gereja, yaitu banyak imam dan uskup (Perancis) menuntut otonomi dari otoritas Gerejawi Roma. Ada beberapa hal yang mereka tuntut:

1. Paus tidak memiliki otoritas atas kekuasaan dunia.
2. Paus di bawah konsili ekumenis.
3. Kepausan hendaknya menyesuaikan diri dengan kebebasan Gereja Prancis terutama dalam pengangkatan uskup, urusan kekayaan, dll.
4. Keputusan Paus bersifat infibilitas. Gerakan ini tidak menggoyahkan Gereja, bahkan dikutuk oleh Paus Innocentius XII pada 11 April 1682 dan oleh Paus Aleksander VIII pada 4 Agustus 1690.

- Quietisme

Ajaran ini merupakan ajaran sesat dalam bidang mistik. Aliran ini telah meredupkan semangat mistik dalam Gereja. Hirarki Gereja, sakramen-sakramen, dan devosi-devosi ditentang olehnya. Namun pada akhirnya ajaran ini kembali dikutuk oleh petinggi Gereja, yaitu oleh Paus Innocentius XII.

* Hal-hal yang telah merusak citra kekudusan Gereja, salah satunya adalah mentalitas para imam yang kurang dilatih dan dibenahi sehingga pewartaan mereka tidak sesuai dengan tuntutan Injil. Di mana-mana ada rasionalisme pewartaan, lebih suka melayani umat Katolik yang saleh yang pada umumnya umat kalangan menengah ke atas. Hal ini tentu menyebabkan penghayatan iman umat biasa begitu lemah karena mereka kurang diperhatikan.

Melihat situasi yang semakin meredupkan dunia, khususnya semangat Gereja Kristus, Louis de Montford tampil mengambil jalan hidup lain dari situasi zamannya. Dengan kegigihan dan semangatnya yang berkobar-kobar ia menerapkan beberapa hal yang cukup penting dalam hidupnya sebagai murid Kristus, di antaranya adalah:

* Keterbukaan terhadap Roh Kudus

Abad pencerahan merupakan abad saat segala sesuatu berubah dan semuanya harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Tak ketinggalan dalam pengalaman akan kehadiran Roh Kudus.

Pada zaman ini Roh Kudus hampir tak ada tempat untuk berdiam dan berkarya karena banyak orang yang tenggelam dalam euforia tinggi dan semuanya hanya formalitas belaka dan malah semua itu dianggap sebagai adukan beton yang membendung tinggi hasrat-hasrat kebebasan mereka.

Inilah bukti nyata bahwa Roh Allah telah dipadamkan oleh sanubari manusia. Lebih menyedihkan lagi hal ini terjadi pada kaum religius. Banyak diantara mereka yang kehilangan iman dan berjalan dalam rohnya sendiri. Semuanya bertindak demi kesenangan pribadi dan kaul-kaulpun kehilangan makna bagi mereka.

Bagi St. Louis de Montford, keadaan seperti ini sangatlah membahayakan khususnya untuk perkembangan Gereja. Ia benar-benar gelisah oleh kenyataan ini.

Oleh karena itu, ia kemudian tampil dan berjuang untuk mengarahkan kembali umat penggembalaannya ke jalan yang benar, jalan yang tanpa mengabaikan inspirasi Roh Kudus.

Ia berani hidup bertentangan dengan keadaan zaman walau banyak orang menganggapnya kurang waras. Baginya Roh Kudus adalah Bapa segala cahaya, cahaya yang menuntun dia untuk lebih mengenal dan memahami misteri-misteri karya Allah.

* Pelepasan

Pada usia 20 tahun ia berangkat ke Paris untuk masuk seminari tinggi Saint Sulpice. Ia dihantar oleh keluarganya sampai di pinggir kota Rennes di jembatan Cesson.

Pada saat berpisah keluarganya menyerahkan segala kebutuhan yang diperlukannya dalam perjalanan. Setibanya di seberang jembatan ia menyerahkan semua barangnya kepada orang-orang miskin dan pengemis serta menukarkan pakaiannya dengan pakaian mereka sehingga ia masuk kota Paris dengan berjalan kaki sebagai pengemis dan gelandangan.

Dengan demikian dalam hidupnya tak ada lagi kekuatiran dan semata-mata mengandalkan penyelenggaraan Allah. Inilah pelepasan dirinya yang radikal, yang sungguh-sungguh melepaskan diri dari keterikatan keluarga dan harta duniawi.

* Devosi kepada Bunda Maria

Sejak kecil St. Louis de Montfort mempunyai relasi yang sangat mesra dengan Bunda Maria. Baginya Bunda Maria merupakan ibu yang selalu membimbing dia ke jalan Tuhan dan tanpa bantuan Bunda Maria hidupnya hanyalah sia-sia.

Semasa dia belajar di Seminari Saint Sulpice ia menghadapi suatu realitas bahwa devosi kepada Bunda Maria diobrak-abrik oleh para teolog sesat seperti Yansenisme dan devosi kepada Maria dianggap sebagai suatu kebodohan bagi kultur pencerahan.

