Senin, 19 September 2016

23.12 -

Berdoa tak kunjung putus



Di antara anugerah-anugerah yang diberikan oleh Roh Kudus kepada kaum beriman terdapat doa, khususnya doa tak kunjung putus yang juga dianjurkan oleh Santo Paulus (1 Tes 5:17).


Cara berdoa ini merupakan harta sangat berharga dari spiritualitas Kristen Timur. Dasar-dasar doa tersebut sudah dikenal dan dipraktekkan oleh pertapa di padang gurun pada abad 4.

"Doa Yesus" terutama disebarluaskan oleh para pengikut "hesikhasme", yaitu suatu aliran spiritualitas, yang memusatkan perhatiannya pada "hesikhia" ( = diam, kesunyian, ketenangan lahir batin) sebagai sarana untuk menyelam ke dalam doa batin.

Hesikhasme mengalami masa kejayaannya terutama dalam abad 14, tetapi sampai di zaman sekarang pun hesikhasme masih besar pengaruhnya. Pengaruh hesikhasme antara lain disebarluaskan oleh sebuah buku yang dikenal dengan nama "Philokalia" (kumpulan kutipan-kutipan naskah para bapa tentang doa).

Marilah kita mengenal "doa Yesus" dari kisah seorang pengembara Rusia (X)

Aku adalah seorang pengembara, kekayaanku sebuah pundi-pundi yang kubawa di punggungku, kadang-kadang berisi roti kering dan sebuah Kitab Suci di saku.

Pada suatu hari Minggu ke-24 sesudah Pentekosta, aku pergi ke gereja mau doa. Dalam liturgi kudus dibacakan surat Santo Paulus kepada umat Tesalonika. Di situ terdapat kata-kata: "Berdoalah selalu (1 Tes 5:17). Kalimat itu terpaku pada pikiranku.

Aku mulai memikirkan bagaimana itu mungkin: berdoa selalu. Sebab manusia kan masih harus mengurus banyak hal lain untuk mendapatkan nafkah.

Kubuka Kitab Suciku dan kucari kalimat itu. Dengan mata kepala sendiri kubaca kalimat yang kudengar di gereja, yaitu kita harus selalu dan di mana-mana berdoa "dalam roh" (Ef 6:18). Kupikirkannya lama, tetapi aku tak dapat menemukan pemecahannya.

Apa yang harus kulakukan? Di mana dapat kutemukan orang yang dapat menjelaskan ini? Aku akan mengunjungi semua gereja yang pengkotbahnya terkenal.

Keputusanku langsung kulaksanakan. Maka kudengar banyak kotbah bagus tentang doa. Tetapi yang diberikannya hanya garis-garis umum saja: apa arti doa, bagaimana pentingnya dan apa buahnya. Tak seorang pun menjelaskan cara mengadakan kemajuan dalam doa.

Memang aku pernah mendengar kotbah tentang doa "dalam roh", tentang doa yang tak kunjung putus. Tetapi tidak diberikan sarana untuk mencapai doa itu. Di mana pun juga tak kutemukan uraian yang kurindukan. Akhirnya usahaku kuhentikan. Aku tidak mendengarkan kotbah lagi. Kucari jalan lain.

Dengan bantuan Allah, aku mencari seorang bijaksana yang berpengalaman, yang dari penghayatan pribadi dapat menunjukkan bagaimana aku dapat mencapai cara berdoa yang sangat menarik hatiku.

Maka aku menjelajah ke mana-mana sampai lama, sambil membaca Kitab Suci terus menerus. Di mana-mana kutanyakan apakah dekat situ barangkali ada seorang pembimbing rohani yang bijaksana dan suci.

Pada suatu hari aku diberi tahu, bahwa di suatu tempat ada seorang pria yang sejak beberapa waktu memusatkan segala perhatian dan tenaganya untuk keselamatan jiwanya. Ia mempunyai kapel sendiri dan tidak pernah meninggalkan pekarangannya. Ia berdoa sepanjang hari dan membaca buku-buku rohani tanpa kunjung putus. Aku pergi ke sana bertemu dengan dia.

