Siapa yang mati dalam rahmat dan dalam persahabatan dengan Allah, namun belum disucikan sepenuhnya, memang sudah pasti akan keselamatan abadinya, tetapi ia masih harus menjalankan satu penyucian untuk memperoleh kekudusan yang perlu, supaya dapat masuk ke dalam kegembiraan surga (KGK 1030).
Gereja menamakan penyucian akhir para terpilih, yang sangat berbeda dengan siksa para terkutuk, purgatorium [api penyucian]. Ia telah merumuskan ajaran-ajaran iman yang berhubungan dengan api penyucian terutama dalam Konsili Firence (Bdk. DS 1304) dan Trente (Bdk. DS 1820; 1580).
Bicara mengenai Api Penyucian berarti bicara tentang alam setelah kematian. Ini tidak mudah. Sebab, ini berarti masuk ke dalam sebuah misteri. Misteri adalah sesuatu yang masih belum jelas dan terbuka.
Maka dasar pertama yang harus dimiliki adalah iman atau kepercayaan akan hal itu, iman-lah yang menjadi batu penjurunya. Hanya iman yang memampukan manusia untuk berani menerima segala sesuatu yang tidak mampu dipahami oleh akal budi.
Iman tidak pernah mengecewakan. Allah selalu menjawab iman yang mempertanyakan, bahkan ketika Ia tidak menjawab seperti yang diharapkan secara manusiawi oleh orang beriman (Adrienne von Speyr).
Ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya.
Misteri Api Penyucian dalam Alkitab pun begitu. Memang awalnya tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangan waktu, penafsiran atas teks-teks yang mengandung benih ajaran Api Penyucian pun menghasilkan ajaran yang lebih jelas dan tersusun rapi.
Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing (Rm 12:3).
Alkitab adalah dasar untuk seluruh ajaran gereja. Akan tetapi, ada banyak hal dalam Alkitab yang masih tidak jelas dan sulit dipahami. Ketidakjelasan tidak harus dikesampingkan. Sebaliknya, harus dicermati dan dipelajari lebih mendalam (Agustinus dari Hippo).
Alkitab telah menyediakan benih ajaran. Yang namanya benih, pasti masih sangat sederhana dan sama sekali belum terbentuk secara sempurna.
Dalam perjalanan waktu, Tradisi menjadikan sabda Allah semakin terpelihara dan berkembang. Roh Kudus yang menginspirasi lahirnya Alkitab, juga membantu para penafsir dan teolog untuk menafsirkan perikop sesuai dengan situasi dan konteks zaman ... akhirnya mengembangkan benih ajaran menjadi pohon ajaran.
Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus sendiri menjaga Gereja-Nya: sebab setiap kali Gereja ‘diserang’ oleh ajaran yang sesat, Allah mengangkat Santo/Santa yang dipakai-Nya untuk meneguhkan ajaran yang benar dan Yesus memberkati para penerus rasul dalam konsili-konsili untuk menegaskan kembali kesetiaan ajaran Gereja terhadap pengajaran Yesus kepada para Rasul. Jadi yang ditetapkan dalam konsili (Magisterium = Wewenang Mengajar Gereja) merupakan peneguhan ataupun penjabaran ajaran yang sudah ada, dan bukannya menciptakan ajaran baru.
Nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah (2 Ptr 1:20-21).
Panggilan manusia menjadi kudus seperti Allah (Mat 5:48; 1 Ptr 1:15-16; Im 11:44-45). Tanpa kekudusan, orang tidak dapat memandang Allah (Ibr 12:14). Segala yang tidak bersih tidak diperkenankan masuk surga (Why 21:27).
Jadi, Allah tidak mengirim jiwa-jiwa ke Api Penyucian. Setiap jiwa membawa dirinya ke situ. Sebab, ketika melihat Allah dalam kekudusan-Nya, jiwa merasa tidak layak berada di hadirat-Nya sampai ketidaksempurnaannya benar-benar terbuang seluruhnya.
Penyucian adalah pintu gerbang untuk menghadap Allah.
Ajaran Api Penyucian, bukan pertama-tama tempatnya, tetapi proses penyucian untuk memperoleh kekudusan.
Pemahaman Api Penyucian sebagai tempat inilah yang tampaknya lebih tertanam dalam pikiran umat beriman. Ini diperkuat dengan berbagai karya seni, terutama lukisan, yang menggambarkan jiwa-jiwa di Api Penyucian tersiksa dalam api.
Dari sudut pandang artistik, lukisan tersebut kiranya sangat bernilai seni tinggi. Akan tetapi, dari sudut pandang teologis, justru menghalangi orang untuk sampai pada pemahaman yang benar akan Api Penyucian. Akhirnya Api Penyucian hanya dipikirkan sebatas tempat penghukuman.
Maka dalam Konsili Vatikan II, mengembalikan pemahaman asali ajaran Api Penyucian, bukan pertama-tama sebagai tempat, tetapi sebagai proses pemurnian dan penyucian (KGK 1030-1032).
Api Penyucian termasuk dogma gereja. Dogma adalah pusat iman. Dogma ini tidak bisa disangkal maupun diperdebatkan. Jika suatu ajaran menjadi dogma, maka ajaran itu pasti memiliki dasar pada Kitab Suci dan Tradisi Suci.
Uraian sejumlah perikop di bawah ini memperlihatkan bagaimana benih Ajaran Api Penyucian itu ditemukan:
[Mat 5:25-26] Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.
» Kata penjara secara harafiah menunjuk pada tempat dan situasi di mana orang menerima penghukuman karena kesalahannya. Jika teks itu ditafsirkan dalam cara pandang kehidupan spiritual, maka dapat dirumuskan dengan ungkapan ini: orang akan keluar dari “penjara rohani” (Api Penyucian) jika dia diampuni “utang dosanya” dari Allah.
[Mal 3:2-3] Proses penyucian dari segala kejahatan
Siapakah yang dapat tahan akan hari kedatangan-Nya? Dan siapakah yang dapat tetap berdiri, apabila Ia menampakkan diri? Sebab Ia seperti api tukang pemurni logam ...
» Ada proses di mana segala kejahatan akan dimurnikan oleh Tuhan. Tuhan sendirilah yang seperti tukang pemurni logam. Orang yang diuji oleh api, jiwanya akan meleleh dan berubah menjadi emas murni.
Api untuk pemurnian ini adalah api yang berasal dari Allah (Origenes), diperuntukkan bagi mereka yang bertobat dan masih mau menerima Allah.
Api ini nyata, tidak bersifat material (tidak bisa disentuh atau dirasakan atau terlihat oleh indra mata) dan tidak menghanguskan, bekerja menembus jiwa manusia.
Selain api yang memurnikan dan menyucikan, ada jenis api lain yang “membakar dan menghanguskan”. Api ini diperuntukkan untuk para pendosa yang tidak mau bertobat (Kematian pertama, kematian tubuh jasmani - Ibr 9:27; Kematian kedua: neraka, api yang tak terpadamkan, lautan api - Mrk 9:43; Why 20:14, 21:8).
Gambaran tentang api tersebut merupakan buah permenungan dan pemikiran Origenes dan Klemens. Mereka pasti belum pernah merasakan dan melihatnya. Tetapi mereka percaya bahwa api itu sifatnya rohani.
