Pages

Kamis, 28 Mei 2020

Kuasa Pujian Penyembahan dan kuasa nama-Nya

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus (Flp 4:6-7). 


Pada tanggal 28 April 2020, Ferry, anak saya memberitahu bahwa dia akan pergi ke Bali. Dengan berbagai cara, kami, sebagai orang tuanya mencegahnya dan menasehatinya, namun dia berkata: “Pa, Ma, ini urusan penting dari kantor.” Mendengar penjelasan itu, kami hanya bisa memohon penyertaan Tuhan, kami berdua berdoa bersama Bunda Maria melalui Doa Rosario. 

Keesokan harinya jam dua siang dia pamit pada kami, katanya: “Papa, Mama, jangan kuatir aku pergi dengan membawa surat dari kantor. Jika ada pemeriksaan, akan aku tunjukkan surat tersebut. Aku pergi dengan Iin (istrinya) dan Didik (sopirnya). Aku mohon dukungan doa papa dan mama.” 

Sepanjang hari kami tidak mendapat kabar dari Ferry. Sesudah mengikuti Gideon Prayer Ministry dan berdoa rosario berdua dengan suami saya, saya menyuruh suami saya untuk menelponnya. Puji Tuhan, saya mendapatkan kabar baik. Dia lolos dari pemeriksaan dan hasil rapid testnya negatif semuanya. 

Jumat, 1 Mei 2020, Ferry menelpon menceritakan bahwa dua hari di Bali pekerjaannya berjalan sesuai dengan rencana. Mendengar kabar itu, pikiran kami tenang. Namun jam empat sore saya mendengar kabar buruk dari Cindy, adik Ferry bahwa pelabuhan ditutup, baik dari Ketapang ke Gilimanuk atau sebaliknya. 

Karena kami tidak mendapatkan kabar lagi, maka sesudah mengikuti GPM, kami menelpon Ferry, katanya: “Aku saat ini berada persis di tempat penjagaan, aku dibentak-bentak karena ketidak tahuanku bahwa pelabuhan ditutup atas perintah Gubernur. Aku saat ini mengalami kesulitan, kemungkinan besar aku tidak bisa pulang.” Mendengar penjelasan itu, secara spontan saya berkata: “Nyo, kamu berdoa, bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Papa dan mama juga akan mendukungmu dalam doa.” 

Saya segera menghubungi Gaby, cucu saya dan memberitahu kondisi papanya dan memerintahkan padanya untuk mengambil gitar dan mengajak adik-adiknya memuji dan menyembah Tuhan bersama kami. 

Sungguh luar biasa kuasa pujian penyembahan. Ketika kami selesai melakukan pujian penyembahan tersebut, tiba-tiba kami mendengar kabar baik, yaitu Ferry teringat dengan seorang bapak yang bernama Chandra (anak buah dari pemilik kapal) dan dia mau membantu kesulitannya. 

Pak Chandra mengatakan bahwa dia akan menemui Ferry di pom bensin. Dia memberi petunjuk untuk sampai ke tempat tersebut. Begitu Ferry bertemu dengan pak Chandra, kemudi mobil langsung digantikan olehnya sehingga sampai ke parkiran pelabuhan, Sesampainya di sana dia berkata: “Jam sepuluh lebih dua belas menit kapal itu jalan dan mobil harus segera masuk.” 

Tiba-tiba Iin ingin ke toilet, maka Ferry berpesan pada Didik: “Kamu tunggu di sini!” Ketika Ferry dan Iin kembali ke mobil, mereka kaget melihat Didik berada di luar mobil dan mobil dalam keadaan mati mesinnya. Ketika ditanya Didik menjawabnya: “Pak, saya minta maaf. Tadi saja juga ke toilet. Ketika saya mau menyalakan mesinnya, tidak mau nyala.” 

Sungguh luar biasa penyertaan-Nya, Ferry dalam keadaan tenang langsung mengambil kunci kontak dan memasukkan ke dalam lubangnya sambil berdoa: “Tuhan Yesus tolonglah aku. Dalam nama Yesus, aku perintahkan menyala!” Mujizatnya sungguh nyata, mobil langsung bisa menyala dan mobil tersebut dikemudikan oleh Ferry sampai ke pinggiran kapal. Di sana pak Chandra sudah menunggu dan meng-instruksikan agar mobil dimasukkan ke kapal. Ferry menelpon lagi, katanya: “Pa, Ma tidurlah. Kami sudah sampai di Ketapang. 

Melalui pengalaman ini saya melihat penyertaan Tuhan yang luar biasa, ada kuasa dalam pujian dan penyembahan, ada kuasa berdoa dalam nama-Nya. Oleh karena itu setialah dalam memuji dan menyembah-Nya dan percayalah pada-Nya dengan sepenuh hati.

Rabu, 27 Mei 2020

Berdoa dan bersilih bagi bangsa dan dunia



Dalam Kitab Kejadian ada kisah menarik tentang doa syafaat Abraham untuk Sodom. Saat itu Tuhan hendak menghukum dan melenyapkan penduduk kota Sodom karena dosa-dosa mereka (Kej 18:20-33). 