Katanya: "Berdoa batin terus menerus berarti bahwa hati merindukan Allah tanpa kunjung putus. Untuk dapat maju dalam karya luhur ini, kita harus kerap minta kepada Allah supaya Ia mengajar kita berdoa. Berdoalah saja yang banyak dan giat; doa itu sendiri akan mengajar anda bagaimana dia dapat berlangsung tanpa kunjung putus. Tetapi untuk itu diperlukan waktu."

Aku meneruskan perjalanan sambil merenungkan uraian pria tadi, tetapi persoalannya tidak menjadi jelas bagiku. Keinginanku untuk memahami barang sedikit tentang hal itu meletihkan aku demikian rupa, sehingga malam hari aku tidak dapat tidur karenanya.

Setelah menempuh jarak sekurang-kurangnya 120 km, aku sampai pada sebuah kota yang besar. Di situ ada biara. Pemimpin biara itu sangat baik, saleh dan suka menerima tamu. Aku berkunjung padanya dan minta nasihat tentang cara menyelamatkan jiwaku. Katanya: "Penuhi perintah-perintah Allah, berdoalah kepada Allah, dan engkau akan selamat."

Aku merasa sedih karena tidak dapat memahami sedikit pun penjelasan pemimpin biara tersebut. Untuk menghibur diri, aku sering membaca Kitab Suci.

Lima hari aku mengembara melalui jalan raya. Sesudah senja aku bertemu dengan seorang rahib tua.

Rahib itu membuat tanda salib dan berkata: "Syukur kepada Allah, saudaraku, sebab Ia telah membangkitkan dalam dirimu keinginan kuat sekali akan memahami doa batin. Pandanglah ini sebagai panggilan Allah dan tenanglah. Yakinlah, bahwa engkau dicoba supaya dapat menerima kehendak Allah.

Engkau diberi tahu, bahwa cahaya sorgawi doa batin yang tak kunjung putus tidak dapat kita peroleh dengan hikmat duniawi atau dengan keinginan dangkal akan pengertian. Cahaya sorgawi doa batin itu diperoleh orang yang miskin dan bersikap sederhana, jika mereka sungguh mempraktikkannya. Maka tidaklah mengherankan bahwa sampai sekarang engkau tidak mengerti sedikit pun juga tentang doa ini dan tentang cara kita dapat mempraktikkannya tanpa kunjung putus.

Tentang doa memang sudah banyak dikatakan, diajarkan dan ditulis. Tetapi pandangan-pandangan yang diwartakan tentang doa sebagian besar didasarkan atas pemikiran otak dan hikmat kodrati semata-mata, bukannya atas pengalaman doa.

Orang menyelidiki sifat-sifat doa, bukan hakikatnya. Orang menguraikan perlunya doa, dayanya, buah-buahnya, dan apa saja yang harus menyertainya: kerajinan, semangat, kehangatan hati, kemurnian pikiran, perdamaian dengan musuh, kerendahan hati, kesadaran dosa dan masih banyak lagi.

Tentang arti doa yang sesungguhnya dan cara mempelajarinya sekarang jarang sekali didapatkan jawaban yang memuaskan. Padahal menurut hematku soal-soal inilah yang paling biasa dan paling penting. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memang diperlukan pengertian lebih mendalam dan bukan hanya ilmu melulu.

Yang lebih parah ialah bahwa hikmat duniawi yang gila mencoba mengukur hikmat ilahi dengan ukuran manusiawi. Banyak orang mengira, bahwa perbuatan baik dan berbagai persiapan lainnya begitu saja dapat membuat kita siap untuk doa samadi. Padahal sebetulnya keadaan justru terbalik.

Melebihi segala-galanya, doa kontemplatiflah yang menghasilkan perbuatan baik dan keutamaan. Orang memandang hasil dan buah doa sebagai saran dan jalan ke arah doa. Dengan demikian orang menilai rendah kekuatan doa. Santo Paulus berkata: "Pertama-tama kunasihatkan: Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang" (1 Tim 2:1).