Pemikiran mereka ini kiranya penting untuk menjaga supaya tidak tergoda untuk berpikir dan membayangkan bahwa api untuk memurnikan dan menyucikan itu seperti api di dunia ini.
Jadi, api untuk menyucikan jiwa ini tidak bisa dibayangkan sebab tidak kelihatan. Api itu adalah api ilahi dari Allah sendiri. Tidak perlu dibayangkan karena akal budi manusia amatlah terbatas. Meskipun demikian, api ilahi itu berfungsi sebagaimana api yang memurnikan emas, yaitu menyucikan jiwa dari segala dosa dan kesalahan.
Selain penghukuman setelah kematian, ada juga penghukuman di dunia ini yang sifatnya memurnikan. Penghukuman ini berupa pencobaan yang dialami oleh manusia, biasanya penderitaan.
Pencobaan ini sejatinya tidak menjadikan mereka lebih buruk, sebaliknya lebih baik. Maksudnya, pencobaan tersebut sebenarnya akan mendorong orang untuk memperbaiki jalan hidupnya yang keliru (Hugo dari Santo Victor, seorang kanonik regular Santo Agustinus, teolog dari Paris, Perancis).
Dosa dapat dihapuskan dan disucikan dalam hidup ini dengan perbuatan kasih (charitas), Ekaristi, Sakramen Penguatan dan Minyak Suci. Dalam Api Penyucian, jiwa-jiwa memiliki iman dan harapan. Hanya yang masih kurang, mereka belum sampai ke surga, tempat jiwa akan menatap Allah dengan penuh kebahagiaan (visio beatifica) (Alexander Hales, seorang teolog dan filsuf).
Jiwa masuk ke Api Penyucian atau ke penghukuman kekal, tergantung pada sikap batin orang tersebut ketika menghadapi maut: apakah ia meninggal dalam penyesalan atau tidak (Simon Tournai, seorang teolog dari Paris).
Jiwa menerima hukuman penyucian ini dengan sukarela, tetapi dalam tingkat yang paling rendah. Maksudnya, sekalipun dapat menerimanya, jiwa tetap berkeinginan untuk memperoleh yang sebaliknya, yaitu hukumannya berhenti dan memperoleh ganjaran di surga. Sekalipun harus menjalani penghukuman, jiwa di Api Penyucian lebih memiliki kepastian akan masuk dalam kebahagiaan kekal di surga daripada jiwa yang masih berziarah di dunia ini. Ada harapan pasti di Api Penyucian (Bonaventura, teolog besar pada Abad Pertengahan, minister jendral Ordo Fransiskan, Kardinal-Uskup Albano, Doctor Seraphicus).
Hukuman di Api Penyucian tidak dilaksanakan baik oleh roh-roh jahat maupun malaikat-malaikat yang baik. Malaikat-malaikat yang baik akan membawa jiwa ke surga. Roh-roh jahat akan membawa jiwa yang jahat ke neraka. Bonaventura tampaknya berpikir bahwa hukuman di Api Penyucian itu berlangsung dengan sendirinya. Tentunya di bawah pengaturan Allah sendiri.
Iblis mencatat dosa-dosa kita, namun malaikat pelindung kita mencatat semua perbaikan kita (St Yohanes Maria Vianney).
Bonaventura membayangkan bahwa Api Penyucian itu semacam wilayah tak bertuan di antara wilayah yang dikuasai oleh malaikat dan wilayah yang dikuasai roh jahat. Namun, wilayah tak bertuan ini lebih dekat surga daripada dengan neraka.
Kesaksian Sundar Sigh, seorang India yang bertobat seperti Paulus, mengikuti pendidikan di seminari, menolak ditahbiskan menjadi imam, lalu dia diberi kebebasan untuk melakukan penginjilan sampai Himalaya. Sering dalam doanya dia dibawa ke alam roh, bisa melihat neraka, alam orang mati dan sorga.
Ada seorang penjahat membunuh seorang pengkotbah. Pembunuh ini marah karena pengkotbah itu mengajak dia untuk menerima Yesus, untuk menerima keselamatan.
Beberapa tahun kemudian pembunuh itu mati. Ketika masuk alam roh, dia terkejut sekali melihat segala dosanya, sedangkan orang-orang yang disekitarnya memancarkan kekudusan.
Pada saat itu dia melihat ada orang yang berlari-lari mendekatinya dan berkata: “Aku sudah mengampunimu. Terimalah Yesus untuk keselamatanmu.” Dia terkejut dan memperhatikan orang itu, ternyata orang itu orang yang dibunuhnya beberapa tahun yang lalu.
Terjadilah percakapan antara mereka. Pembunuh itu mulai menyesali perbuatannya dan dengan gemetar dia berlutut di depan orang yang dia bunuh itu.
Pada saat itu roh-roh jahat protes (roh-roh jahat yang bekerja sama pada saat dia masih hidup di dunia). Tetapi roh-roh jahat itu disuruh diam oleh malaikat.
Maka terjadilah percakapan selanjutnya dan orang itu berkata: “Sekarang sudah terlambat. Seandainya pada waktu itu kamu mempercayai perkataanku, mungkin akhir hidupmu akan berbeda.”
Kemudian pembunuh ini bangkit berdiri. Karena merasa dirinya kotor, dia mencari tempat yang gelap untuk sembunyi. Begitu bergerak, dia diseret roh jahat masuk ke lubang dan menerima penyiksaan sampai akhir zaman – kematian kekal, bukan mati hilang tetapi terpisah dengan Allah dengan penderitaan yang tanpa terbatas waktu.
[Baca juga: Warta KPI TL No. 55/XI/2008 – Jaminan Tuhan).
“Wahyu pribadi" tidak termasuk dalam perbendaharaan iman. untuk membantu supaya orang dapat menghayatinya lebih dalam lagi dalam rentang waktu tertentu (KGK 67).
[I] [KGK 184] Pengakuan iman apostolik » Aku percaya akan Allah ... disalibkan, wafat dan dimakamkan; (*) yang turun ke tempat penantian ...
[II] [KGK 633] Kitab Suci menamakan tempat perhentian orang mati, yang dimasuki Kristus sesudah kematian-Nya (*) "neraka", "sheol" atau "hades" (Bdk. Flp 2:10; Kis 2:24; Why 1:18; Ef 4:9), karena mereka yang tertahan di sana tidak memandang Allah (Bdk. Mzm 6:6; 88:11-13).
Itulah keadaan semua orang yang mati sebelum kedatangan Penebus, apakah mereka jahat atau jujur (Bdk. Mzm 89:49; I Sam 28:19; Yeh 32:17-32). Tetapi itu tidak berarti bahwa mereka semua mempunyai nasib sama.
Yesus menunjukkan hal itu kepada kita dalam perumpamaan tentang Lasarus yang miskin, yang diterima (Bdk. Luk 16:22-26) "dalam pangkuan Abraham". "Jiwa orang jujur, yang menantikan Penebus dalam pangkuan Abraham, dibebaskan Kristus Tuhan waktu Ia turun ke dunia orang mati" (Catech. R. 1,6,3).