Ajaran-ajaran ini menyebabkan banyak orang jatuh kepada ketidakyakinan akan pertolongan Bunda Maria. Hal ini juga menimpa teman-teman Louis yang akhirnya membuat mereka terpecah.

Namun pada saat itu masih ada teolog-teolog yang gigih mempertahankan devosi kepada Maria, seperti Pierre Greiner, Henry Marie Boundon, dan Jean Baptis Crasset. Kehadiran mereka inilah yang membuat Louis de Montford terus berelasi semakin dalam dengan Bunda Maria. 

Bagi St. Louis de Montfort, Bunda Maria adalah pribadi yang mempunyai relasi yang sangat erat dengan Allah Tritunggal. Berkat relasi ini banyak orang yang diantar oleh Bunda Maria kepada pengenalan akan Putranya.

Maka St. Louis de Montfort selalu menjalin relasi dengan Bunda Maria karena dia percaya melalui pertolongannya ia akan lebih dekat dengan Yesus, sehingga dalam mengarungi hidup ini ia selalu berpegang pada semboyan "Per Mariam Ad Jesum", melalui Maria sampai kepada Yesus.

Selain itu Bunda Maria adalah transparansi personal Roh Kudus. Oleh karena itu, ia memasrahkan seluruh hidupnya untuk taat kepada bimbingan Bunda Maria yang amat suci dan membiarkan dirinya dibimbing dan dikuasai oleh Roh Bunda Maria yang bukan lain adalah Roh Kudus sendiri. Dikatakan demikian karena selama hidupnya Bunda Maria selalu dibimbing oleh Roh Allah bukan rohnya sendiri

Atas kesetiaan dan penyerahan diri yang penuh kepasrahan kepada Bunda Maria, Bapa Suci Yohanes Paulus II menyebutnya sebagai saksi dan guru spiritualitas Maria sejati dan juga sebagai orang kudus yang mengalami doa rosario sebagai jalan sejati untuk menghayati kekudusan (Ensiklik Redemtoris Mater pada 25 Maret 1987 dan Surat Apostolik Paus pada 2002). 

* Hamba Fakir Miskin

Melihat situasi dunia yang semakin redup, dengan banyaknya terjadi penindasan yang menyebabkan orang hidup dalam kemiskinan dan penderitaan lainnya.

St. Louis de Montfort pun turun tangan. Ia secara langsung terjun ke tengah-tengah masyarakat miskin dan ke jalan-jalan untuk menemui para gelandangan.

Ia juga mengabdikan diri ke rumah-rumah sakit untuk menghibur dan melayani mereka yang menderita serta menjaga peti jenazah.

Kesempatan ini merupakan kesempatan yang indah bagi St. Montfort untuk mewartakan dan menyalakan kasih Yesus. Maka dengan itu, ia hadir dengan semangat pewartaan Yesus yang berkobar-kobar yang sungguh-sungguh menghibur dan menguatkan mereka, terutama untuk menyadarkan kodrat mereka sebagai anak-anak yang sangat dicintai Allah, sehingga pada akhirnya mereka mempunyai pengharapan akan kemuliaan Allah kelak.

Ia mewartakan Yesus bukan hanya dengan mulut saja, tetapi ia mengaplikasikannya di dalam kehidupannya bersama mereka. Ia makan, bekerja, dan bahkan tidur bersama dengan mereka yang menderita.

* Rasul Bagi Kaum Muda

Pada abad pencerahan ada banyak orang tenggelam dalam euforia tinggi, tak ketinggalan bagi kaum muda. Mereka sungguh-sungguh terjerat dalam hedonisme moral.

Moralitas seperti ini merupakan sebuah tantangan besar dalam penghayatan nilai-nilai Injil bagi kalangan muda, karena mereka tidak ada kesungguhan untuk menghayati dan mempraktekkan imannya.

Keadaan ini tentu sangat memprihatinkan, apalagi terjadi pada generasi penerus perkembangan Gereja. Namun di tengah situasi demikian masih ada sekelompok pemuda yang merindukan akan kebenaran Allah.

Dan kepada mereka inilah awal mula St. Louis de Montfort menghidupkan kembali Roh Kudus yang sudah lama meredup dalam hati mereka.

Ia hadir dan terjun langsung ke jalan-jalan untuk menemui mereka. Ia mewartakan Kerajaan Allah dengan suatu cara yang sederhana dan umumnya menyenangkan.

Ia mengubah syair-syair lagu kesenangan anak muda dengan lagu-lagu rohani sehingga pewartaannya cepat diterima oleh banyak orang khususnya bagi kaum muda.

Berbicara tentang jasa orang kudus ini terhadap Rosario, Pater R. Poupon, penulis terkemuka Ordo Dominikan berkata: "Kecerdasan Montford sejajar dengan kecerdasan Beato Allan de la Roche dan St. Dominikus. Ia melengkapi keduanya dengan memperkenalkan karisma dan interpretasi."



(Sumber: Warta KPI TL No.108/IV/2013 » Santo Louis de Montford, Vacare Deo, Edisi IV/X/2008).




St. Louis de Montford adalah penulis buku Rosario Suci,

dan dijuluki Pengkotbah Ulung Rosario Suci oleh Gereja

karena keberhasilannya dalam mempertobatkan orang-orang berdosa.