Senin, 29 Februari 2016

18.58 -

Magisterium

1. Apa itu Magisterium?

Magisterium adalah wewenang mengajar Gereja. Wewenang ini ditetapkan oleh Yesus Kristus ketika Ia menjanjikan, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dia-lah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yoh 14:16.26).

Kuasa mengajar ini dipercayakan Gereja kepada Paus dan para Uskup, seperti dinyatakan dalam Vatikan II, Dei Verbum #10, “Adapun tugas untuk menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis dan diturunkan itu dipercayakan hanya kepada wewenang mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus.”

2. Apakah yang menjadi dasar dari Wewenang Mengajar Gereja ini?

Dalam Injil Matius 16:18, pada saat Yesus mengganti nama Simon menjadi Petrus, Yesus sekaligus mengatakan hal ini kepadanya, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus [artinya batu karang] dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya.”

Pula, dalam perutusan agung sesudah kebangkitan-Nya, Yesus mengatakan kepada kesebelas rasul (Yudas telah tewas menggantung diri dan Matias belum dipilih untuk menggantikannya): “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:18-20).

Kesebelas rasul itu adalah bapa-bapa Uskup Gereja yang pertama, dengan Petrus sebagai pemimpinnya. Perhatikan bahwa Yesus berjanji menyertai Gereja-Nya beserta para pemimpinnya “senantiasa sampai kepada akhir zaman” dan bahwa “alam maut tidak akan menguasainya.” 

Artinya adalah: dalam tugas mengajar, Gereja akan senantiasa disertai oleh perlindungan ilahi sampai kepada akhir zaman; dengan demikian, Gereja dijauhkan dari salah atau kesesatan yang mungkin.

Kecuali hanya jika Kitab Suci itu salah atau Yesus berbohong, maka Gereja yang dimaksud adalah Gereja Katolik. Tak ada gereja dari denominasi manapun, selain Gereja Katolik, yang dapat menarik garis lurus suksesi tak terpatahkan hingga kembali pada Petrus dan para rasul. 

Setiap gereja dari denominasi lain dapat menarik garis lurus mereka hanya hingga sampai pada individu tertentu atau sampai pada masa di mana mereka memisahkan diri dari Gereja yang dibangun atas dasar Petrus dan atas dasar iman yang diajarkan Gereja-Nya 


3. Adakah dasar biblis lainnya yang menegaskan kuasa mengajar dari para rasul ini?

Ya, diantaranya: Luk 6:12-16; Mat 28:18-20; Yoh 20:21-23; 2Tes 2:15; 1Kor 12:12.28-31.

4. Mengapa Gereja Katolik menetapkan Paus dan para Uskup sebagai penerus Petrus dan para rasul?

Sebab demikianlah Yesus menetapkannya (Baca juga: Primat St. Petrus). Jabatan Petrus, pemimpin Gereja yang kelihatan di dunia ini, ditetapkan oleh Yesus; Yesus juga menjanjikan bahwa “alam maut tidak akan menguasainya.” 

Artinya bahwa jabatan tersebut tetap ada, bahkan setelah pemegang jabatannya yang pertama, yakni Petrus, telah pergi untuk menerima ganjaran abadi. 

Tuhan Yesus Sendiri yang memberikan kepada para rasul-Nya kuasa untuk mengikat dan melepaskan; Ia Sendiri juga yang mendirikan Gereja-Nya. Dengan tindakan-Nya ini, Yesus memperlengkapi komunitas-Nya dengan struktur yang akan tetap ada hingga Kerajaan-Nya sepenuhnya digenapi. Para rasul memahami benar hal ini, sebab itu mereka memilih seorang pengganti untuk menduduki jabatan Yudas (Kis 1:15-26).

Jika kita tidak mempunyai Paus sebagai pemimpin yang kelihatan (penerus Petrus) dan para Uskup (penerus para rasul) yang mendukungnya, maka akan terjadi kekosongan dan kekacauan. Tanpa kehadiran mereka secara fisik dan kelihatan untuk secara terus-menerus menafsirkan dan mengajarkan apa yang Yesus wariskan kepada kita, maka kita tak akan memiliki kesatuan iman (Ef 4:5). 

Sebagai bukti akan hal ini, coba lihat saja lebih dari 26,000 denominasi Protestan yang ada sekarang ini tanpa kesatuan iman bersama; itulah gambaran apabila kuasa mengajar dikesampingkan.

5. Apa itu doktrin?

Doktrin artinya “ajaran”. Doktrin Gereja Katolik meliputi segala macam pengajaran, baik iman maupun moral, yang dipercayakan Kristus kepada Gereja melalui para rasul dan disampaikan kepada kita demi keselamatan kita. 

Jadi, doktrin adalah ajaran yang diwahyukan Allah. Sebagian doktrin (seperti Trinitas) merupakan definisi-definisi konsiliaris yang diperteguh oleh otoritas paus, sementara sebagian doktrin lainnya merupakan definisi-definisi kepausan (seperti SP Maria Dikandung Tanpa Dosa). 

Sebagian besar dari definisi-definisi ini dirumuskan sebagai tanggapan atas tantangan bidaah terhadap suatu doktrin tertentu. Doktrin-doktrin yang telah didefinisikan wajib diterima segenap umat beriman dan merupakan ajaran otentik Gereja.