Yesus tidak datang ke dunia orang mati untuk membebaskan orang-orang terkutuk dari dalamnya (Bdk. Sin. Roma 745: DS 587), juga tidak untuk menghapuskan neraka (Bdk. DS 1011; 1077), tempat terkutuk, tetapi untuk membebaskan orang-orang benar, yang hidup sebelum Dia (Bdk. Sin Toledo IV 625: DS 485; Mat 27:52-53).
[III] [Luk 16:19-31] "Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan.
Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya.
Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham.
Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia menderita sengsara di alam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya.
Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini.
Tetapi Abraham berkata: Anak, ingatlah, bahwa engkau telah menerima segala yang baik sewaktu hidupmu, sedangkan Lazarus segala yang buruk. Sekarang ia mendapat hiburan dan engkau sangat menderita.
Selain dari pada itu di antara kami dan engkau terbentang jurang yang tak terseberangi, supaya mereka yang mau pergi dari sini kepadamu ataupun mereka yang mau datang dari situ kepada kami tidak dapat menyeberang.
Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh dia ke rumah ayahku, sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini.
Tetapi kata Abraham: Ada pada mereka kesaksian Musa dan para nabi; baiklah mereka mendengarkan kesaksian itu. Jawab orang itu: Tidak, Bapa Abraham, tetapi jika ada seorang yang datang dari antara orang mati kepada mereka, mereka akan bertobat.
Kata Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati."
[IV] [Mat 27:50-53] Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah, dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus yang telah meninggal bangkit. Dan sesudah kebangkitan Yesus, mereka pun keluar dari kubur, lalu masuk ke kota kudus dan menampakkan diri kepada banyak orang.
» Status seseorang selama hidup di dunia tidak menentukan nasibnya setelah kematian. Perbuatan dan tanggung jawab moralnya terhadap sesamanya itu yang menentukan nasibnya kelak.
Pengajaran Albertus Magnus, biarawan Ordo Dominikan, pengajar teologi di Universitas Paris
Setelah kematian ada beberapa tempat di mana jiwa tidak mengalami sukacita surgawi, yaitu neraka, Api Penyucian (purgatorium), limbo untuk anak-anak (limbus infactum atau limbus puerorum), dan limbo untuk bapa-bapa leluhur (limbus patrum).
Dalam teologi gereja Katolik Roma, Limbo merupakan tempat perbatasan antara surga dan neraka, di mana tinggal jiwa-jiwa yang meskipun tidak dikutuk dalam penghukuman tidak dapat mengalami sukacita kekal dengan Allah di surga.
Ada dua jenis limbo. Pertama, [I*] limbo untuk bapa-bapa leluhur, yaitu tempat di mana orang-orang kudus dalam Perjanjian Lama terkurung sampai mereka dibebaskan oleh Kristus ketika turun ke tempat penantian.
Kedua, limbo untuk anak-anak yang merupakan tempat bagi mereka yang telah mati tanpa dosa, tetapi memiliki dosa asal dan belum dibersihkan dengan pembaptisan.
Konsep mengenai limbo ini berkembang di Eropa pada Abad Pertengahan tetapi tidak pernah ditetapkan sebagai dogma gereja. Dalam katekismus resmi yang dikeluarkan tahun 1992, rujukan mengenai limbo dihilangkan.
Pada tahun 2007 Paus Benediktus XVI mengesahkan keputusan dari komisi teologi internasional, bahwa ajaran tradisional tentang limbo “sangat membatasi” (unduly restrictive”) dan bayi yang tidak dibaptis dapat diselamatkan.
Jiwa di Api Penyucian tidak mengalami penderitaan seperti di neraka. Sebab, di Api Penyucian jiwa memperoleh kekuatan dari cahaya iman dan rahmat. Apa yang masih kurang dari mereka adalah pandangan yang membahagiakan (visio beatifica). Jiwa-jiwa di Api Penyucian hanya ingin bersatu dengan Allah sehingga tidak menginginkan untuk memperoleh tubuhnya kembali.
Setelah kematian, tidak ada lagi kesempatan untuk menambah kebaikan untuk memperoleh pahala. Hanya kebaikan yang telah dilakukan selama hidup itulah yang akan menentukan ke arah mana jiwa akan berakhir.
Penderitaan pada saat kematian dapat menghapus dosa-dosa jika penderitaan itu dialami sampai detik terakhir, sebagaimana para martir. Tetapi, ini tidak termasuk dalam kasus kematian normal.
[Luk 23:43] Kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”
(Baca juga: Warta KPI TL No. 24/IV/2006 - Santo Dismas)
» Menurut Bonaventura, pembebasan jiwa dari Api Penyucian terjadi sebelum Pengadilan Terakhir. Pembebasan tersebut langsung mengantar jiwa ke surga. Berkaitan dengan ayat di atas, ada tiga argumen dari Bonaventura:
1. Tidak ada unsur penundaan di Api Penyucian. Jiwa akan segera diangkat ke surga segera setelah penyuciannya berakhir.
2. Allah adalah Maha adil sehingga segera sesudah mendapati seorang manusia pantas untuk diberi ganjaran, Ia akan langsung memberikan ganjaran.
3. Terlalu menunda harapan adalah sebuah tindakan yang kejam, dan jika Allah menjauhkan orang-orang kudusnya dari ganjaran sampai Pengadilan Terakhir, Ia telah melakukan sesuatu yang kejam.
Singkatnya, karena Allah itu Maha Adil, Ia akan langsung memberi ganjaran kebahagiaan di surga bagi jiwa yang telah menyelesaikan masa penyuciannya di Api Penyucian.
[I] [Ayb 14:13] Ah, kiranya Engkau menyembunyikan aku di dalam dunia orang mati, melindungi aku, sampai murka-Mu surut; dan menetapkan waktu bagiku, kemudian mengingat aku pula.
[II] [Mat 12:31-32] Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni. Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datang pun tidak.
[III] [1 Kor 3:10-15] Sesuai dengan kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku, aku sebagai seorang ahli bangunan yang cakap telah meletakkan dasar, dan orang lain membangun terus di atasnya. Tetapi tiap-tiap orang harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya.
Karena tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan (1) emas, perak, batu permata, (2) kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak.
Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.
Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.
» Kualitas pekerjaan orang Kristen akhirnya akan diuji oleh Tuhan sendiri. Ujian ini digambarkan Paulus dengan menggunakan metafora, yang sudah umum dipakai dalam Perjanjian Lama, yaitu diuji dengan “api” (Bil 31:23; Ams 27:21; Yes 47:14; Za 13:9).
Pandangan Gregorius Agung, rahib Benediktin, Paus (A) dan Kaesarius dari Aries, seorang uskup, pengkotbah, dan teolog (B)
[IA] Berangkat dari perikop ini, Gregorius berpikir bahwa sebelum kedatangan Kristus, mereka yang meninggal akan turun ke dunia orang mati. Ia menggambarkan dunia orang mati ini sebagai neraka.
Menurutnya, dalam kondisi ini, kedatangan Kristus menjadi penting karena jalan menuju surga akan terbuka lagi. Namun ia berpikir bahwa sebelum kedatangan Kristus orang benar tidak seharusnya masuk ke dalam bagian neraka di mana jiwa-jiwa mengalami siksaan.
