23.02 -
*Doa*
Meditasi Kristiani
Yohanes berdiri dengan dua muridnya ... mereka pergi mengikut Yesus.
Yesus menoleh ke belakang dan bertanya kepada mereka: “Apakah yang kamu cari?” Jawab mereka: “Rabi, di manakah Engkau tinggal?” Yesus hanya berkata: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” (Yoh 1:35-39).
Yesus tidak pernah menjawab pertanyaan ini, kecuali ketika kita menuruti perintah-Nya, yaitu saling mengasihi (Yoh 15:12).
Inilah umumnya cara berpikir kita, sadar atau tidak sadar bahwa Tuhan itu ada pada tempat tertentu dan dalam waktu tertentu.
Ada seorang anak ingin sekali makan ikan yang di goreng mamanya. Ikan itu diletakkan di almari. Setelah menoleh kiri-kanan, dia mendekati almari itu.
Tetapi pada waktu melihat salib di atas almari dia berpikir: “Bagaimana caranya saya bisa mencuri, karena Tuhan melihat?”
Akhirnya dia mengambil kursi dan mengangkat salib itu. Pikirnya: “Sekarang saya bisa mencuri ikan itu tanpa dilihat Tuhan.”
Di India, ada seorang pertapa Benediktin yang mengajar anak-anak, sebagian beragama Katolik dan sebagian lagi beragama Hindu.
Suatu hari dia bertanya pada murid-muridnya: “Anak-anak, Tuhan ada di mana?” Jawab anak-anak Katolik: “di Sorga.” Jawab anak-anak Hindu: “Di sini (hati).”
Jawaban anak-anak Katolik benar, tapi tidak sempurna. Karena Allah transenden, ada di sorga; Allah imani, sudah menjelma menjadi manusia dan tinggal di antara kita.
Secara tradisional doa dapat dibedakan 3 macam:
1. Doa vokal – doa dengan rumusan seperti Bapa Kami, Rosario dll.
2. Doa meditasi – doa dengan menggunakan pikiran dan hati serta daya mental seperti keinginan dan kehendak.
3. Doa kontemplasi – tingkat doa yang lebih tinggi lagi di mana kita lebih pasif dan Allah yang aktif.
Meditasi Kristiani sebenarnya doa kontemplasi.
Tetapi John Main OSB menyebutnya Meditasi Kristiani karena dia mengganggap antara kata meditasi dan kata kontemplasi sebagai kata sinonim. Jadi tidak dibedakan antara meditasi dan kontemplasi.
Pada abad ke 6, St. Benediktus menegaskan bahwa kalau mau mulai beribadah mulailah dengan seruan suci yang singkat ini dengan penuh perhatian dan cinta - “Ya Allah, bersegeralah menolong aku” (Mzm 40:14; 70:2; 71:12) - mau tidak mau akhirnya kita sadar bahwa Allah itu selalu ada di dalam hati; kata pendek ini mengingatkan kita pada lampu tabernakel, bahwa Tuhan ada.
Tradisi ini kita warisi sejak abad ke 4, tradisi paling awal ke-katolik-an/hidup kemartiran pada masa padang gurun; sampai sekarang ayat ini dipegang dalam tradisi (Ibadat Harian).
Pada abad ke 6-7 tradisi ini sangat subur bertumbuh, sehingga saat itu banyak orang kudus. Tetapi tradisi ini sempat hilang pada abad pertengahan. Pada abad 14, tradisi ini muncul dalam buku The Cloud of Unknowing.
Baru pada abad 20 muncul bentuk baru oleh rahib Benediktin yang bernama John Main.
Cara meditasi ini: duduk tenang, punggung tegak, kemudian tarik nafas dengan panjang teratur, tutuplah mata dan pusatkanlah pada satu kata suci.
Misalnya: kata “Mara-nata” sesuai dengan pernafasan, ucapkan satu kata terus menerus secara sadar dalam hatimu. Peganglah kata-kata itu seumur hidupmu, itu harus menjadi bagimu dari awal – akhir meditasi.
Kata Mara-nata merupakan sebuah kata bahasa Aram, bahasa yang dipakai Yesus sendiri.
Ketika kita mulai bermeditasi, kita memulainya dengan sebuah antusiasisme yang besar. Tetapi kemudian kita mulai mengalami bahwa ternyata bermeditasi tidak semudah yang kita bayangkan.
Kita mau mengucapkan kata suci, tetapi baru dua menit berusaha duduk dengan tenang, pikiran mulai mengembara ke mana-mana. Semua pelanturan seharusnya kita biarkan berlalu selagi kita mengucapkan kata suci.
Ada beberapa tingkat pelanturan dalam meditasi:
Pelanturan yang datang dari gelombang kehidupan kita. Misalnya: program televisi yang kita nonton, iklan, berita surat kabar, atau percakapan-percakapan kita.
Pelanturan pribadi (masalah yang kita hadapi). Misalnya: keluarga kita, masa depan kita, teman-teman, atau kesepian yang kita rasakan. Semuanya itu harus kita abaikan selagi kita masuk dalam dalam kehadiran Dia yang adalah kasih.
Pelanturan rohani – mengagumi kemajuan rohani yang dicapai dan membandingkannya dengan pengalaman orang lain, menganalisa keadaan di mana kita berada dsb.
Pelanturan terbesar adalah kesadaran diri kita. Hal ini terjadi karena kita mempunyai kecenderungan untuk melihat segala sesuatu berdasarkan diri kita sendiri.
(Sumber: Warta KPI TL No. 52/VIII/2008; Renungan KPI TL 19 Juni 2008, Romo Siriakus Maria Ndolu, O.Carm)