Abraham memberanikan diri berdiri di hadapan Tuhan dan berkata: “Apakah Engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama dengan orang fasik? Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?” 

Tuhan berfirman: “Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka.” Dialog ini kemudian berlanjut dan berlanjut. Akhirnya, jika ada sepuluh orang benar saja di kota Sodom, Tuhan tidak akan memunahkan kota ini. 

Dari perikop Kitab Suci di atas, kita bisa melihat bahwa dosa penduduk kota Sodom mendatangkan bencana yang merupakan hukuman Tuhan. Jika kita refleksikan, di jaman kita ... juga di negeri kita ... ada banyak bencana dan ada banyak dosa dan kejahatan. Namun, sayang, tidak banyak orang yang menghubungkan keduanya. 

Umumnya, orang memandang bencana hanya sebagai gejala alam atau peristiwa biasa dan sama sekali tidak dapat terdengar pesan ilahi dibaliknya yang mengajak untuk bertobat. Padahal, tidak ada satu pun “kebetulan” di mata Tuhan. Bahkan, tak satu helai rambut pun jatuh karena “kebetulan” bagi Dia. Tuhan sendiri menghendaki agar kita membaca tanda-tanda jaman (Mat 16:3). 

Seperti Abraham, kita juga dipanggil untuk berdoa bagi dunia, bagi bangsa dan negara, bagi keselamatan jiwa-jiwa. Pedulikah kita ... dalam sehari berapa kali kita berusaha berdoa atau bersilih untuk itu? Kepedulian akan keselamatan jiwa-jiwa merupakan salah satu kepribadian kristiani yang dewasa

Sebenarnya dasar kepedulian kita bukanlah hanya kasih kita kepada mereka, tetapi terlebih lagi kasih kita pada Kristus. Orang yang mengasihi Kristus akan mengasihi apa yang dikasihi-Nya. Orang yang mengasihi Kristus akan mengasihi sesamanya. Kasih itu peduli, kasih itu melibatkan diri (walaupun tidak secara konkrit, tetapi bisa melalui doa, dll). 

Kita bisa berdoa bagi keselamatan jiwa-jiwa, tidak hanya secara khusus saat kita duduk manis dalam gereja, tetapi juga dengan mempersembahkan semua yang kita lakukan (entah itu doa, puasa, penyangkalan diri, ataupun aktivitas-aktivitas kita lainnya kepada Yesus untuk keselamatan jiwa-jiwa). 

Contoh konkritnya: jika kita sedang berjalan, kita bisa katakan kepada Yesus dalam hati: “Untuk-Mu, Yesus setiap langkah-ku, untuk keselamatan jiwa-jiwa.” Atau, sebelum memulai suatu pekerjaan, kita bisa berdoa kecil: “Tuhan, kupersembahkan untuk-Mu pekerjaan ini, untuk pertobatan para pendosa, pertobatanku, pertobatan keluargaku, ...” Masih banyak contoh lainnya. 

Jika dipersembahkan kepada Yesus, maka semua yang kita lakukan itu (asal bukan dosa) mempunyai nilai (membawa rahmat) bagi keselamatan jiwa-jiwa. Sayang khan jika hanya karena kita lupa mempersembahkan aktivitas kita kepada Yesus, maka satu jiwa tak tertolong dan tercebur ke dalam api neraka? 

(Sumber: Hidup dalam Roh September-Oktober 2009 Tahun XIII, Sr Maria Andrea, P.Karm).

Hadirat Allah dalam kehidupan kita




Ada satu hal yang menjadikan hidup kita indah dan berarti, yaitu persahabatan yang mesra dengan Allah. Tanpa itu segalanya akan menjadi kosong, sebaliknya persahabatan tersebut akan menjadikan hidup kita sungguh-sungguh indah. Persahabatan ini adalah karunia Allah yang telah mengasihi kita lebih dahulu (1 Yoh 4:10). 

St. Teresa Avila mendefinisikan doa sebagai suatu persahabatan dengan Allah, komunikasi dengan dua orang sahabat. Karena itu, doa tidak pernah berliku-liku, melainkan sederhana, dan akan menjadi semakin sederhana. Doa yang sederhana ini dapat menghantar kita kepada kontemplasi, yakni memandang Allah dengan penuh cinta dan kekaguman

Dalam doa ini kita lebih banyak mencintai dari pada banyak berpikir, seperti dikatakan St. Teresa Avila, “Jika kalian ingin maju di jalan doa ini dan mencapai ruang yang dirindukan jiwamu, hal yang terpenting bukanlah banyak berpikir, melainkan banyak mencintai. Jadi, kita harus melakukan apa saja yang mendorong kita untuk mencintai.” 