Ketika suatu dekrit yang berasal dari konsili atau Paus memaklumkan suatu doktrin tertentu, bukan berarti bahwa doktrin tersebut “baru” ada pada saat dinyatakannya. Sesungguhnya, doktrin mengalami perkembangan dari waktu ke waktu oleh sebab pemahaman tentang topik yang dibahas dalam doktrin tersebut menjadi semakin mendalam dan jelas. Sebagian besar konsili dipanggil guna menanggapi suatu tantangan (bidaah) tertentu

Pernyataan konsili mempertegas ajaran Gereja atas masalah yang dihadapi. Sebagai contoh, Konsili Nicea I (325) menanggapi bidaah Arianisme, Konsili Efesus (431) menanggapi bidaah Nestorianisme, dan Konsili Trente (1545-1563) menanggapi Reformasi Protestan.

6. Jika seorang Katolik tidak ambil peduli pada doktrin Gereja Katolik, apakah ia sungguh seorang Katolik?

Jika seorang telah dibaptis dalam Gereja Katolik, ia seorang Katolik meski ia tidak tahu atau tidak paham akan doktrin-doktrin Gereja. Adalah kewajiban setiap orang Katolik untuk mempelajari kebenaran-kebenaran iman. Hal ini dapat dilakukan dengan ikut ambil bagian dalam pendalaman Kitab Suci, seminar, retret dan lain cara.

7. Apa yang harus harus dilakukan (dan diyakini) seseorang agar dapat dianggap sebagai orang Katolik oleh Gereja?

Pertama-tama, ia harus dibaptis. Kedua, ia harus menerima Sepuluh Perintah Allah. Ketiga, ia harus meyakini pengakuan iman seperti diungkapkan dalam Syahadat Para Rasul (atau Syahadat Nicea). Dan yang terakhir, ia wajib menerima pernyataan-pernyataan dogmatis yang dimaklumkan oleh konsili ekumenis dan paus sebagai benar dan mengikat mereka dalam iman. Tentu saja, semuanya ini tidak terjadi seketika saat seorang bayi dibaptis, melainkan merupakan apa yang diharapkan dari seorang beriman dewasa, entah baru maupun telah lama dibaptis.

8. Apa itu dekrit?

Dekrit adalah doktrin resmi Gereja mengenai iman atau moral yang ditetapkan oleh konsili atau Paus.

9. Apa itu dogma?

Dogma adalah doktrin resmi Gereja mengenai iman atau moral yang dinyatakan secara meriah dengan kekuasaan Paus (ex cathedra = dari atas tahta, Latin) sebagai gembala dan pengajar tertinggi kepada Gereja universal dengan karisma infallibilitas paus. 

10. Apa itu infallibilitas Paus?

Infallibilitas artinya Paus tidak dapat sesat ketika ia, sebagai gembala dan pengajar tertinggi segenap umat beriman, memaklumkan dengan tindak definitif suatu doktrin mengenai iman dan moral yang mengikat Gereja semesta untuk selamanya.

Infabillitas tidak berarti bahwa Paus tidak dapat berbuat dari dosa. Bapa Suci menerima Sakramen Tobat secara teratur dan setiap kali mengakui keberdosaannya dalam Misa Kudus saat ia mengatakan, “Saya mengaku kepada Allah yang Mahakuasa dan kepada saudara sekalian, ...” pula saat ia membasuh tangannya sebelum Doa Syukur Agung sembari berdoa memohon “Tuhan, bersihkan aku dari dosa-dosaku dan cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku.” 

Infabillitas juga tidak berarti bahwa Paus tak dapat salah apabila ia berbicara mengenai matematika, ilmu pengetahuan, atau hal-hal non-religius lainnya.

Karisma infallibilitas hanya dapat dijalankan apabila Paus mengajarkan kebenaran iman dan moral; Paus memaklumkannya dengan otoritas penuh sebagai Penerus Petrus dan sebagai kepala Gereja universal di dunia; Paus membuat pernyataan mutlak atas doktrin yang dikeluarkan; Paus mengikat segenap umat beriman untuk menerima pengajarannya, atau orang akan jauh dari kebenaran wahyu ilahi dan iman Katolik. Surat-menyurat pribadi Paus, bahkan di mana dibicarakan pengertian yang tepat dan benar, tidak infallible sebab tidak dimaksudkan untuk mengikat segenap umat beriman.

Bahwa Yesus bermaksud menghindarkan Petrus dan para penerusnya dari kesalahan dapat ditemukan dalam pernyataan Tuhan kita kepada Petrus,

“Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”(Mat 16:19).

Sulit dibayangkan bahwa Yesus akan memberikan persetujuan di sorga atas keputusan-keputusan salah yang dibuat para Paus di dunia, sebab itu Ia memberikan perlindungan agar hal yang demikian jangan sampai terjadi. 

Dan apakah perlindungan itu? Jawabnya dapat kita temukan dalam Matius 28:20 di mana Yesus berjanji bahwa “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” 

Dan lagi dalam Yohanes 14:16-17 di mana Tuhan kita mengatakan, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran.” Roh Kebenaran ini, yaitu Roh Kudus, telah menyertai Gereja Katolik sejak Pentakosta.