Lantas, ia berpendapat bahwa ada dua bagian di neraka, yaitu [II *] neraka bagian atas di mana orang benar akan beristirahat dalam damai, dan neraka bagian bawah di mana orang jahat akan memperoleh hukuman.
Doa dari orang yang masih hidup tidak akan berguna untuk roh-roh jahat, orang fasik, dan tidak percaya kepada Allah. Doa ini tidak membantu orang yang terkutuk. Doa hanya bermanfaat untuk para pendosa tertentu (Agustinus).
Di Flores ada seorang raja yang lalim dimakamkan di sebelah Gereja. Setelah wafat dia didoakan setiap malam. Pada hari ketiga, dia mendatangi seorang suster yang sedang berdoa, katanya: “Suster, saya sudah tidak perlu lagi didoakan karena saya sudah masuk neraka.”
Dia juga menampakkan diri pada seorang bapak yang hendak naik tangga gereja, dia tidak berkata apa-apa namun bapak itu melihat bahwa kakinya sudah diikat dengan rantai. Demikian pula pada waktu diadakan doa di rumahnya, dia menampakkan diri dengan wajah yang sangat menakutkan dan kepalanya bertanduk.
[IIA] Lantaran tidak ada pengampunan di surga maupun di neraka, maka satu-satunya kemungkinan bisa diampuni di tempat yang namanya Api Penyucian. Perikop ini cukup mempengaruhi para teologi gereja dalam merumuskan ajaran “Api Penyucian” sebagai tempat pengampunan atau penebusan dosa di alam setelah kematian.
[IIIAB] Setiap orang akan berhadapan dengan Pengadilan Terakhir sesuai dengan kondisi jiwa pada saat ia meninggal. Hanya (1) dosa-dosa kecil (akan hancur oleh api) yang akan disucikan dengan api kehidupan yang lain.. Meskipun dosa-dosa ini tidak membunuh jiwa, tetapi dosa tersebut menodai jiwa.
Jika seseorang melakukan (2) dosa berat (tidak akan hancur oleh api) dan tidak melakukan silih atau dengan cara penebusan yang tepat dan dalam jangka waktu yang panjang, tidak memberikan derma dan tetap mengulangi dosa yang sama, dia tidak akan disucikan oleh api dalam kehidupan lain.
[2 Mak 12:40-45] Proses pengampunan dosa setelah kematian
Astaga, pada tiap-tiap orang yang mati itu mereka temukan di bawah jubahnya sebuah (2A) jimat dari berhala-berhala kota Yamnia. Dan ini dilarang bagi orang-orang Yahudi oleh hukum Taurat. Maka menjadi jelaslah bagi semua orang mengapa orang-orang itu gugur.
Lalu semua memuliakan tindakan (1) Tuhan, Hakim yang adil, yang menyatakan apa yang tersembunyi. Merekapun lalu (3) mohon dan minta, semoga dosa yang telah dilakukan itu dihapus semuanya. Tetapi Yudas yang berbudi luhur memperingatkan khalayak ramai, supaya memelihara diri tanpa dosa, justru oleh karena telah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri apa yang sudah terjadi oleh sebab dosa orang-orang yang gugur itu.
Kemudian dikumpulkannya (2B) uang di tengah-tengah pasukan. Lebih kurang dua ribu dirham perak dikirimkannya ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapus dosa. Ini sungguh suatu perbuatan yang sangat baik dan tepat, oleh karena Yudas memikirkan kebangkitan. Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati.
Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.
» (1) Allah sebagai Hakim yang adil dan menghakimi dunia dengan keadilan dan kebenaran (Mzm 9:4, 7-8). Allah juga berbelas kasih (penuh kerahiman), Ia menghukum sekaligus menyelamatkan (Mzm 30:5).
Semua dosa lahir karena tidak ada kasih dari dan kepada Allah. Atau dengan kata lain, dosa itu tiadanya kasih terhadap kebaikan dan sumber kebaikan itu sendiri. Di Api Penyucian, jiwa-jiwa tidak hanya menjalani hukuman penghapusan dosa, melainkan juga membangun kasih kepada Allah (Dante Alighieri, seorang penyair, filsuf moral, dan pemikir politik).
Dosa dan pelanggaran selalu memiliki konsekuensi, yaitu hukuman. Namun, hukuman bukanlah tindakan Allah yang memisahkan umat-Nya dari kasih-Nya. Hukuman dijatuhkan oleh Allah supaya menyesal dan bertobat sehingga kembali kepada Allah sebagai umat kesayangan-Nya. Allah tidak menginginkan kebinasaan, tetapi keselamatan terhadap umat-Nya.
(2AB, 3) melakukan dosa besar, melanggar hukum Taurat. Dosa dapat ditebus dan diampuni setelah kematian. Doa-doa mereka yang masih hidup merupakan sarana yang efektif untuk pengampunan dan penebusan dosa setelah kematian.
Ini adalah salah satu kebiasaan saleh terhadap orang yang meninggal, yaitu membantu keselamatan mereka entah dalam doa maupun korban persembahan terhadap Allah. Tradisi mendoakan orang yang telah meninggal bisa dikatakan sebagai batu penjuru lahirnya ajaran Api Penyucian.
[2 Tim 1:16-18] Tuhan kiranya mengaruniakan rahmat-Nya kepada keluarga Onesiforus yang telah berulang-ulang menyegarkan hatiku. Ia tidak malu menjumpai aku di dalam penjara. Ketika di Roma, ia berusaha mencari aku dan sudah juga menemui aku.
Kiranya Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepadanya pada hari-Nya. Betapa banyaknya pelayanan yang ia lakukan di Efesus engkau lebih mengetahuinya dari padaku.
» Doa Paulus buat sahabatnya yang sudah meninggal, agar jiwa Onesiforus mendapat pengampunan dan keselamatan penuh dari Allah.
Gereja Katolik memelihara kebiasaan saleh ini dalam perayaan Ekaristi. Dalam Doa Syukur Agung Pertama sebelum bagian penutup (doksologi) disebutkan demikian:
“Kami mohon kepada-Mu, ya Tuhan, perkenankanlah mereka dan semua orang yang telah beristirahat dalam Kristus mendapat kebahagiaan, terang dan damai. Demi Kristus, Tuhan kami.”
Ajaran Thomas Aquinas, biarawan dari Ordo Dominikan dan Pujangga Gereja (Dokter Angelicus)
Semakin seseorang merindukan akan sesuatu, semakin sakit jika sesuatu itu terampas daripadanya. Sesudah kehidupan ini, kerinduan akan Allah, Sang Kebaikan tertinggi, begitu kuat dalam jiwa-jiwa orang benar dan tidak dihalangi lagi oleh badan yang fana.
Karena itulah, jiwa-jiwa akan begitu menderita jika kerinduan itu tertunda. Mereka kehilangan “pandangan yang membahagiakan” akan Allah untuk sementara waktu. Penderitaan yang paling ringan di Api Penyucian, masih lebih berat daripada penderitaan yang paling berat di dunia.
Jiwa-jiwa di Api Penyucian akan menjalani hukuman dengan sukarela bukan karena jiwa itu mengingininya, tetapi karena mereka tahu bahwa itulah satu-satunya jalan agar dapat diselamatkan.