St. Teresa Avila mengatakan tentang kehadiran ilahi: “Ingatlah bagaimana St. Agustinus menceritakan kepada kita bahwa, setelah mencari Tuhan di mana-mana, ia menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Bukanlah soal kecil bagi kita yang sering melantur untuk memahami kebenaran ini dan menemukan bahwa untuk berbicara dengan Bapa kekal kita dan menikmati kehadiran-Nya, kita tidak perlu pergi ke sorga maupun berbicara dengan suara keras. Bisikan yang paling halus pun terdengar. Dia begitu dekat. Kita tidak perlu sayap untuk mencari-Nya. Kita hanya harus tinggal sendirian dan memandang Dia yang hadir di dalam kita. Kita harus berbicara kepada-Nya dengan sangat rendah hati, meminta kepada-Nya yang kita butuhkan seperti kita meminta kepada seorang ayah, menceritakan kepada-Nya masalah-masalah kita, dan memohon Dia menyelesaikannya. Siapa yang dapat menutup diri seperti ini dalam sorga kecil jiwanya, di mana tinggal Pencipta sorga dan bumi, dan telah membangun kebiasaan untuk tidak melihat apa pun atau tinggal di mana pun yang dapat mengalihkan perhatian mereka, boleh merasa yakin bahwa mereka sedang berjalan di jalan yang sangat tepat dan tidak akan gagal meminum air kehidupan.” 

Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan hidup di hadirat Allah? Hidup di hadirat Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, berusaha mengarahkan hati dan pikiran selalu kepada Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Beata Elisabeth dari Trinitas, hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak pernah meninggalkan kita. Beata Elisabeth dari Trinitas ini mencapai kekudusannya dengan jalan senantiasa menyadari kehadiran Allah yang bersemayan di hatinya. 

Beata Elisabeth dari Trinitas, seorang Biarawati Karmel, menjadi besar di hadapan Allah, karena dengan tekun dan serius menghayati misteri kehadiran Allah Tritunggal. Usahanya yang utama ialah senantiasa hidup dalam hadirat Allah dan menyadari kehadiran itu setiap saat dalam segala aktivitas dan karyanya sehari-hari. Ia membiarkan diri dipenuhi oleh kehadiran Allah tersebut. Ia hidup dalam persatuan dengan Allah yang selalu hadir itu dan dengan demikian menemukan sorga di dunia ini, karena sesungguhnya sorga bukan lain daripada persatuan dengan Allah dalam cintakasih (Yoh 17: 3 » Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus). Sorga ialah melihat Allah Tritunggal Mahakudus atau Trinitas dari muka ke muka (1 Kor 13:12). 

Misteri Trinitas adalah misteri terbesar agama Kristen. Karena kehadiran Trinitas ini, kita menjadi kenisah Allah (Yoh 14:23; 1 Kor 6:19). 

Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar, “demikian ungkap Br. Laurence dari Kebangkitan, seorang Karmelit yang hidup di sekitar abad ke-16. 

Jadi, setiap orang Kristen dipanggil kepada kekudusan, yaitu persatuan cinta kasih dengan Allah sendiri, maka manusia perlu menjalin hubungan pribadi dengan Allah. Allah yang telah lebih dahulu memanggil manusia untuk memasuki persekutuan dengan Dia. Dari pihak manusia dibutuhkan keterbukaan hati dan jawaban untuk menggenapi panggilan Tuhan tersebut

Yesus merupakan teladan dalam hal ini. Yesus senantiasa hidup di hadirat Bapa dalam suatu hidup cintakasih, penyerahan diri serta pelayanan, dalam doa yang tak kunjung putus. Tuhan tidak hanya minta kepada kita untuk berdoa pada saat tertentu saja, tetapi supaya kita hidup di hadirat-Nya dalam doa yang tak kunjung putus (Luk 18:1). 

Untuk menemukan Allah dan ajaran-ajaran-Nya orang diajak untuk memberikan hatinya kepada Allah. Hati adalah pusat kepribadian manusia, inti terdalam dalam manusia. Hati adalah tempat pertemuan antara Allah dan manusia. 

Masalah hidup di hadirat Allah dalam doa yang tak kunjung putus itu tidak terletak pada soal tempat, pekerjaan yang dihadapi, atau soal kondisi fisik tertentu, tetapi yang menjadi soal adalah apakah orang masuk ke dalam lubuk hatinya dan menemukan Allah di dalam hati, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Jadi, hati adalah pusat manusia di mana manusia berkontak dengan sumber kehidupan, yaitu Allah sendiri

Kita dapat berjumpa dengan Allah, sahabat jiwa kita yang paling agung, melalui doa batin, Doa Yesus, Sakramen-sakramen, Kitab Suci, dalam kehidupan sehari-hari dalam iman, harapan dan kasih

Kita dapat hidup di hadirat Allah melalui doa batin, doa yang tak kunjung putus. “Doa batin adalah doa seorang anak Allah, doa seorang pendosa yang sudah diampuni dan yang menghendaki agar menerima cinta kasih, dengannya ia dicintai dan membalasnya dengan cinta kasih yang lebih besar lagi (Luk 7:36-50; 19:1-10). Tetapi ia mengetahui bahwa cinta kasih balasannya itu berasal dari Roh Kudus, yang mencurahkannya ke dalam hatinya. Karena segala-galanya adalah rahmat Allah. Doa batin adalah penyerahan yang rendah hati dan miskin kepada Bapa penuh cinta, dalam persatuan yang semakin dalam dengan Putera kekasih-Nya” (KGK 2712). 

Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri. Doa Yesus sepanjang hari adalah salah satu cara untuk dapat selalu hidup di hadirat Allah. Selain itu, kita juga bisa membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah hati, namun penuh cinta kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita tidak setia dan berdosa

Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan, kita membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan Allah; suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan berbagai masalah hidup

Doa batin tidak lain dari suatu pergaulan yang sangat ramah, di mana kita seringkali berbicara seorang diri dengan Dia, tentang siapa, kita tahu bahwa Ia mencintai kita” (St. Teresa Avila). Bagaimana mungkin kita dapat berdoa terus menerus? Berdoa itu sederhana, seperti bernafas

Cara untuk tetap berhubungan dengan Allah adalah dengan cara menghirup dan menghembuskan nafas, dengan mengucapkan sebuah kata atau kalimat pendek. Misalnya “Yesus” atau “Tuhan Yesus, kasihanilah aku, orang berdosa ini”. Orang sering menyebutnya dengan doa nama atau doa Yesus. Doa Yesus ini termasuk doa batin. Doa ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. 

Pada dasarnya seorang pendoa adalah seorang yang selalu hidup di hadirat Allah, berkomunikasi terus-menerus dengan Allah yang dicintainya melebihi segala sesuatu

Dasar doa Yesus adalah hadir dalam hadirat Allah seperti kata Injil, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:6). 

Setiap orang Kristen melalui Sakramen Baptis dijadikan anak-anak Allah oleh Yesus Kristus dan dengan kuasa Roh Kudus yang menguduskan. Hidup orang Kristen sebagai anak-anak Allah berkembang dan mencapai kepenuhannya dalam hubungan yang mesra dengan Bapa

Kita dapat berjumpa dengan Allah dalam Sakramen Mahakudus. Betapa indahnya saat kita memandang Allah dan membiarkan Allah memandang kita. Saat-saat berada di hadapan Sakramen Mahakudus, atau ketika kita menerima Komuni, kita dipersatukan secara mesra dengan Allah

Dalam keheningan, kita dapat merasakan kebaikan, kelembutan, kekuatan, kegembiraan, damai, belaskasih, keindahan, keagungan, kasih-Nya kepada kita. Pandangan Yesus membersihkan hati kita. Cahaya wajah-Nya menyinari mata hati kita dan membiarkan kita melihat segala-galanya dalam sinar kebenaran dan belaskasih-Nya terhadap semua orang

Kontemplasi memandang misteri kehidupan Kristus dan dengan demikian memperoleh pengertian batin mengenai Tuhan untuk mencintai-Nya dan mengikuti-Nya dengan lebih baik lagi

St. Yohanes salib menggambarkan kontemplasi itu sebagai suatu perhatian penuh kasih kepada Allah. Kontemplasi berasal dari kata ‘contemplare’, yang artinya memandang. Di sini seolah-olah jiwa memandang Allah tanpa gagasan-gagasan. Memang akal budi dan kehendak juga diikutsertakan, tetapi tidak terlalu aktif, hanya membantu menyadari kehadiran Allah. Jiwa kita lebih terarah kepada Allah. Ini sekaligus merupakan aktivitas tertinggi manusia, tetapi jiwa mengalami pasivitas. 

Kita juga dapat berjumpa dengan Allah melalui Sakramen Tobat. Di hadapan Allah yang Maha segalanya, kita sadar akan kelemahan dan keterbatasan kita. Kita dibawa kepada kesadaran akan ketergantungan kita kepada-Nya. Dalam kerendahan hati kita datang kepada Allah sebagai Pencipta, Penebus, dan Pengudus. Kita memohon ampun atas segala kelalaian kita. Rahmat Allah memanggil kita untuk bertobat, menyesali dosa dan kesalahan kita, serta memohon pengampunan dan belas kasihan-Nya. Pengakuan dosa melalui Sakramen Tobat membersihkan hati kita

Doa batin ialah mendengarkan Sabda Allah. Mendengarkan ini bukanlah pasif, melainkan suatu ketaatan iman, dalamnya hamba menerima tugas tanpa syarat dan anak setuju dengan penuh cinta. Ia mengambil bagian dalam "Ya" Putera yang telah menjadi hamba, dan dalam "Fiat" hamba Tuhan yang rendah hati (KGK 2716). 

Doa batin ialah berdiam diri. Ialah "lambang dunia yang akan datang" (Ishak dari Ninive, tract. myst.66) dan "cinta kasih yang tidak banyak kata" (Yohanes dari Salib). Dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar; kata-kata adalah seumpama ranting-ranting kering yang dimakan api cinta kasih. Dalam suasana diam yang tidak dapat ditahan manusia "lahiriah", Bapa menyampaikan kepada kita Sabda-Nya yang menjadi manusia, yang menderita untuk kita, yang mati dan bangkit lagi; Roh keputeraan memungkinkan kita mengambil bagian dalam doa Yesus (KGK 2717). 