Sejarah membuktikan bahwa selama lebih dari 2000 tahun ini, tak satu pun Paus yang pernah memaklumkan suatu pernyataan yang salah dalam hal iman ataupun moral. Tak ada dogma yang pernah atau perlu diubah. Sebagian ajaran memang dirumuskan kembali guna memberikan penjelasan yang lebih baik, tetapi intisari dan makna dari pernyataan dogmatis tersebut tidak pernah berubah.

11. Dapatkah disebutkan contoh ajaran yang tidak dapat sesat?

Ajaran yang tidak dapat sesat jumlahnya sangat sedikit. Sejak ditetapkannya karisma infallibilitas Paus dalam Konsili Vatikan I (1869-1870), hanya ada dua saja ajaran yang dimaklumkan sebagai tidak dapat sesat, yaitu Dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Dosa oleh Paus Pius IX pada tahun 1854, dan Dogma Santa Perawan Maria Diangkat ke Sorga oleh Paus Pius XII pada tahun 1950.

12. Dengan demikian, apakah orang Katolik harus percaya pada ajaran Santa Perawan Maria Diangkat ke Sorga?

Ya. Ajaran ini, bahwa Bunda Maria diangkat ke sorga dengan jiwa dan raganya ke kemuliaan sorga setelah masa hidupnya di dunia, adalah sesuai dengan Tradisi-tradisi Suci yang sudah dimulai sejak Gereja Perdana dan merupakan kepercayaan yang senantiasa dipegang teguh oleh umat Katolik.

13. Apakah itu berarti bahwa pengajaran-pengajaran Paus di luar pernyataan yang dimaklumkan sebagai infallible bukan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat sesat?

Meski surat-surat ensiklik yang disampaikan kepada seluruh dunia mengenai iman dan moral bukan pernyataan yang infallible, namun jika Paus menegaskan kembali ajaran yang telah lama dipegang teguh Gereja Katolik (sebagai contoh: kekejian kontrasepsi buatan atau bahwa tahbisan imamat hanya dikhususkan bagi kaum laki-laki) penegasan tersebut dianggap sebagai infallible, bahkan jika Paus tidak secara khusus menyebutnya sebagai infallible, sebab Paus secara definitif memaklumkan bahwa suatu doktrin tertentu mengenai iman atau moral harus diyakini.

Umat Katolik tidak dapat mengabaikan pengajaran-pengajaran Paus ataupun Uskup, walau pengajaran tersebut tidak dimaklumkan sebagai infallible. Kristus Sendiri berjanji untuk melindungi ajaran Gereja, “Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barangsiapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10:16). Infallibilitas berlaku bahkan jika Gereja tidak memaklumkan ajaran tersebut secara meriah.

Pertolongan ilahi dikaruniakan kepada Paus dan para Uskup yang berada dalam persekutuan dengannya, apabila mereka, dalam tugas mengajar sehari-hari, mengajukan suatu pengajaran dalam hal iman dan moral yang menghantar pada pemahaman wahyu ilahi secara lebih baik. Umat beriman hendaknya menerima dengan rendah hati serta mentaati dengan sungguh ajaran-ajaran Paus, bahkan apabila Paus tidak berbicara dengan karisma infallibilitas, sebab tugas mengajarnya sehari-hari merupakan perluasan dari karisma infallibilitasnya yang luar biasa.

14. Apa itu ensiklik?

Ensiklik berasal dari bahasa Latin “Literae Encyclicae” yang berarti “Surat Edaran”. Dalam masa Gereja awali, ensiklik berarti surat edaran Uskup yang ditujukan kepada semua gereja dalam wilayahnya. 

Sejak abad kedelapan belas, ensiklik berarti surat edaran Paus mengenai doktrin Gereja yang ditujukan kepada para Uskup (terkadang untuk diteruskan kepada umat beriman) di suatu wilayah tertentu atau di seluruh dunia. 

Ensiklik-ensiklik Paus bukan merupakan pernyataan yang infallible, melainkan pernyataan yang berwibawa dari magisterium biasa.

“Adalah tidak benar beranggapan bahwa apa yang dituliskan dalam surat-surat ensiklik tidak harus diyakini sebagai kebenaran karena dalam ensiklik para paus tidak menjalankan kekuasaan tertinggi magisterium mereka. 

Sebab ajaran-ajaran ini diajarkan melalui magisterium biasa, di mana berlaku hal ini, `Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku' (Lukas 10:16); dan biasanya apa yang dinyatakan serta dipertegas dalam surat-surat ensiklik, telah ada dalam doktrin Katolik

Tetapi, jika Uskup Tertinggi dalam tindakannya, setelah pertimbangan yang matang, menyatakan pendapat mengenai suatu masalah yang hingga waktu itu masih merupakan persoalan yang kontroversial, jelaslah bagi kita semua bahwa masalah ini, menurut pemikiran dan keputusan Paus, tak dapat lagi dianggap sebagai pertanyaan yang bebas didiskusikan di antara para teolog.” ~ Humani Generis, Paus Pius XII

15. Apakah orang-orang Katolik yang tidak sependapat dengan ajaran-ajaran Gereja Katolik secara otomatis menjadi orang-orang Protestan?