Gereja memerintahkan kita untuk berdoa bagi orang yang sudah meninggal supaya mereka dibebaskan dari dosa mereka. Pertolongan yang efektif yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup bagi mereka yang sudah meninggal, yaitu Ekaristi, doa, derma dan perbuatan kasih lainnya.
Pertolongan ini melahirkan rahmat bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian sesuai dengan kehendak Tuhan. Rahmat tersebut disediakan bagi mereka yang pantas memperolehnya. Jika rahmat tersebut dipergunakan secara benar, maka akan berbuah kehidupan kekal.
Pertolongan itu tidak hanya bermanfaat bagi yang didoakan, tetapi juga yang mendoakan. Sebab pertolongan itu merupakan tindakan kasih yang pada saatnya nanti orang juga akan dinilai berdasarkan itu.
Pertolongan itu tidak bermanfaat bagi mereka yang sudah terberkati di surga. Sebab, pertolongan itu tidak tepat sasaran jika diberikan kepada orang yang tidak membutuhkannya.
Allah mengizinkan jiwa yang terberkati di surga, jiwa yang terkutuk di neraka, dan jiwa yang sedang dalam pemurnian di Api Penyucian dapat meninggalkan alamnya dan menampakkan diri kepada orang hidup.
Tujuannya untuk mengajar orang yang hidup atau melahirkan rasa takut dan gentar akan penghukuman.
Penampakan mereka yang sudah selamat di surga (tidak memperlihatkan diri di dunia karena kebahagiaannya bersama dengan Allah) dan mereka yang terkutuk di neraka (begitu menderita sehingga hanya larut dalam meratapi nasibnya) jarang terjadi.
Mereka yang berada di Api Penyucian biasanya menampakkan diri untuk “memohon pertolongan” dari orang yang hidup. Jiwa yang telah menyelesaikan di Api Penyucian akan segera ke surga dan tidak mengembara ke alam lain atau dunia ini.
Jiwa-jiwa yang menderita di Api Penyucian, umumnya lebih mencari pertolongan dengan perantaraan Bunda Perawan Maria dan para Kudus (Dante Alighieri).
Ada berbagai kesaksian Maria Simma, wanita sederhana yang sejak masa kecilnya telah berdoa bagi banyak jiwa-jiwa yang berada di Api Penyucian, baik yang dikenal maupun tidak.
Ketika berusia 25 tahun dia dianugerahi sebuah karisma, yaitu dikunjungi oleh jiwa-jiwa di Api Penyucian. Dia tidak memanggil jiwa-jiwa itu, jiwa-jiwa itu muncul dihadapannya. Dengan berbagai cara dan dengan kasihnya yang begitu besar dia telah menolong mengangkat mereka dari Api Penyucian sehingga mereka dapat menikmati kebahagiaan abadi di surga.
Dosa-dosa yang paling banyak menyebabkan orang masuk ke Api Penyucian. Dosa-dosa melawan kemurahan hati, melawan kasih kepada tetangga, hati yang keras, kekejaman, memfitnah dan mengumpat, berkata hal-hal yang jelek serta memfitnah (Kol 3:5) adalah yang paling jelek dari tindakan ternoda yang membutuhkan pemurniaan yang panjang.
Suatu saat Maria Simma dimintai tolong mencarikan seorang wanita dan seorang pria yang berada di Api Penyucian. Dan sangat mengejutkan mereka yang bertanya, ternyata wanita itu telah berada di Surga sedangkan si pria itu berada di Api Penyucian.
Padahal kenyataannya wanita ini telah mati ketika dia melakukan tindakan aborsi sementara si pria sering pergi ke Gereja serta menjalani kehidupan yang baik dan berdevosi.
Maria Simma mencari informasi lebih jauh lagi dan mengira bahwa yang dilihatnya itu salah, ternyata tidak, dia memang benar. Kedua orang itu mati pada saat yang sama, namun wanita itu mengalami pertobatan yang benar-benar dan dia sangat rendah hati, sementara si pria sering mengkritik orang lain. Dia selalu mengeluh dan berbicara hal-hal yang jelek tentang orang lain. Inilah sebabnya Api Penyucian bagi dia begitu lama.
Maria Simma menyimpulkan: "Kita tak boleh menghakimi penampilan seseorang."
Dosa lain yang melawan kemurahan hati adalah penolakan kita terhadap beberapa orang tertentu yang tidak kita sukai, penolakan kita untuk berdamai, penolakan kita untuk mengampuni serta segala sikap kebencian dalam diri kita (dendam yang dipertahankan).
Ada seorang wanita yang dikenal baik oleh Maria Simma. Wanita ini meninggal dan masuk ke Api Penyucian, di tempat yang paling mengerikan dari Api Penyucian, dengan penderitaan yang paling mengerikan pula di situ.
Ketika dia datang kepada Maria Simma, dia menjelaskannya. Dia memiliki seorang teman sesama wanita dan diantara keduanya terjadi permusuhan yang besar, yang sebenarnya dimulai oleh dia sendiri.
Dia mempertahankan permusuhan itu selama bertahun-tahun, meskipun sahabatnya telah berkali-kali minta berdamai dengannya, minta rekonsiliasi. Namun setiap kali dia menolaknya. Ketika dia menderita sakit yang berat, dia tetap saja menutup pintu hatinya, menolak untuk berdamai yang ditawarkan oleh sahabatnya itu, hingga saat kematiannya tiba.
Yang berpeluang besar memasuki Surga, yaitu mereka yang memiliki hati yang baik kepada setiap orang. Kasih mengatasi banyak dosa.
Setelah kita berbuat dosa, Allah, oleh kerahiman-Nya yang tak terbatas, menawarkan berbagai sarana yang mudah dan efektif kepada kita untuk menghindari masuk Api Penyucian, mengurangi masa hukuman dan tingkat siksaannya, bahkan untuk menghapusnya sama sekali.
1. Menghilangkan penyebab dosa
- Dosa-dosa yang mematikan - Mungkin tidak gampang untuk menghindar dari semua dosa, bahkan dosa-dosa kecil sekalipun, akan tetapi setiap orang Katolik, melalui penerimaan Sakramen-sakramen dengan benar dan pantas sesering mungkin, dapat dengan mudah terhindar dari dosa yang mematikan itu.
- Dosa yang disengaja tetapi dapat diampuni – Menghina Tuhan yang maha baik dengan sengaja adalah perbuatan yang sangat tidak pantas. Unsur kesengajaan sangat memperberat kadar suatu dosa dan ini merupakan penghinaan yang jauh lebih besar dibanding kesalahan-kesalahan akibat kelemahan kita atau dosa-dosa yang kita perbuat disaat kita lengah.
- Kebiasaan yang menghasilkan dosa - Kita harus berupaya maksimal untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan kita yang buruk. Kebiasaan, seperti halnya kesengajaan, secara serius menambah berat kadar suatu dosa. Suatu kesalahan yang disengaja, jauh lebih buruk dibandingkan kebohongan spontan, dan kebohongan akibat kebiasaan yang sudah mendarah daging adalah jauh lebih buruk dibandingkan kebohongan yang insidentil.