Doa adalah mengangkat hati kepada Allah, berbicara kepada-Nya dalam situasi apapun, baik dalam doa maupun hidup sehari-hari kebajikan-kebajikan teologal (iman, harapan dan cinta kasih) mempunyai tempat yang sangat penting. Bahkan, boleh dikatakan hanya kebajikan-kebajikan telogal itu yang mampu menghubungkan kita secara langsung dengan Allah

Iman adalah jawabanyakepada Allah. Beriman berarti percaya dengan segenap hati dan menyerahkan diri kepada Allah. Iman ini membawa orang kepada hubungan pribadi dengan Allah. Manusia yang beriman berusaha untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1:17). 

St. Theresia dari Liseux mengalami cobaan-cobaan berat dalam hal iman. Misalnya, ibunya meninggal dunia, kakak-kakaknya masuk biara, ayahnya menderita sakit jiwa, ia sendiri pernah menderita penyakit aneh, mengalami kegersangan dalam doa, kegelapan iman karena setan menggoda bahwa tidak ada sorga, dan penderitaan dari sesama suster dalam biara, penderitaan menghadapi pimpinan yang keras, penderitaan karena penyakit fisik yang dideritanya. 

Dalam menghadapi semuanya itu, iman dan penyerahan diri Theresia semakin berkembang kepada Allah. Harapan Theresia dikuatkan karena dia merindukan keabadian, dia merindukan sorga. Untuk mencapai sorga, orang harus banyak menyangkal diri. Penderitaan dan kurban-kurban ditanggung dengan sabar dan penuh cinta oleh Theresia, sebab penderitaan di dunia ini tidak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan yang disediakan Allah bagi mereka yang mengasihi Dia (Rm 1:18). Theresia Lisieux juga berkembang dalam cintakasih kepada Allah dan sesama, sebab dia menyadari panggilannya adalah cintakasih

Melalui kebajikan iman, harapan, dan cintakasih, St. Theresia Lisieux mencapai persatuan dengan Allah. St. Yohanes Salib, hidup dalam iman, harapan dan cintakasih berarti berjalan dalam suatu kegelapan. Iman adalah kegelapan, dan berjalan dalam pengharapan juga adalah kegelapan. St. Gregorius dari Nyssa mengungkapkan hal yang hampir sama, hanya dia mengungkapkannya dengan kata-kata paradoks, “Allah berdiam dalam awan gelap yang maha cerah.” Paradoks-paradoks seperti ini hanya bisa dijangkau lewat kebajikan-kebajikan teologal saja. 

Tuhanlah yang de facto karena belas-kasih-Nya menyesuaikan diri dengan kondisi kita. Melalui iman, sebetulnya Ia sedikit meredam kecerahan cahaya-Nya sendiri. Sebab, kalau orang melihat terang Allah, dia bisa menjadi buta. Dia membawa kita melalui dorongan-dorongan kasih kepada-Nya karena hati kita lemah dan perlu waktu lama untuk perlahan-lahan dikuatkan supaya kita menerima curahan cinta-Nya. Kalau langsung, manusia tidak akan tahan dan bisa mati. Jadi, hanya diberikan sedikit demi sedikit sehingga lama-lama bisa menerima lebih banyak

Perlahan-lahan juga iman akan berkembang dan bersatu dengan cintakasih. Dan, menurut St. Ignatius dari Antiokia, “Persatuan iman dan cintakasih itulah Tuhan.” Artinya, bila orang didorong cinta yang diterangi iman maka dia akan menemukan Allah sendiri

Di kemudian hari, St. Yohanes Salib juga mengatakan bahwa untuk mendaki gunung Tuhan, orang harus ganti baju. Istilahnya ‘menyamar’. Dalam bukunya Mendaki Gunung Karmel, ia menegaskan bahwa supaya jiwa dapat mendaki gunung itu, ia harus berganti pakaian. Itu melambangkan perubahan cara ada yang mendalam. Dia harus menerima suatu cara untuk mengerti Allah di dalam Allah dan meninggalkan cara lama tentang pengertian yang berasal dari manusia sendiri. 

Demikian pula, dia harus memakai suatu cinta yang baru tentang Allah di dalam Allah. Arrtinya, bukan lagi manusia mencintai Allah dengan cinta yang kecil, melainkan mencintai dalam Allah dengan cinta Allah sendiri.karena itu jiwa harus dilepaskan dari kelekatan-kelekatan yang lama, cara mencintai yang manusiawi itu. 

“Pendek kata, kebajikan teologal itu dipandang sebagai suatu rangkaian yang membuat manusia dapat berjalan kepada Allah, digambarkan oleh ketiga kebajikan itu dengan warna-warna. Ada tiga warna utama: putih, hijau dan merah. Putih lambang iman. Hijau lambang pengharapan. Dan merah lambang cinta kasih

Dengan memakai pakaian tiga warna ini, dia bukan saja berkenan kepada Sang Kekasih, sampai kepada Sang Sahabat, menyenangkan hati Allah, tetapi dia juga akan terlindung dari ketiga musuhnya (yaitu: dunia, daging, dan setan). Melalui itu semua dia tersembunyi dari musuh-musuhnya.” 