Ada berbagai macam tingkat selisih pendapat. Orang dapat bertanya-tanya apakah menyambut Komuni Kudus di tangan dianggap pantas, atau apakah anak-anak perempuan dapat diperkenankan menjadi pelayan altar. Hal-hal demikian lebih merupakan peraturan-peraturan Gereja yang dapat berubah. Apabila pokok persoalan yang dipertanyakan kemudian menjadi titik perpecahan dalam komunitas Gereja, maka hal itu bukan lagi mempertanyakan, melainkan memberontak. 

Orang dapat mempertanyakan pokok-pokok dogma guna menggali pemahaman yang lebih mendalam tentangnya, tetapi tidak mengubahnya. Begitu seorang Katolik secara tahu dan sadar menolak suatu doktrin tertentu Gereja Katolik, ia bukan lagi seorang Katolik; ia telah mengekskomunikasi dirinya sendiri.


(Sumber: Magisterium, yesaya indocell.net).

Berikut ini definisi dan penjelasan tentang Magisterium, yang terjemahan bebasnya adalah “Wewenang mengajar”, yang diambil dari Katekismus Gereja Katolik (KGK):

KGK 85 “Adapun tugas menafsirkan secara otentik Sabda Allah yang tertulis atau diturunkan itu, dipercayakan hanya kepada Wewenang Mengajar Gereja yang hidup, yang kewibawaannya dilaksanakan atas nama Yesus Kristus” (DV 10).

KGK 86 “Wewenang Mengajar itu tidak berada di atas Sabda Allah, melainkan melayaninya, yakni dengan, hanya mengajarkan apa yang diturunkan saja, sejauh Sabda itu, karena perintah ilahi dan dengan bantuan Roh Kudus, didengarkannya dengan khidmat, dipelihara dengan suci, dan diterangkannya dengan-setia; dan itu semua diambilnya dari satu perbendaharaan iman itu, yang diajukannya untuk diimani sebagai hal-hal yang diwahyukan oleh Allah” (DV 10).

KGK 87 Kaum beriman mengenangkan perkataan Kristus kepada para Rasul: “Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku” (Luk 10:16) Bdk. LG 20. dan menerima dengan rela ajaran dan petunjuk yang diberikan para gembala kepada mereka dalam berbagai macam bentuk.

KGK 888 Bersama para imam, rekan sekerjanya, para Uskup mempunyai “tugas utama … mewartakan Injil Allah kepada semua orang” (PO 4), seperti yang diperintahkan Tuhan Bdk. Mrk 16:15.. Mereka adalah “pewarta iman, yang mengantarkan murid-murid baru kepada Kristus dan mereka pengajar yang otentik atau mengemban kewibawaan Kristus” (LG 25).

KGK 889 Untuk memelihara Gereja dalam kemurnian iman yang diwariskan oleh para Rasul, maka Kristus yang adalah kebenaran itu sendiri, menghendaki agar Gereja-Nya mengambil bagian dalam sifat-Nya sendiri yang tidak dapat keliru. Dengan “cita rasa iman yang adikodrati”, Umat Allah memegang teguh iman dan tidak menghilangkannya di bawah bimbingan Wewenang Mengajar Gereja yang hidup Bdk. LG12;DV 10.

KGK 890 Perutusan Wewenang Mengajar berkaitan dengan sifat definitif perjanjian, yang Allah adakan di dalam Kristus dengan Umat-Nya. Wewenang Mengajar itu harus melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan. Tugas pastoral Wewenang Mengajar ialah menjaga agar Umat Allah tetap bertahan dalam kebenaran yang membebaskan. Untuk memenuhi pelayanan ini Kristus telah menganugerahkan kepada para gembala karisma “tidak dapat sesat” [infallibilitas] dalam masalah-masalah iman dan susila. Karisma ini dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara:

KGK 891 “Ciri tidak dapat sesat itu ada pada Imam Agung di Roma, kepala dewan para Uskup, berdasarkan tugas beliau, bila selaku gembala dan guru tertinggi segenap umat beriman, yang meneguhkan saudara-saudara beliau dalam iman, menetapkan ajaran tentang iman atau kesusilaan dengan tindakan definitif … 

Sifat tidak dapat sesat, yang dijanjikan kepada Gereja, ada pula pada Badan para Uskup, bila melaksanakan wewenang tertinggi untuk mengajar bersama dengan pengganti Petrus” (LG 25) terutama dalam konsili ekumenis Bdk. Konsili Vatikan 1: DS 3074.. Apabila Gereja melalui Wewenang Mengajar tertingginya “menyampaikan sesuatu untuk diimani sebagai diwahyukan oleh Allah” (DV 10) dan sebagai ajaran Kristus, maka umat beriman harus “menerima ketetapan-ketetapan itu dengan ketaatan iman” (LG 25). Infallibilitas ini sama luasnya seperti warisan wahyu ilahi Bdk. LG 25.