Suatu ketika seorang wanita memberitahu kami bawa di masa mudanya dia mempunyai kebiasaan untuk menjelek-jelekkan tetangganya. Setelah mendengar sebuah kotbah tentang masalah itu, dia berjanji untuk tidak mengulang kebiasaan itu lagi. Janji yang sederhana itu mengubah pola hidupnya serta membebaskannya dari ribuan dosa, dan tentunya meloloskan dia dari Api Penyucian yang lama dan berat.
2. Silih
Banyak orang menganggap bahwa silih adalah sesuatu yang mengerikan. Mungkin mereka membayangkan tindakan silih yang berat yang dialami oleh para kudus sehingga mereka takut untuk mencobanya. Perlu diingat bahwa Allah tidak meminta kita sesuatu yang luar biasa. Tetapi bila Allah menghendakinya, Ia akan memberi kita kekuatan yang diperlukan, sebagaimana yang terjadi pada orang kudus.
Perbuatan yang ditekankan Injil untuk silih adalah
1. Sedekah (Mat 6:1-4; Luk 11:41; 12:33). Sedekah berguna untuk menyilih dosa serakah atau kelekatan hati akan harta duniawi.
2. Doa (Mat 6:5-15). Doa berguna untuk menyilih atau untuk mengimbangi kelekatan yang tidak teratur pada cinta diri.
Suatu hari aku berada di sebuah kereta api, dan di dalam gerbongku ada seorang pria yang tidak henti-hentinya menjelek-jelekkan gereja, imam-iman bahkan Tuhan. Aku berkata kepadanya: "Dengar! Anda tidak boleh berbicara seperti itu. Itu tidak baik." Namun dia marah kepadaku. Setelah sampai di stasiun tujuanku aku turun dari kereta api itu sambil aku berdoa kepada Tuhan: "Tuhan, jangan biarkan jiwa itu sampai musnah."
Beberapa tahun kemudian jiwa itu datang menemui aku. Dia mengatakan bahwa dirinya telah sampai di tempat yang sangat dekat sekali dengan neraka, tetapi dia telah diselamatkan hanya atas jasa doa singkat yang aku ucapkan pada saat itu!
Doa-doa kita bisa memunculkan sebuah tindakan ketulusan hati pada orang yang akan meninggal. Sebuah ketulusan hati sesaat, betapapun kecilnya hal itu ternyata bisa menolong mereka untuk menghindari neraka.
3. Puasa (Mat 6:16-18). Puasa berguna untuk menyilih kelekatan hati yang tidak teratur pada hal-hal yang baik dari tubuh kita. puasa membimbing kita untuk tahu diri, tahu batas.
Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah. Pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan kita Yesus Kristus (KHK 1249-1253).
Dengan menjauhkan diri dari makanan-makanan lezat yang merugikan kesehatan dengan memilih jenis makanan biasa yang menyehatkan. Makan secara berlebihan merupakan penyebab dari sebagian penyakit serta kematian dini.
Ketiga perbuatan amal tersebut memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh keinginan yang tidak teratur yang ada di dalam hati kita.
Jadi, kita harus mau mengikuti Yesus, harus menyangkal diri, memikul salib setiap hari (Luk 9:23); melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Kor 10:31). Bagi Santa Theresia Lisieux, jalan pintas ke sorga adalah melakukan banyak hal-hal kecil dengan hati yang penuh cinta.
Maria Simma kenal dengan seorang pria muda sekitar dua puluh tahun dari desa sebelah. Desa orang muda ini dilanda runtuhan salju yang amat hebat yang membunuh sejumlah besar orang.
Suatu malam, pria muda ini berada di rumah orang tuanya ketika dia mendengar runtuhan salju di samping rumahnya. Dia mendengar jeritan-jeritan yang keras, jeritan yang menyayat hati: "Tolonglah kami ini! Kasihanilah, tolonglah kami! Kami sedang terjebak di bawah timbunan salju."
Dengan segera dia melompat dari tempat tidurnya dan berlari menuruni anak tangga untuk menolong orang-orang itu. Tetapi ibunya yang juga mendengar jeritan minta tolong itu mencegah dia, dan ibunya menghalangi di depan pintu sambil berkata: "Tidak! Biarlah orang lain saja yang pergi dan menolong mereka. Jangan, kita! Terlalu berbahaya di luar sana, aku tidak ingin ada yang mati lagi!"
Karena pria itu sangat tersentuh oleh jeritan tadi, maka dia mendorong ibunya ke samping dan berkata: "Ibu, aku pergi! Aku tidak bisa membiarkan mereka mati seperti itu!" Dia lalu pergi ke luar dan di tengah jalan dia mati terkena runtuhan salju itu.
Tiga hari setelah kematiannya, pria itu datang menemui aku pada malam hari dan berkata: "Lakukanlah tiga kali Misa Kudus bagiku. Dengan ini aku akan dilepaskan dari Api Penyucian."
Maria Simma lalu pergi memberitahu keluarganya dan sahabat-sahabatnya, dan mereka heran demi mengetahui bahwa hanya dengan tiga kali Misa Kudus dia bisa dibawa keluar dari Api Penyucian.
Sahabat-sahabatnya berkata kepadaku: "Oh aku tidak akan mau menjadi seperti dia pada saat kematian itu, jika saja kamu mengetahui segala perbuatan-perbuatannya!" Tetapi orang muda ini berkata kepadaku: "Kamu tahu, aku telah melakukan sebuah tindakan kasih yang tulus dengan merelakan nyawaku bagi orang-orang itu. Terima kasih karena Allah telah menyambutku begitu cepatnya ke dalam Surga."
Ya, kemurahan hati mengatasi banyak dosa. Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa kemurahan hati, sebuah tindakan kasih sekali yang diberikan secara cuma-cuma telah cukup untuk memurnikan anak muda ini dari sebuah kehidupan yang jelek. Allah telah memberikan sebuah kesempatan untuk berbuat kasih yang istimewa ini. Allah didalam kerahiman-Nya, membawa dia kepada saat tertentu dimana dia hadir di hadapan Allah dalam keadaannya yang paling indah, paling murni, karena karya kasih ini.
3. Penderitaan
Ada perbedaan besar dari tingkatan-tingkatan penderitaan rohani. Masing-masing jiwa memiliki jenis penderitaan sendiri-sendiri dan masing-masing jenis penderita memiliki derajat yang berbeda.
Jika kita menderita di dunia, kita memiliki segala rahmat, bisa bertumbuh di dalam kasih dan bisa memperoleh jasa-jasa. Sedangkan penderitaan di Api Penyucian hanya berfungsi untuk memurnikan kita dari dosa. Jadi, penderitaan di dunia ini tak mempunyai nilai yang sama dengan penderitaan di Api Penyucian.
Penderitaan di dalam Api Penyucian lebih menyakitkan dari pada sebagian besar penderitaan di atas dunia, lebih melukai jiwa seseorang. Namun kebahagiaannya lebih besar daripada rasa sakitnya, ada kepastian untuk hidup selamanya bersama Allah sehingga tak ada di dunia ini yang bisa membuat mereka ingin kembali tinggal di dunia.
Jadi, jiwa-jiwa di Api Penyucian tidak memberontak jika dihadapkan kepada penderitaan mereka karena mereka ingin memurnikan dirinya, mereka sadar bahwa hal itu diperlukan.