“Suatu malam yang gelap, aku keluar dari rumahku tanpa seorang pun yang tahu.” Di sini jiwa menyamar dengan mengenakan pakaian iman, harapan, dan kasih sehingga dia tidak dikenal oleh musuh-musuhnya. Dengan itu, jiwa bisa mendaki puncak gunung kesempurnaan dengan ringan. 

Pada St. Yohanes Salib kita juga melihat bahwa apa yang membantunya mendaki gunung itu sekaligus juga memberikan jaminan bahwa dia akan mencapai tujuannya. Di puncak Gunung Karmel, di mana terjadi persatuan dengan Allah, hanya ada iman, harapan dan kasih saja. Meskipun belum melihat Allah dari muka ke muka, tetapi toh dia sudah melihat semuanya lewat tirai yang begitu tipis, sehingga dia seolah-olah sudah melihat Allah. Semuanya menjadi jelas, sudah menjelang fajar, sehingga orang secara samar-samar melihat dunia yang akan datang. Imannya menjadi begitu cerah, meskipun belum sempurna. Pengharapannya menjadi tidak terbatas dan kasihnya pun berkobar-kobar

Inilah iman, harapan, dan cinta kasih yang mulai mengungkapkan kepada kita wajah Tuhan sendiri dengan cara yang hidup. Walaupun belum melihat kemuliaan Allah secara penuh, itu saja sudah begitu membahagiakan. Apalagi kalau nanti orang boleh melihat Dia dari muka ke muka. 

(Sumber: Hidup dalam Roh Juli-Agustus 2010 Tahun XIV, Sr. Maria Yoanita, P.Karm) 


Selasa, 26 Mei 2020

Santa Elisabeth dari Trinitas



Zaman kita saat ini ditandai dengan banyaknya orang yang semakin mabuk materi, harta, kekuasaan dan kenikmatan. Mereka lupa pada Tuhan dan memutlakkan hidup di dunia ini. Namun kalau dicermati secara mendalam, tidak sedikit pula orang yang mencari dan mengejar harta surgawi. Banyak orang masuk kedalam alam keheningan hati mereka untuk bersemuka dengan Tuhan Sang Pencipta. 

Dari abad ke abad para ahli hidup rohani terpesona oleh Sang Mempelai yang hadir dalam lubuk terdalam hati mereka. Di sana mereka menemukan Sang Mempelai dan memandang keindahan-Nya. 

Tulisan ini bermaksud memperkenalkan spiritualitas Santa Elisabeth dari Trinitas yang telah mencapai persatuan mistik melalui keterpusatannya kepada Allah Tritunggal yang hadir dalam lubuk hatinya. Inti spiritualitas Elisabeth berpusat pada kehadiran Allah Tritunggal dalam lubuk hati manusia (Inhabitasi Allah Tritunggal).

Latar Belakang Spiritualitas Elisabeth

Sebagaimana para kudus, Elisabeth menjadikan Injil sebagai pusat hidupnya. Ia senantiasa merenungkannya dalam kesunyian dan keheningan Karmel. Seperti dikatakan dalam Regula Karmel: “setiap orang harus tinggal dalam pondoknya, siang-malam berjaga-jaga dalam doa dan merenungkan hukum Tuhan.” 

Dalam kesunyian dan keheningan itulah, Elisabeth menemukan makna terdalam dari Injil dan menghayatinya dalam kesehariannya di Karmel. Melalui Injil, Elisabeth sampai pada pengertian mendalam mengenai hakikat panggilan setiap orang Kristen, yaitu bersatu dengan Allah. Persatuan akan terjadi kalau seseorang tenggelam dalam jiwanya dan “berada sendirian dengan Yang Sendirian” (alone with The Alone).

Pengalaman Elisabeth akan misteri inhabitasi Allah Tritunggal yang dihayati secara mendalam dalam hidupnya didasarkan pada Kitab Suci. Untuk mendasari spritualitasnya, ia selalu kembali ke Kitab Suci sebagai referensi utamanya. Berulangkali ia mengutip Injil Yohanes dan surat-surat apostoliknya. Juga dijumpai di sana-sini dalam tulisannya ayat-ayat yang diambil dari surat-surat rasul Paulus yang kaya akan nilai teologis.

Sebagai seorang Karmelites, Elisabeth mewarisi kekayaan spritualitas Karmel yang diwariskan oleh para pendahulunya, yaitu Theresa Avila dan Yohanes Salib. Kedua tokoh Spanyol ini, begitu besar pengaruhnya terhadap perkembangan hidup rohani Elisabeth. 

Mengikuti teladan Teresa Avila, Karmelites muda ini berkali-kali berbicara tentang lubuk jiwa sebagai tempat di mana Allah bersemayam (buku Puri Batin). Dalam lubuk jiwa manusia Sang Baginda (Tuhan) bersemayam laksana seorang raja agung menanti kedatangan mempelai wanita (manusia). 