KGK 892 Bantuan ilahi juga dianugerahkan kepada pengganti-pengganti para Rasul, yang mengajarkan dalam persekutuan dengan pengganti Petrus, dan terutama kepada Uskup Roma, gembala seluruh Gereja, apabila mereka, walaupun tidak memberikan ketetapan-ketetapan kebal salah dan tidak menyatakannya secara definitif, tetapi dalam pelaksanaan Wewenang Mengajarnya yang biasa mengemukakan satu ajaran, yang dapat memberi pengertian yang lebih baik mengenai wahyu dalam masalah-masalah iman dan susila. Umat beriman harus mematuhi ajaran-ajaran otentik ini dengan: “kepatuhan kehendak dan akal budi yang suci” (LG 25), yang walaupun berbeda dengan persetujuan iman, namun mendukungnya.

Jadi kesimpulannya, Magisterium adalah Wewenang Mengajar Gereja, yang terdiri dari Bapa Paus (sebagai pengganti Rasul Petrus) dan para uskup (sebagai pengganti para rasul) dalam persekutuan dengannya, yang diberikan karisma “tidak dapat sesat” (infalibilitas) oleh Yesus, yaitu dalam hal pengajaran mengenai iman dan moral. Maka kita ketahui bahwa sifat infalibilitas ini tidak berlaku dalam segala hal, namun hanya dalam hal iman dan moral, yaitu pada saat mereka mengajarkan dengan tindakan definitif, seperti yang tercantum dalam Dogma dan doktrin resmi Gereja Katolik.

Lebih lanjut mengenai peran Magisterium dan Tradisi Suci dalam menjadikan Gereja Katolik sebagai Tonggak Kebenaran dapat dibaca dalam artikel “ 

Masih ada lagi keterangan yang lebih rinci tentang hubungan Magisterium dan kehidupan moral, yang tertulis dalam KGK 2032 sampai 2040.

(Sumber: Magisterium, apakah itu?, katolisiatas.org)

Tentang tingkatan Pengajaran Magisterium

Sebagai umat Katolik, kita percaya bahwa Tuhan-lah memberikan wewenang kepada Magisterium untuk mengajarkan kepada kita interpretation yang otentik tentang Sabda Allah (KGK 85). 

Magisterium menerapkan otoritas yang dipercayakan kepadanya dari Kristus ketika ia menentukan dogma (KGK 88). Dalam hal pengajaran definitif tentang iman dan moral, maka Magisterium diberi kuasa untuk tidak mungkin salah (infallibility), seperti yang dinyatakan dalam Lumen Gentium.

Perlu kita ketahui di sini terdapat tingkatan dalam pengajaran dari Magisterium ini, berdasarkan yang disebutkan dalam Apostolic Letter Motu Proprio Ad tuendam fidem oleh Paus Yohanes Paulus II, yang kemudian diperjelas oleh CDF (Kongregasi Ajaran Iman) dalam dokumen Professio Fidei dan penjelasannya. Berikut ini adalah ringkasannya:

1. Credenda

Credenda (kan. 750, 1) artinya, harus dipercaya, ‘to be believed’:

Semua yang tercantum dalam Sabda Allah — baik yang tertulis dalam Kitab Suci maupun yang diturunkan sebagai Tradisi Suci — yang oleh Gereja telah dinyatakan sebagai wahyu ilahi, baik melalui keputusan resmi [seperti pernyataan Dogma], maupun melalui ajaran Magisterium yang biasa dan universal. Termasuk di sini adalah deposit of faith, yaitu pernyataan artikel iman Katolik.

Pengajaran yang termasuk dalam categori Credenda adalah semua artikel yang ada dalam Credo Aku percaya, berbagai doktrin Kristologis dan dogma tentang Maria, doktrin tentang pendirian Sakramen-sakramen oleh Kristus dan penyampaian rahmat Allah melalui sakramen, doktrin tentang kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi, tentang hakekat kurban dalam Ekaristi, tentang Gereja yang didirikan oleh Kristus, doktrin tentang keutamaan dan infalibilitas (tidak dapat sesat) dari Bapa Paus, doktrin tentang dosa asal, doktrin tentang jiwa rohani [manusia] yang kekal dan penghakiman yang terjadi sesaat setelah kematian, doktrin bahwa tak ada kesalahan dalam Alkitab, doktrin tentang keseriusan kesalahan moral dalam hal pembunuhan seorang manusia yang tak bersalah, secara langsung dan dengan sengaja.

Ajaran-ajaran tersebut di atas tercantum dalam Sabda Allah, yang tertulis maupun yang diturunkan dan didefinisikan melalui keputusan resmi sebagai kebenaran-kebenaran yang diwahyukan secara ilahi, entah melalui Paus ketika ia berbicara “ex-cathedra” (di atas kursi/ atas nama Rasul Petrus), atau oleh kolese para Uskup dalam konsili, atau secara infalibel dinyatakan untuk diimani, oleh Magisterium biasa dan universal.

Tanggapan yang disyaratkan: harus dipercaya dengan iman yang katolik dan ilahi (catholic and theological faith). Maka orang yang berkeras menentang ajaran Credenda, menempatkan dirinya dalam posisi heretik, sebagaimana disebutkan dalam KHK kan.12.