Penderitaan yang dipikul secara sukarela akan terasa mudah dan ringan. Penderitaan jika diterima dengan tenang dan demi kemuliaan Tuhan, tidak akan terasa sakitnya. Namun bagaimana kita bisa menerima penderitaan itu sebagai sebuah karunia dan bukan sebagai hukuman?
Janganlah kita selalu menganggap bahwa penderitaan adalah sebuah hukuman. Ia bisa juga diterima sebagai silih, bukan hanya bagi kita sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Kristus sendiri tidak berdosa dan Dia amat menderita sebagai silih atas dosa-dosa kita. Hal terbaik yang harus kita lakukan adalah menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan Yesus.
Penderitaan adalah bukti terbesar dari kasih Allah dan jika kita mempersembahkan hal itu dengan baik, dipikul dengan semangat cinta kasih akan mengurangi secara dratis masa hukuman kita dalam Api Penyucian dan sangat mungkin membatalkannya secara keseluruhan, bahkan hal itu bisa juga memenangkan banyak jiwa-jiwa.
Jika kita menjalaninya dengan sabar, jika kita menerimanya dengan tulus, maka penderitaan-penderitaan itu memiliki kuasa yang tak kelihatan untuk menolong jiwa-jiwa.
Jika diterima secara tidak baik dengan semangat pemberontakan dan kebencian (tidak mau menyerah kepada kehendak Allah) maka sakitnya akan meningkat seratus kali lipat dan menjadi tak tertahankan.
Ada seorang imam dan seorang wanita muda yang keduanya sakit TBC di rumah sakit. Wanita itu berkata kepada imam itu: "Marilah kita memohon kepada Allah agar kita bisa menderita di dunia ini sebanyak yang dibutuhkan agar kita bisa langsung masuk surga."
Tetapi imam itu menjawab bahwa dia sendiri tidak berani untuk meminta hal itu. Di dekatnya ada suster biarawati yang mendengarkan pembicaraan mereka. Lalu wanita muda itu mati lebih dahulu, yang kemudian disusul oleh imam itu.
Kemudian imam itu datang kepada suster itu dan berkata: "Jika saja aku memiliki kepercayaan yang sama seperti wanita itu, maka akupun akan bisa langsung masuk ke surga."
Suatu jiwa memintaku untuk menderita dalam tubuhku selama tiga jam bagi wanita itu. Lalu sesudah itu aku bisa bekerja lagi seperti biasa. Aku berkata pada diriku: "Jika hal itu hanya untuk tiga jam saja, aku mau melakukannya."
Selama tiga jam itu aku merasakan seolah hal itu berlangsung selama tiga hari, dimana hal itu sangat menyakitkan sekali. Namun pada akhirnya, aku melihat pada jamku, aku sadar bahwa hal itu hanya berlangsung selama tiga jam saja.
Jiwa itu berkata kepadaku bahwa dengan menerima penderitaan itu dengan rasa kasih seIama tiga jam, aku telah menyelamatkan dia dua puluh tahun masa tinggalnya di Api Penyucian.
Jiwa orang mati sudah tidak terikat oleh waktu. Konsep “waktu” selama di dunia ini akan berbeda dengan konsep “waktu” setelah kematian.
Proses penyucian di Api Penyucian tidak dapat diukur dengan standard waktu di dunia ini. Mencoba menghitung jangka waktu di Api Penyucian dengan ukuran waktu di dunia adalah sesuatu yang naif dan tidak bermanfaat (Paus Benediktus XVI).
Masalah sebenarnya tidak terletak pada berapa lamanya waktu untuk penyucian, melainkan sejauh mana jiwa terbuka untuk disucikan entah sampai kapan pun, sampai ia terbuka kepada persekutuan dengan Allah.
Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari (2 Ptr 3:8).
4. Pengakuan dosa, Komuni, Misa Kudus
Pengakuan dosa memoleskan Darah Kristus yang tak ternilai ke dalam jiwa kita, menghapus dosa-dosa kita, menerangi mata kita untuk melihat kejahatan yang diakibatkan oleh dosa, memenuhi hati kita dengan rasa takut akan dosa, dan di atas segalanya, memberikan kita kekuatan untuk menghindarinya.
Dalam Komuni Kudus kita menerima Tuhan yang penuh dengan belas kasih dan cinta, Tuhan dari para kudus, yang datang untuk mengampuni dosa kita dan membantu kita agar tidak berbuat dosa lagi. Tuhan datang ke dalam hati kita dalam Komuni Kudus. Dia bisa mengunjungi kita setiap hari jika kita mengijinkan-Nya.
Herman Cohen seorang anti Yahudi yang masuk ke dalam agama Katolik pada tahun 1864 dan dia sangat menghormati Ekaristi Kudus. Dia meninggalkan kesibukan dunia ini dan memasuki ordo religius yang amat keras.
Disitu dia menyembah Sakramen Terberkati yang sangat dia hormati. Selama penyembahannya, dia memohon kepada Allah agar mempertobatkan ibunya yang sangat dia kasihi. Lalu ibunya meninggal sebelum sempat bertobat dan memeluk agama Katolik. Lalu Herman, yang sangat sedih itu, bersujud dihadapan Sakramen Terberkati.
Dengan kesedihan dia berkata: "Tuhan, aku berhutang segala-galanya kepada-Mu" "Namun, apakah aku ini telah menolak Engkau? Masa mudaku, angan-anganku di dunia, kesejahteraanku, kebahagiaan sebuah keluarga, sebuah tempat beristirahat yang cukup lumayan semuanya kukorbankan ketika Engkau memanggilku.
Dan Engkau Tuhan, kebaikan abadi, yang berjanji untuk mengembalikan 100 kali lipat, Engkau telah menolak aku yang berkenan dengan jiwa ibuku. Tuhanku, aku pasrah kepada kemartiran ini. Aku akan menghentikan keluhan-keluhanku."
Dia lalu menangis atas kemalangannya itu. Tiba-tiba suatu suara ajaib masuk ke telinganya "Orang yang kecil imannya! Ibumu diselamatkan. Ketahuilah bahwa doa adalah amat kuat didalam kehadiran-Ku. Aku mengumpulkan semua orang yang telah kau doakan selama ini, demi kepentingan ibumu dan ke Mahakuasaan-Ku telah memperhitungkan dia pada saat-saat akhirnya.
Pada saat dia menghembuskan nafas terakhirnya, Aku datang kepadanya. Dia melihat Aku dan berseru: "Tuhanku, Allahku!" Maka bangkitlah kamu, ibumu telah terhindar dari hukuman dimana permohonan-permohonan yang tekun segera membebaskan dari ikatan Api Penyucian. Sesudah itu Pastor Herman Colen menyadari, melalui penampakan berikutnya, bahwa ibunya telah naik ke sorga.
Misa Kudus adalah sama dengan pengorbanan di Kalvari. Pengorbanan di Kalvari cukup untuk menyelamatkan seluruh dunia. Dengan Misa Kudus kita dapat memoleskan limpahan karunia itu ke dalam jiwa kita semua, dan bukan hanya sekali saja, tetapi setiap hari. Nilai dari Misa Kudus tidaklah terukur besarnya, jika kita menyadarinya!