Teladan Yohanes Salib yang mengatakan bahwa persatuan yang mengubah itu (unio-transforman) tercapai di dalam lubuk terdalam dari jiwa seseorang melalui kematian dan penyangkalan diri

Elisabeth mengarahkan seluruh hidupnya kepada persatuan dengan ketiga pribadi ilahi di dalam keheningan dan keterpusatan jiwanya. Dalam keheningan Karmel – yang disebutnya sebagai surga – Elisabeth melewati seluruh tahapan kematian, penyangkalan diri dan kesunyian batin untuk menenggelamkan dirinya di dalam suatu persatuan cinta kasih dengan Allah Tritunggal yang dikasihinya. 

Menanggapi rahmat yang luar biasa ini, Elisabeth akhirnya melihat panggilannya dalam Gereja, seperti yang dikatakan dalam salah satu suratnya: “tampak bagiku bahwa kelak di dalam surga misiku adalah menarik jiwa-jiwa, yakni dengan menolong mereka keluar dari diri mereka sendiri untuk kemudian terpaut pada Allah lewat suatu gerakan yang penuh kasih dan sangat sederhana, dan membantu mereka untuk tetap tinggal dalam keheningan batin yang besar yang memberikan keleluasaan bagi Allah untuk menyatakan dirinya sendiri kepada mereka dan untuk mengubah mereka menjadi diri-Nya sendiri.” 

Sekali lagi di sini tampak begitu besarnya pengaruh Yohanes Salib terutama tentang persatuan Transforman (persatuan yang mengubah) di mana dalam persatuan itu “jiwa menjadi lebih Allah dari pada jiwa”, sehingga benarlah apa yang diserukan oleh Santo Paulus, “aku hidup, tetapi bukan aku lagi yang hidup tetapi Allah yang hidup di dalam Aku” (Gal 2:20).

Rumah Kediaman Allah

Elisabeth dipanggil sesuai dengan arti namanya yaitu “Rumah Kediaman Allah.” Sesungguhnya panggilan ini merupakan panggilan semua orang Kristen. Dasarnya terdapat dalam surat rasul Paulus “Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam dalam kamu” (1Kor 3:16). Atau “kita adalah bait Allah” (2 Kor 6:16). 

Setiap orang Kristen karena rahmat pembaptisan telah dijadikan Allah sebagai bait-Nya yang kudus; tempat kediaman-Nya. Oleh karena itu, setiap orang kristen merupakan “rumah kediaman Allah.” 

Elisabeth menulis tentang arti namanya ini sebagai berikut :

“Jiwaku telah menjadi bait kediaman-Nya, menjadi harta milik-Nya dan menjadi kerajaan-Nya. Aku terus hanya berpikir untuk menyerahkan hidupku bagi Allah, untuk melakukan beberapa balas jasa kecil bagi cinta kasih yang besar yang diberikan kekasihku dalam perayaan Ekaristi.” 

Selanjutnya ia menulis:

“Aku telah menjadi milik Allah seluruhnya. Di tengah pelbagai pesta dan perjumpaan dengan orang-orang, aku tetap terpesona pada Guruku … Bagiku, tampaknya tidak ada sesuatu pun dapat melanturkan seseorang dari Dia, bila orang itu bertindak hanya untuk Dia, selalu di dalam hadirat-Nya yang kudus, selalu berada di bawah pandangan ilahi yang menembus sampai ke lubuk jiwa. Bahkan di tengah-tengah dunia ini tetaplah mungkin bagi kita untuk dapat mendengar Dia yaitu melalui keheningan sebuah hati yang merindukan untuk hidup hanya sendiri bersama dengan Dia.”

Untuk merasakan kehadiran Allah dalam jiwa kita, maka syarat mutlaknya keheningan sebuah hati. Melalui keheningan, orang Kristen dapat mendengar bisikan kasih Allah yang mengkomunikasikan diri-Nya. Elia di Gunung Horeb dapat merasakan kehadiran Allah dalam “angin sepoi-sepoi basah” (lambang keheningan).

Dipanggil kepada kekudusan

Konsili Vatikan II merumuskan hakikat panggilan setiap orang kristen dengan mengatakan:

“Makna luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mula manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup karena ia diciptakan oleh Allah dan tetap lestari hidup berkat cinta kasih-Nya (GS 19). 

Antara panggilan kepada kekudusan – yang berpuncak pada persatuan dengan Allah – dan cinta kasih tidak dapat dipisahkan. Hakikat kekudusan adalah mencapai persatuan cinta kasih dengan Sang Cinta. Tetapi “bukan kita yang mengasihi Allah tetapi Allah yang mengasihi kita” (1Yoh 4:10). 

Lebih lanjut Yohanes mengatakan, “karena begitu besar kasih Allah akan dunia sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal” (Yoh 3:16). 

Santo Paulus mengatakan bahwa “cinta Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus yang diberikan kepada kita” (Rm 5:5). 

Jadi gerakan cinta kasih pertama-tama berasal dari Allah melalui Putera-Nya dan setiap orang Kristen dipanggil untuk memasuki aliran cinta kasih Allah itu. 