2. Tenenda

Tenenda (kan 750, 2) artinya, harus dipegang, ‘to be held’:

Semua yang dinyatakan secara definitif tentang iman dan moral (termasuk hal-hal yang ditentukan untuk melindungi dan menjaga penerapan hal-hal credenda), sebagaimana diajarkan oleh Gereja, tentang ajaran iman dan moral. Termasuk di sini adalah ajaran dogmatik dan moral yang perlu untuk melaksanakan ajaran iman Katolik, meskipun belum dinyatakan oleh Magisterium sebagai pernyataan wahyu ilahi.

Pengajaran yang termasuk dalam categori Tenenda misalnya adalah ajaran-ajaran yang terkait dengan wahyu ilahi menurut keharusan yang logis dan keharusan menurut sejarah.

a. Ajaran kebenaran yang terkait dengan wahyu ilahi menurut keharusan yang logis adalah seperti doktrin tentang definisi infalibilitas Bapa Paus, sebelum hal itu dinyatakan secara definitif dalam Konsili Vatikan I. Sebab sebelum dinyatakan sebagai Credenda dalam Konsili Vatikan I, ajaran ini telah dipercaya sebagai wahyu dan diakui sebagai sesuatu yang definitif. 

Maka Konsili Vatikan I bukanlah saat pertama untuk menyatakan infalibilitas Paus secara definitif, tetapi pada Konsili Vatikan I hal tersebut dinyatakan sebagai kebenaran ilahi/ ‘a divinely revealed truth’. 

Sejarah jelas menunjukkan bahwa apa yang telah diterima dalam kehidupan Gereja, dianggap sebagai ajaran yang benar sejak awal, dan selanjutnya dipegang sebagai ajaran definitif, walaupun baru pada Konsili Vatikan I diterima dan dinyatakan sebagai kebenaran yang diwahyukan Allah.

Proses yang sama ada pada doktrin tentang ordinasi imam yang terbatas hanya untuk kaum pria. Juga doktrin yang menolak euthanasia yang diajarkan dalam surat ensiklikal Evangelium Vitae. Demikian pula doktrin yang menolak prostitusi dan percabulan.

b. Ajaran kebenaran yang terkait dengan wahyu ilahi melalui keharusan sejarah, dan yang harus dipegang secara definitif, walaupun tak dapat dinyatakan sebagai diwahyukan Allah, seperti: legitimasi pemilihan Paus, perayaan Konsili, Kanonisasi Santo/ Santa, pengesahan tahbisan imam Anglikan (menurut deklarasi Paus Leo XIII, dalam surat Apostolik Apostolicae Curae).

Semua doktrin Tenenda di atas dapat: 1) didefinisikan secara resmi oleh Paus ketika ia berbicara “ex-cathedra” atau 2) oleh kolese para Uskup dalam Konsili ataupun 3) diajarkan secara infalibel oleh Magisterium biasa dan universal, sebagai pernyataan “sententia definitive tenenda.” Dengan demikian, meskipun tidak diwahyukan secara ilahi, namun pengajaran ini tetap infallible, karena diajarkan oleh Gereja dalam bimbingan Roh Kudus.

Tanggapan yang disyaratkan: harus dipegang dengan teguh dan dipertahankan; dan tidak boleh ditolak. Dasarnya adalah iman akan Roh Kudus yang membimbing Magisterium Gereja, dan ajaran iman Katolik tentang infalibilitas dari Magisterium dalam hal-hal pengajaran ini. Maka orang yang menentang kebenaran-kebenaran ajaran ini berada dalam posisi menolak kebenaran ajaran Katolik dan karena itu tidak dapat dikatakan sebagai berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik.

3. Obsequium

Obsequium (artinya adalah 'ketaatan'’) adalah ajaran-ajaran yang disampaikan dengan benar, ataupun pasti, bahkan jika ajaran-ajaran tersebut belum didefinisikan melalui keputusan resmi atau dinyatakan definitif oleh Magisterium yang biasa dan universal, baik itu oleh Paus atau oleh kolese para Uskup.

Maka Obsequium dibagi dua katagori yaitu, 1) ketaatan kepada ajaran Bapa Paus atau kolese para Uskup; dan 2) ketaatan kepada ajaran para Uskup yang ada dalam persekutuan dengan Paus, baik Uskup tersebut mengajar secara pribadi, ataupun bersama-sama dalam konferensi atau konsili.

a. Obsequium terhadap pengajaran Bapa Paus atau kolese para Uskup ketika mereka melakukan wewenang mengajar (kan. 752).

Berupa: Doktrin tentang iman dan moral yang dinyatakan oleh Paus dan kolese Uskup ketika melaksanakan wewenang mengajar.

Tanggapan yang disyaratkan: ketaatan religius dari akal budi dan kehendak bebas dan menghindari hal-hal yang tidak sejalan dengan hal itu.

b. Obsequium terhadap otoritas dari para uskup (kan. 753).

Berupa: Pengajaran otentik dari seorang uskup atau beberapa uskup.

Tanggapan yang disyaratkan: ketaatan religius dari akal budi kepada otoritas.

Dalam Lumen Gentium 25, disebutkan di sana hal “ketaatan religius” sebagai tanggapan yang selayaknya kepada apa yang secara sah telah diajarkan oleh otoritas Gereja dalam hal iman dan moral.

4. Servandi

Servandi (kan. 754)

Berupa: Konstitusi/ dekrit dari Paus/ uskup yang menyatakan pengajaran atau yang menolak pengajaran yang salah.