Cara yang paling efektif untuk melepaskan jiwa-jiwa dari Api Penyucian adalah Misa Kudus. Karena di sini Kristus sendirilah yang menyerahkan diri-Nya demi kasih bagi kita. Persembahan Kristus kepada Allah itulah yang merupakan persembahan yang indah.
Cure of Arts berkata kepada umatnya: ''Anak-anakku, ada seorang imam yang baik dan merasa tidak senang kehilangan seorang sahabat yang dia cintai, maka dia berdoa banyak sebagai silih bagi jiwa itu."
Suatu hari Allah memberitahu kepadanya bahwa sahabatnya itu berada di Api Penyucian dan sangat menderita. Imam yang baik itu percaya bahwa dirinya bisa berbuat lebih besar lagi daripada sekedar mempersembahkan Korban Kudus di dalam Misa Kudus bagi sahabatnya yang terkasih yang telah mati itu.
Pada saat konsekrasi dia memegang Hosti diantara jari-jarinya sambil berkata: "Bapa Abadi yang Suci, marilah kita saling bertukar milik, Engkau memegang sahabatku yang ada di Api Penyucian, dan aku memegang Tubuh Putera-Mu di tanganku.
Ya Bapa yang baik dan maharahim, entaskanlah sahabatku itu dan aku mempersembahkan Putera-Mu kepada-Mu beserta segala jasa-jasa kematian-Nya dan penderitaan-Nya."
Pada saat dia mengangkat Hosti, dia melihat jiwa sahabatnya bercahaya dengan mulia naik ke sorga. Tuhan telah menerima tawar menawar itu.
5. Minta kepada Tuhan
Doa memiliki dua syarat agar menjadi ampuh, yakni ketekunan dan iman. Beberapa umat Katolik yang bijak, setiap hari seumur hidupnya memohon kepada Tuhan untuk mendapatkan rahmat di dalam setiap doa yang mereka daraskan, di dalam setiap Misa Kudus yang mereka ikuti, di dalam setiap tindakan yang mereka lakukan, pertama-tama mereka selalu memohon kepada Allah dengan segenap hati agar dibebaskan dari Api Penyucian.
Doa rosario, dengan mendaraskan doa Salam Maria dengan sepenuh hati “Doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin.
Bunda Maria sering datang ke Api Penyucian untuk menghibur mereka, dia menyemangati mereka untuk melakukan kebaikan.
Doa Jalan Salib, dengan merenungkan penderitaan-penderitaan Tuhan Yesus, maka sedikit demi sedikit kita akan menjadi benci terhadap dosa, akan segera menyesal bila berbuat dosa dan merindukan penyelamatan bagi semua orang.
6. Penyerahan kepada kematian
Kematian adalah hukuman yang mengerikan atas dosa, dan bila kita menerimanya sebagaimana mestinya dengan kepasrahan dan penyerahan, maka tindakan kita ini akan membuat Tuhan begitu senangnya sehingga semua dosa kita diampuni-Nya.
Setiap kali kita mengulangi doa Bapa Kami, mari kita ucapkan dengan kesungguhan hati kata-kata: “Jadilah kehendak-Mu.” Dalam segala masalah yang dihadapi, besar maupun kecil, marilah kita melakukan hal yang sama. Dengan demikian segala sesuatu memberikan nilai tambah kepada kita. Dengan tindakan yang sederhana ini, kita mengubah kesedihan menjadi sukacita, kekuatiran di dunia ini menjadi emas di surga.
Kepercayaan yang besar kepada Allah, wanita ini langsung menuju Sorga
Ada seorang wanita berkata kepada Allah: "Aku mau menerima kematian, sepanjang hal itu sudah menjadi kehendak-Mu dan aku menaruh hidupku di tangan-Mu. Aku mempercayakan anak-anakku kepada-Mu dan aku tahu bahwa Engkau akan memelihara mereka."
Sebuah ketulusan hati sekali saja, sebuah pertobatan pada saat kematian, bisa menyelamatkan kita.
Maria Simma diminta untuk mencari tahu tentang seorang wanita yang diduga telah musnah jiwanya, karena kehidupannya jelek. Dia mendapat kecelakaan, jatuh dari kereta api dan mati. Suatu jiwa berkata kepada Maria Simma bahwa wanita itu telah diselamatkan, selamat dari neraka, karena pada saat kematiannya dia berkata kepada Allah: "Engkau berhak untuk mengambil hidupku, karena dengan demikian aku tidak bisa lagi menentang Engkau."
7. Pengampunan terakhir
Tuhan sendiri yang memberikan kita sakramen, yang pada akhirnya akan menghantar kita langsung ke surga. Sakramen ini adalah Pengampunan Terakhir, yang menurut St. Thomas dan St. Albert diadakan secara khusus oleh Tuhan untuk mengaruniakan kepada kita kematian yang kudus dan menyenangkan dan untuk mempersiapkan kita memasuki surga dengan segera.
Maka, alangkah bodohnya bila kita menunda penerimaan ini hingga menjadi terlambat pada saat orang sekarat itu sudah terlalu lemah untuk dapat menerimanya dengan penuh kesadaran atas apa yang dilakukannya. Saat kematian adalah saat genting dalam hidup kita. itu merupakan saat yang menentukan nasib kita untuk keabdian.
Berkat kehendak Allah, diantara umat manusia terjalin suatu hubungan rohani yang adikodrati, suatu solidaritas kebaikan seseorang menguntungkan orang lain, tetapi juga dosa seseorang merugikan orang lain.
Suatu bukti dari solidaritas ini kita temukan di dalam diri manusia pertama: dosa dari Adam beralih kepada keturunannya sampai ke kita. namun bukti yang lebih luhur dari solidaritas adikodrati ini kita temukan di dalam diri Yesus Kristus. Allah Bapa memanggil kita dalam kesatuan dengan Putera-Nya (Yoh 15:5; 1 Kor 12:27).
Yesus Kristus telah mempersembahkan diri-Nya di kayu salib sebagai suatu korban silih yang berlimpah-limpah untuk menghapus kesalahan dan hukuman setiap insan (Yoh 1:16; Bdk. 1 Ptr 2:21-25; Yes 53:4-6). Kristus tidak perlu menyilih dosa-Nya, karena Dia tidak berdosa, maka silihnya untuk seluruh umat manusia.
Dengan mengikuti jejak Kristus, kita bersama seluruh kaum beriman di sepanjang zaman berusaha saling menolong supaya berhasil berjalan ke arah Allah Bapa. Bantuan ini kita tukarkan melalui doa, pertukaran karunia-karunia rohani, pemulihan melalui matiraga. Semakin kita berkembang dalam cinta kasih, semakin kita mampu meniru Yesus Tersalib, dengan memikul salib kita sendiri demi pemulihan dosa kita dan dosa orang lain. Jadi, kita harus berbuat banyak bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian. Jiwa-jiwa yang telah diselamatkan oleh jasa doa-doa kita sangatlah berterima kasih sehingga mereka akan menolong hidup kita.
(Sumber: Warta KPI TL No.139/X/2016 » Renungan KPI TL Tgl 27 Oktober dan 3 November 2016 & Warta KPI TL No. 164/XII/2018 » Renungan KPI TL Tgl 1 & 8 November 2018, Dra Yovita Baskoro, MM).