Senin, 19 September 2016

Aku kecewa dengan Tuhan



Saya mulai kecewa dengan Tuhan, saya mulai mengurangi porsi kegiatan-kegiatan yang dulu aktif saya lakukan. Saya mulai takut bersaksi di hadapan banyak orang karena pada kenyataannya hidup anggota keluarga saya tidak sebaik yang orang lain duga.



Saya mulai menutup buku catatan pelayanan saya dan mengurung diri dari kegiatan-kegiatan kerohanian beberapa waktu hingga saya disadarkan bahwa tugas saya adalah melakukan yang terbaik dan Allah yang berhak memutuskan segalanya. Yang pasti terbaik untuk saya dan keluarga saya.

Perlahan saya mulai berani kembali berdiri dan melangkah lagi dengan iman. Percaya, bahwa Tuhan tidak memakai orang benar, melainkan orang bersalah sebagai perpanjangan tangan-Nya.

Ada satu peristiwa yang membuat saya terpuruk, peristiwa itu menorehkan derita mendalam yang pada saat itu tidak bisa saya terima. Saya menjadi rendah diri karena sebagai seorang pembawa firman renungan dan pujian orang sudah melekat pada saya sebagai orang yang tampaknya tanpa cela. Tapi kenyataannya dalam perjalanannya, Tuhan "ijinkan" ujian itu terjadi pada keluarga kami.

Saya sendiri protes kepada Tuhan kenapa Tuhan tidak selamatkan salah satu keluarga saya dari kehancuran yang lebih dalam. Kenapa Tuhan pakai saya untuk menjadi berkat bagi banyak orang, tetapi Tuhan tidak menyayangi keluarga saya, mengapa Tuhan "membiarkan" semua itu terjadi? Mengapa?

Ada sebuah titik yang menyadarkan saya, ketika itu almarhum Bapa Uskup Mgr. Pujasumarta memanggil saya, menanyakan mengapa saya tidak lagi menulis renungan harian dan tidak aktif "melayani".

Terdiam sejenak saya mengemukakan alasan dan saat itu dalam hening berdua bersama beliau mengatakan bahwa beliau yang hidup hampir 24 jam hanya melayani Tuhan dan menggembalakan umat, tetapi Tuhan tidak berikan sehat melainkan menderita kanker stadium 4.

Saya di kapel Keuskupan menatap mata beliau dan berlinangan air mata. Saya sujud kepada Tuhan dan mohon pengampunan bahwa apa yang saya lakukan adalah sesuatu yang salah. 

Kesadaran yang berhikmat itu membawa saya memahami bahwa melayani Tuhan harus tanpa pamrih dan tanpa tujuan apapun. Dan melayani Tuhan bukan jaminan hidup kita seperti berjalan di jalur by pass yang bebas tanpa hambatan. Bersama Tuhan masalah tidak menjadi lebih kecil, tapi jalan keluar menjadi jalan besar.

(Sumber: Warta KPI TL No.137/IX/2016 » Renungan Anne Avante).