Tanggapan yang disyaratkan: Obligasi untuk melaksanakannya.

Lebih lanjut tentang ini, berikut adalah keterangan yang kami terima dari Dr. Lawrence Feingold, yang adalah pembimbing Teologis website Katolisitas ini. [Berikut ini adalah teksnya dalam bahasa Inggris]

With regard to the question about infallible teachings, it is important that these can be of two kinds: those which must be “firmly believed,” and those which must be “firmly held.” The former are said to be “credenda” and the latter “tenenda.” Both kinds of teachings are infallible. A very common error is to limit infallible teachings to those which are said to be “credenda.”

The teachings which are to be “firmly believed,” are dogmas of faith, and correspond to the first level of assent, as explained in the doctrinal commentary (by Ratzinger, then Prefect of the CDF) on the Motu proprio, Ad tuendam fidem, of John Paul II.

However, the teachings which require the second level of assent are also infallible, and must be “firmly held.” These teachings are said to be “tenenda” (to be held).

The doctrinal commentary on Ad tuendam fidem says the following about the second level of assent:

The second proposition of the Professio fidei states: “I also firmly accept and hold each and everything definitively proposed by the Church regarding teaching on faith and morals.” The object taught by this formula includes all those teachings belonging to the dogmatic or moral area, which are necessary for faithfully keeping and expounding the deposit of faith, even if they have not been proposed by the Magisterium of the Church as formally revealed.

Such doctrines can be defined solemnly by the Roman Pontiff when he speaks ‘ex cathedra’ or by the College of Bishops gathered in council, or they can be taught infallibly by the ordinary and universal Magisterium of the Church as a “sententia definitive tenenda“. Every believer, therefore, is required to give firm and definitive assent to these truths, based on faith in the Holy Spirit’s assistance to the Church’s Magisterium, and on the Catholic doctrine of the infallibility of the Magisterium in these matters. Whoever denies these truths would be in a position of rejecting a truth of Catholic doctrine16 and would therefore no longer be in full communion with the Catholic Church.

The truths belonging to this second paragraph [Tenenda] can be of various natures, thus giving different qualities to their relationship with revelation. There are truths which are necessarily connected with revelation by virtue of an historical relationship; while other truths evince a logical connection that expresses a stage in the maturation of understanding of revelation which the Church is called to undertake. The fact that these doctrines may not be proposed as formally revealed, insofar as they add to the data of faith elements that are not revealed or which are not yet expressly recognized as such, in no way diminishes their definitive character, which is required at least by their intrinsic connection with revealed truth. Moreover, it cannot be excluded that at a certain point in dogmatic development, the understanding of the realities and the words of the deposit of faith can progress in the life of the Church, and the Magisterium may proclaim some of these doctrines as also dogmas of divine and catholic faith.

With regard to the nature of the assent owed to the truths set forth by the Church as divinely revealed (those of the first paragraph/ Credenda) or to be held definitively (those of the second paragraph/ Tenenda), it is important to emphasize that there is no difference with respect to the full and irrevocable character of the assent which is owed to these teachings. The difference concerns the supernatural virtue of faith: in the case of truths of the first paragraph, the assent is based directly on faith in the authority of the Word of God (doctrines de fide credenda); in the case of the truths of the second paragraph, the assent is based on faith in the Holy Spirit’s assistance to the Magisterium and on the Catholic doctrine of the infallibility of the Magisterium (doctrines de fide tenenda).

The Magisterium of the Church, however, teaches a doctrine to be believed as divinely revealed (first paragraph) or to be held definitively (second paragraph) with an act which is either defining or non-defining. In the case of a defining act, a truth is solemnly defined by an “ex cathedra” pronouncement by the Roman Pontiff or by the action of an ecumenical council. In the case of a non-defining act, a doctrine is taught infallibly by the ordinary and universal Magisterium of the Bishops dispersed throughout the world who are in communion with the Successor of Peter. Such a doctrine can be confirmed or reaffirmed by the Roman Pontiff, even without recourse to a solemn definition, by declaring explicitly that it belongs to the teaching of the ordinary and universal Magisterium as a truth that is divinely revealed (first paragraph) or as a truth of Catholic doctrine (second paragraph). Consequently, when there has not been a judgment on a doctrine in the solemn form of a definition, but this doctrine, belonging to the inheritance of the depositum fidei, is taught by the ordinary and universal Magisterium, which necessarily includes the Pope, such a doctrine is to be understood as having been set forth infallibly. The declaration of confirmation or reaffirmation by the Roman Pontiff in this case is not a new dogmatic definition, but a formal attestation of a truth already possessed and infallibly transmitted by the Church.

With regard to the category of “obsequium,” this refers to the ordinary teachings of the Magisterium, to which we have to give “religious submission of mind and will.” These teachings are not infallible, but the faithful must still give them an interior assent, even though it is theoretically possible that they could be changed or refined in the future.

With regard to the assent required by Humanae vitae, this is a difficult and controverted question. I would say that the fundamental moral norm taught by HV is infallible in virtue of the universal ordinary Magisterium (see LG25), by which the Church constantly taught that every use of the marital act had to remain intrinsically open to life. This infallibility does not apply to the entire encyclical, but only to the absolute moral norm formulated in n. 11:

The Church, nevertheless, in urging men to the observance of the precepts of the natural law, which it interprets by its constant doctrine, teaches that each and every marital act must of necessity retain its intrinsic relationship to the procreation of human life.