Tentu saja orang Kristen harus juga melakukan perbuatan baik, dan tidak hanya sedikit, tetapi lebih-lebih ia harus berdoa, sebab tanpa doa (1) ia tak dapat melakukan sesuatu pun yang baik, entah itu apa. Tanpa doa (2) ia tak dapat menemukan jalan menuju Allah, (3) tak dapat pengertian tentang kebenaran, (4) tak dapat menyalibkan diri bersama hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Tanpa doa (5) ia tak dapat melihat cahaya Kristus terbit dalam hatinya, (6) ia tak dapat bahagia bersatu dengan Allah. Semuanya ini tidak mungkin terjadi jika tidak selalu didahului oleh lebih banyak doa.

Namun begitu kesempurnaan doa itu tidak berada di tangan kita. Santo Paulus berkata: "Kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa" (Rm 8:26). Jadi, banyak berdoa dan selalu berdoa itu dianjurkan kepada kita sebagai suatu jalan untuk mencapai kemurnian doa, ibu segala kebaikan rohani.

Santo Ishak dari Siria pernah berkata: "Ambillah hati ibunya, maka ia akan menyerahkan kepadamu anak-anaknya juga." Kuasailah dulu doa, sekaligus anda akan memperoleh semua keutamaan lainnya.

Tetapi kalau orang tidak mempunyai pengalaman pribadi dalam hal ini, dan juga tidak mengenal ajaran para bapa kudus, ia tidak dapat mengerti banyak tentang doa, apalagi membicarakannya."

Ia berkata lagi: "Berdoa terus menerus dalam batin kepada Yesus berarti menyerukan nama-Nya yang kudus terus menerus tanpa kunjung putus, menyerukannya dengan mulut, dengan roh dan dengan hati, menyadari kehadiran-Nya yang tetap dan mohon bantuan rahmat-Nya dalam segala kesibukan kita, selalu dan di mana-mana, bahkan waktu tidur.

Serukanlah kepada Allah itu dirumuskan begini: "Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah aku." Barangsiapa membiasakan diri dengan doa ini akan mendapatkan banyak penghiburan di dalamnya. Ia akan merasa terdorong untuk mengulang-ulanginya terus-menerus, sehingga ia tak tahan tanpa doa itu. Akhirnya ia akan merasa doa itu timbul dari batinnya dengan sendirinya. 

Mengertikan saudara sekarang yang dimaksud dengan berdoa selalu?" "Ya, Rama," jawabku terharu, "mohon penjelasan juga, bagaimana saya dapat membiasakan diri dengan doa itu."

"Bacalah saja buku ini," katanya, " namanya Philiokalia. Dalam buku ini dimuat tulisan lengkap dan terperinci tentang doa batin yang tak kunjung putus menurut ajaran dua puluh lima bapa kudus. Seluruh buku ini memancarkan demikian banyak hikmat dan kesucian sehingga dapat dipandang sebagai buku pegangan paling baik tentang hidup kontemplatif dan rohani."

"Kalau begitu adakah buku ini lebih luhur dan lebih kudus daripada Kitab Suci?" Tanyaku. "Tentu saja tidak. Tetapi dalam buku ini terdapat uraian-uraian sederhana tentang hal-hal yang di dalam Kitab Suci diwahyukan penuh misteri sehingga tak dapat dipahami oleh budi kita yang buta.

Matahari itu benda yang paling terang dan paling bersinar, meskipun begitu kita tidak dapat menatapnya dengan mata telanjang. Untuk dapat memandangnya kita harus mempunyai sebuah kaca istimewa yang berjuta kali lebih kecil dan lebih gelap daripada matahari.

Tetapi dengan pertolongan kaca itu kita dapat dengan aman memandang dan mengagumi matahari dengan segala kecemerlangannya.

Kitab Suci itu matahari yang menyilaukan, sedangkan buku ini, "Philokalia" ialah sebuah kaca yang dapat kita pergunakan untuk mempelajari bintang siang yang indah itu."

Selama satu pekan seluruh tenaga kukerahkan untuk belajar berdoa tanpa kunjung putus dengan cara yang diajarkan rahib tadi. Mula-mula semuanya berjalan lancar tetapi lambat laun doa itu mulai melelahkan. Aku menjadi mengantuk dan banyak pikiran seperti awan tebal menyelubungi budiku. Aku sedih sekali, lalu aku menghadap rahibku untuk memberitahukan keadaanku.