Likewise in n. 12:

This particular doctrine, often expounded by the magisterium of the Church, is based on the inseparable connection, established by God, which man on his own initiative may not break, between the unitive significance and the procreative significance which are both inherent to the marriage act.

With regard to your question about the bishops of Indonesia, the same was true in many other episcopal conferences. However, the way a group of bishops present the issue does not affect the binding value of a teaching that has already been taught infallibly or authoritatively by the universal Church. One should always seek to give the most benevolent reading to such statements.

Furthermore, even if the teaching of HV is not infallible, it still requires religious submission of mind and will, and thus one could not tell couples simply to “follow their consciences.” The faithful have the obligation to form their consciences by giving their assent to the teachings of the Magisterium. Therefore, whether or not HV is infallible, the faithful still have a grave obligation to follow the teaching of HV, and to receive it in the spirit indicated by Christ’s words to His Apostles: “He who hears you, hears Me” (Lk 10:16).

In Veritatis splendor, John Paul II discusses the error of “creative conscience,” by which one puts one’s personal conscience above the authoritative moral teachings of the Church.

Jadi kesimpulannya, pengajaran yang ditetapkan secara definitif, baik itu Credenda ataupun Tenenda, keduanya adalah infallible (tidak mungkin sesat), dan karenanya kita sebagai umat Katolik harus menaatinya. Jadi tidak ada istilah infallible atau setengah infallible, sebab begitu hal iman dan moral diajarkan secara definitif oleh Magisterium, maka itu adalah infallible. 

Dalam kaitannya dengan Humanae Vitae, memang yang terpenting adalah bahwa secara prinsip, Magisterium Gereja mengajarkan bahwa hubungan suami istri harus terbuka bagi kemungkinan kelahiran anak- anak, dan sesungguhnya kita sebagai umat beriman tak berhak untuk memisahkan unitive act dan pro-creative act dalam hubungan suami istri. Maka seharusnya hati nurani kita selayaknya mengikuti apa yang diajarkan oleh Magisterium ini.

Sumber:

1. St. Paus Yohanes Paulus II, Ad Tuendam Fidem, http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/motu_proprio/documents/hf_jp-ii_motu-proprio_30061998_ad-tuendam-fidem.html 

2. Professio fidei by CDF, http://www.ewtn.com/library/CURIA/cdfoath.htm

3.Doctrinal Commentary on Professio fidei by CDF, http://www.ewtn.com/library/CURIA/CDFADTU.HTM

4. Summary of Doctrinal Commentary by CDF, http://www.ewtn.com/library/Theology/SUMMARY.HTM

(Sumber: Tentang tingkatan Pengajaran Magisterium, katolisitas.org).

Pada saat seseorang menjadi seorang Katolik, maka dia dituntut untuk mempunyai iman Katolik yang bersumber pada iman kepada Tuhan, Tuhan yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus, yang mendirikan Gereja Katolik sebagai tubuh mistik Kristus, yang mempercayai artikel iman seperti yang disebutkan dalam doa “aku percaya”

Dan yang paling penting adalah mempunyai Roh Kristus, sehingga dia mempunyai kekuatan untuk menjalankan semua perintah Kristus (LG 14).

Apa beda dokrin gereja dan dogma gereja?

Dokrin di dalam pemakaiannya adalah merupakan suatu pengajaran dari Gereja Katolik mengenai iman dan moral yang dipercayakan oleh Kristus melalui para rasul, dan diteruskan oleh Gereja Katolik untuk keselamatan umat

Semua dogma adalah termasuk dalam dokrin, namun tidak semua dokrin termasuk dalam dogma.

Wewenang Mengajar Gereja menggunakan secara penuh otoritas yang diterimanya dari Kristus, apabila ia mendefinisikan dogma-dogma, artinya apabila dalam satu bentuk yang diwajibkan umat Kristen dalam iman dan yang tidak dapat ditarik kembali, ia mengajukan kebenaran-kebenaran yang tercantum di dalam wahyu ilahi atau secara mutlak berhubungan dengan kebenaran-kebenaran demikian (KGK 88)

Kehidupan rohani kita dan dogma-dogma itu mempunyai hubungan organis. Dogma-dogma adalah cahaya di jalan kepercayaan kita, mereka menerangi dan mengamankannya. Sebaliknya melalui cara hidup yang tepat, pikiran dan hati kita dibuka, untuk menerima cahaya dogma iman itu (Yoh 8:31-32) (KGK 89).

Dengan sikap iman ilahi dan katolik harus diimani semuanya yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis atau yang ditradisikan, yaitu dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan kepada Gereja, dan sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah oleh Magisterium Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara biasa dan umum; adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan orang-orang beriman kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci, maka semua harus menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu (Kan 750 § 1).

Jadi, pada saat Gereja Katolik mendefinisikan suatu dogma, maka umat Katolik harus percaya dengan sikap iman ilahi dan Katolik.

(Sumber: Tanya Jawab tentang “beda dogma dan dokrin”, katolisitas.org).