Ia menerima aku dengan ramah, katanya: "Saudaraku, inilah perang yang diumumkan oleh kerajaan kegelapan melawan engkau. Tidak ada yang lebih mereka takuti daripada hati kita yang bersamadi.

Oleh karena itu mereka berusaha mati-matian untuk menghalanginya. Mereka mau mendesak supaya engkau membatalkan niatmu untuk belajar berdoa. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lebih daripada yang diizinkan Allah, dan Allah mengizinkan sesuatu yang perlu bagi kesejahteraanmu.

Rupanya kerendahan hatimu masih perlu diuji: barangkali masih terlalu pagi bagimu untuk diizinkan masuk ke taraf yang paling tinggi. Ada bahaya engkau jatuh ke dalam keserakahan rohani. Akan kubacakan anjuran buku kita untuk keadaan seperti ini."

Ia membuka ajaran bahagia Nicephorus dan membaca: "Jika sesudah berusaha keras engkau tidak berhasil menguasai hati menurut ajaran yang diberikan, lakukanlah anjuranku ini dan dengan bantuan Allah akan kaudapatkan yang kaucari.

Daya pengucapan kata terletak dalam tenggorokan. Singkirkan semua kata lain yang timbul (engkau bisa ini kalau memang mau) dan ulangi saja tanpa kunjung putus: "Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah aku." Paksakan dirimu. Kalau engkau berhasil sebentar, hatimu akan terbuka bagi doa. Ini kami ketahui dari pengalaman."

"Inilah ajaran para bapa kudus," kata rahib itu. "Jadi mulailah sekarang mentaati perintah ini dengan kepercayaan yang tulus dan secara lisan mengulangi doa kepada Yesus sebanyak mungkin. Ini tasbihku. Bawalah ini dan ucapkan doa ini tiga ribu kali sehari. Entah engkau berdiri atau duduk, entah berjalan atau berbaring, berdoalah selalu: "Tuhan Yesus Kristus, kasihanilah aku." Ulangi dengan tenang tanpa tergesa-gesa. Allah akan menolong dan engkau akan mencapai tujuan yang mau kaukejar, yaitu: berdoa dalam hati tanpa kunjung putus."

Kuterima dengan senang hati petunjuknya. Perintahnya kujalankan dengan seksama. Hari hari pertama tidak begitu mudah, tetapi kemudian menjadi lebih mudah, bahkan lebih menyenangkan. Begitu aku berhenti, kurasa keinginan untuk berdoa lagi, dan ini kulakukan keluar dari diriku dan dengan senang hati, tanpa harus memaksa diri.

Hal ini kukatakan kepada rahib, dan ia menyuruhku mengucapkan doa ini 6.000 kali sehari, katanya: "Tenang-tenang saja. Cobalah mengucapkan doa yang ditentukan, dan Allah akan memberimu rahmat-Nya."

Pada hari kesebelas kuceritakan keadaanku. Mendengar itu rahib berkata: "Sekarang engkau sudah terbiasa mendoakan itu. Pertahankan kebiasaan itu dan tingkatkanlah. Jangan membuang waktu sedikitpun, dan hari ini mulailah mengucapkan doa kepada Yesus itu 120.000 kali setiap hari."

Nasihat itu kulakukan. Pada mulanya aku merasa lelah, rahang dan lidahku seakan-akan menjadi kaku, tenggorokanku juga sakit, demikian pun ibu jari kanan yang kupakai untuk menghitung mata tasbih. Akhirnya seluruh tangan dan lengan sampai bahu merasa sakit. Ini tidak menyenangkan sama sekali, meskipun begitu kupaksa diriku untuk terus. Lima hari aku bertekun mengucapkan doa 12.000 kali, dan karena terbiasa, aku juga dapat menikmatinya.

Pada suatu pagi aku seolah-olah dibangunkan oleh doaku. Aku mau melakukan doa pagi seperti biasa, tetapi lidahku tidak mau mengucapkannya dengan lancar. Seluruh keinginanku terpusatkan pada satu hal saja, yaitu mendoakan doa Yesus. Begitu aku memulainya, aku merasa bahagia dan kuat.

Sekarang bibir dan lidahku mengucapkan kata-kata dengan sendirinya, tanpa perlu kuurus. Sepanjang hari aku berada dalam keadaan gembira sekali. Aku merasa dilepaskan dari segalanya dan seperti hidup di dunia lain.

Sesudah itu aku berkunjung lagi pada rahib dan memberikan laporan panjang lebar tentang semua yang kualami. Ia mendengarkan dan kemudian berkata: "Bersyukurlah kepada Allah sepenuh hati, sebab Ia telah memberi engkau keinginan dan anugerah doa. Engkau menerimanya berkat usaha dan semangat sebanyak itu.

Jika Allah berkenan memberi anugerah doa yang berdikari, aktif dan rohani, jika Allah membersihkan dari segala kelekatan terhadap hal-hal indrawi! Ini sungguh keadaan yang tak bisa dilukiskan, dan barangsiapa mencapai tarap samadi mistik ini, di dunia ini sudah menikmati prarasa kegembiraan firdaus. Inilah kebahagiaan yang disediakan bagi orang yang mencari Allah dengan hati sederhana dan penuh kasih.

Mulai sekarang engkau kuizinkan mengulangi doamu berapa kali saja menurut kemampuan dan kehendakmu. Selama engkau berjaga, gunakanlah semua waktumu untuk menyerukan nama suci Yesus Kristus tanpa menghitung berapa kali.

Tundukkan dirimu dengan rendah hati kepada yang akan diatur oleh Allah terhadap dirimu, dan percayakan kepada bantuan-Nya. Aku percaya bahwa Allah sekarang tidak akan meninggalkan dikau, melainkan akan menunjukkan kepadamu jalan yang tepat."

Sesuai dengan nasihat ini, seluruh waktu kulewatkan dengan berdoa terus-menerus kepada Yesus Kristus, dan hatiku mengalami kedamaian yang mendalam. Malam hari aku kerap mimpi sedang berdoa. Siang hari, jika aku bertemu dengan orang-orang, mereka semua tampaknya kukasihi seperti saudara dekat.

Batinku sekarang mulai mendengarkan doaku, dan kadang-kadang dalam hatiku kurasa kehangatan yang menyenangkan. Jika aku pergi ke gereja, doa-doa ibadat yang panjang kurasa singkat, dan aku tidak merasa bosan seperti dulu.

Karena rahibku sudah wafat, sekarang tidak ada lagi orang yang mengajar aku. Oleh karena itu pikirku aku akan membeli buku "Philokalia", supaya aku dapat melanjutkan mempelajari doa batin.

Semenjak itu aku terus mengembara dan selalu mengucapkan doa Yesus. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang kusukai dan kunikmati melebihi doa itu.

Kadang-kadang aku berjalan lebih dari 40 km sehari, dan aku hampir-hampir tidak menyadarinya. Yang kuketahui hanyalah bahwa aku berdoa.

Bila aku menggigil kedinginan, kuulang-ulangi doaku dengan semangat lebih besar, dan aku merasa dihangatkan olehnya.

Bila aku merasa lapar, kuserukan nama Yesus lebih kerap, dan aku lupa bahwa aku ingin makan.

Bila kurasa sakit punggung, lengan dan kakiku, kudengarkan kata-kata doaku, dan aku tidak lagi merasa berat dalam deritaku.

Bila seseorang menyusahkan aku, aku tinggal memikirkan betapa manis doa Yesus, dan kulupakan sama sekali luka hatiku.

Seolah-olah aku tak merasa apa-apa lagi: tiada urusan, tiada kedinginan, tiada hasrat untuk ini atau itu, sendirian sama sekali. Segala harapanku terpusat pada doa, berdoa tanpa kunjung putus dan kalau ini kulakukan hatiku penuh kegembiraan.

Beberapa waktu kemudian kusadari bahwa doaku seperti dengan sendirinya meresap dari bibir ke dalam hati. Seakan-akan pada tiap denyutan jantung hatiku dengan sendirinya mengulang-ulang kata-kata doaku. Sekarang kuhentikan pengucapan doaku, dan aku mulai mendengarkan dan memperhatikan kata-kata yang dibisikkan hatiku.

Aku merasa dibebaskan dari segala macam tekanan. Aku sadar akan kasihku yang berkobar-kobar kepada Yesus Kristus dan kepada seluruh ciptaan Allah. Mataku penuh air mata karena bersyukur bahwa Allah demikian murah hati terhadap aku, orang berdosa.

Budiku yang lemah diterangi demikian melimpah sehingga aku memahami hal-hal yang dulu tidak berani kuimpikan.

Kadang-kadang seluruh pribadiku diresapi oleh rasa kehangatan hati yang menyenangkan sehingga aku terharu menyadari kehadiran Allah di mana-mana.

Menyerukan nama Yesus Kristus sudah cukup untuk menghantar aku ke dalam kegembiraan yang besar. Aku sekarang mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata: "Kerajaan Allah ada di dalam dirimu" (Luk 17:21).

Semua pengalaman ini mengajar aku, bahwa doa batin menghasilkan banyak buah: kasih Allah yang manis, kedamaian batin, larutan roh, kemurnian pikiran, ingat akan Allah tanpa kunjung putus; merasa badannya sendiri lebih ringan dan lebih kuat, seluruh pribadi diresapi rasa bahagia, tidak lagi menghiraukan lagi rasa sakit atau kegelisahan, budi menjadi lebih jernih, memahami Kitab Suci, mengenali bahasa ciptaan, meninggalkan kesia-siaan, mendapatkan pengertian baru tentang inti kesucian dan hidup rohani, merasa pasti akan dekat-Nya Allah dan akan kasih Allah terhadap kita semua.

Allah menghendaki bahwa kita datang pada-Nya seperti anak datang pada Bapanya, bahkan kita hidup baik karena cinta dan hormat kepada-Nya, bahwa kita menempatkan kebahagiaan kita dalam persatuan kita dengan Dia, yaitu dalam persatuan hati dan roh yang melimpahkan berkat.

Meskipun kita menyiksa diri sebanyak-banyaknya, kita tidak menempatkan Allah dalam hati kita dan doa Yesus pada bibir kita; pikiran kita tidak akan tenang dan kita akan selalu menghadapi kemungkinan besar untuk jatuh lagi ke dalam dosa.

Di sini dalam kesunyian kita mempunyai kesempatan baik untuk melakukan doa itu, dan kita pasti akan menikmati damai. Pikiran-pikiran melawan iman pasti tidak akan memasuki kita lagi, dan iman yang sejati akan mewahyukan diri kepada kita, jika kita belajar mengasihi Yesus Kristus dengan cara itu.

Hati kita akan mengalami kegembiraan dan kebahagiaan demikian besar, sehingga kita akan tertegun karenanya. Tak akan ada lagi sesuatu pun yang menekan ataupun menghalangi kita dalam kehidupan suci seperti itu.

Doa batin itu dapat dicapai tiap orang. Tidak ada lain yang diperlukan kecuali membiarkan diri tenggelam ke dalam hatinya dan lebih kerap menyerukan nama Yesus Kristus yang mulia. Maka akan tampaklah cahaya batin itu dan semuanya menjadi sederhana. Bahkan beberapa rahasia kerajaan Allah dapat dipahami orang dalam sinar cahaya itu.

Barangsiapa sudah mencapai doa sejati dan kasih sejati tidak lagi membedakan orang yang benar dengan orang yang jahat; ia mencintai semuanya dan tidak mengadili seorang pun juga, seperti juga Allah mengirimkan matahari dan hujan-Nya baik bagi yang benar maupun yang jahat tanpa membeda-bedakannya (Niketas Stethatos dalam Philokalia).

Karya roh, doa batin, kontemplasi, semua sarana untuk mengangkat hati, ini semua tidak boleh kita simpan dalam hati kita saja. Kita harus berusaha jangan sampai ini semua dilupakan, dengan menuliskannya atau mewartakannya secara lisan, demi kasih kita kepada semua orang dan demi keselamatan mereka.

(Sumber: Warta KPI TL No.137/IX/2016 » Renungan KPI TL Tgl 4 Agustus 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).