Elisabeth begitu terpesona oleh panggilan yang begitu luhur ini, bahwa sejak semula manusia berada dalam rencana Allah untuk memasuki persekutuan dengan-Nya. Melalui Yesus Kristus, Allah mengangkat kita menjadi putera-puteri-Nya. “Dalam kasih Allah telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya” (Ef 1:5). 

Menurut Elisabeth hal ini membawa kita kepada “lembah kemuliaan yang mendalam bahwa Allah telah menciptakan kita seturut gambaran dan keserupaan-Nya.” 

Kata-kata Paulus dalam Rm 8:28-30 dipahami Elisabeth sebagai panggilan setiap individu tidak lain daripada suatu pemenuhan takdir sejak semula atau pemenuhan pilihan Allah: “Mereka yang ditentukan-Nya dari semula” (Rm 8:30a).

Bukankah kita adalah bagian dari bilangan mereka?...Ya kita memasuki bilangan mereka. Kita telah menjadi milik Allah melalui pembaptisan, hal inilah yang dimaksudkan Santo Paulus melalui perkataan ini: “mereka dipanggil-Nya.” Kita memang dipanggil untuk menerima meterai Roh Kudus. 

Selanjutnya Ia telah membenarkan kita melalui sakramen-Nya, melalui sentuhan yang langsung dalam kontemplasi kita “di dalam lubuk jiwa kita yang terdalam.” Dan akhirnya Ia pun berkenan memuliakan kita, tetapi kita akan dimuliakan-Nya seturut seberapa besar kita telah dijadikan serupa dengan gambaran Anak-Nya yang kudus.” “Betapa kayanya kita di dalam kasih karunia Allah” kata Elisabeth,

“Kita telah ditentukan sejak semula untuk menerima adopsi ilahi menjadi anak-anak Allah, di mana karenanya kita menjadi ahli-ahli waris dari kekayaan kemuliaan-Nya! Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya” (Ef 1:4). 

Kita telah ditentukan dari semula melalui pengangkatan kodrat insani kita untuk mengambil bagian dalam citra Allah. Akan tetapi, pengangkatan kodrat ini tidak mengubah atau menghancurkan kodrat insani melainkan menyempurnakannya. Seperti dikatakan oleh Santo Agustinus: “Rahmat tidak menghancurkan kodrat tetapi menyempurnakannya.” 

Akan tetapi bagi Elisabeth, pengangkatan kodrat ini sama sekali tidak meniadakan perjuangan. Ingat bahwa Elisabeth adalah murid Yohanes Salib yang mengajarkan bahwa untuk mencapai persatuan dengan Allah orang harus berjalan dalam kekosongan dan penyangkalan diri; “nada, nada, nada atau kosong, kosong, kosong.” Seperti yang ditulis Elisabeth, 

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rm 8:29). Hal ini yang tengah aku coba tanamkan pada diriku: menjadi serupa dan identik dengan Guruku yang kupuja, yang disalibkan demi kasih! Barulah kemudian aku akan mampu memenuhi tugasku untuk menjadi suatu pujian bagi kemuliaan Allah (Laudem Gloriae)."

Atau seperti yang dikatakan dalam salah satu suratnya:

“Aku tidak tahu lagi apa pun juga, dan memang aku tidak mau tahu apa pun lagi selain dari pada “untuk mengenal Dia dan ikut merasakan penderitaan-Nya untuk menjadi serupa dengan Kristus di dalam kematian-Nya (Fil 3:10), serupa dengan Kristus yang disalibkan oleh karena cinta kasih-Nya. Bila aku benar-benar menjadi serupa dengan Sang Teladan ilahi ini, bila aku telah seutuhnya hidup di dalam Dia dan Dia di dalam aku maka aku akan memenuhi panggilanku yang abadi yaitu menjadi seorang yang baginya “Allah telah memilih aku di dalam Dia (Ef 1:4), sejak semula aku akan terus menjadi seperti orang yang diingini Allah untuk selama-lamanya dan bila aku terbenam sepenuhnya di dalam kekerabatan mesra dengan Allah Tritunggalku, maka aku pun akan menjadi pujian yang tak berkesudahan bagi kemuliaan-Nya.”


Inhabitasi Allah Tritunggal

Kehadiran Allah dalam lubuk terdalam hati manusia adalah kehadiran ketiga pribadi ilahi sekaligus. Doktrin kristen mengatakan, “Allah adalah satu dalam substansi dan tiga dalam pribadi. Allah itu satu sekaligus tiga. Kesatuan ini tak terpisahkan.” Kehadiran ini merupakan kehadiran secara roh, sebab Allah adalah roh. Maka hanya iman sajalah yang dapat menyelami kehadiran ini. Iman itu ibarat kendaraan yang menghantar jiwa memasuki hadirat ilahi. Maka kalau Allah hadir dalam lubuk terdalam hati manusia dan manusia adalah rumah kediaman-Nya, hal itu dipahami sebagai kehadiran Allah dalam keutahan trinitarian-Nya.

Elisabeth menulis “Bapa bersemayam dalam hati kita. Siang-malam Ia menundukan diri dengan cinta kasih untuk membagikan kehidupan ilahi-Nya kepada kita. Ia menghendaki kita menjadi orang-orang yang bersemangat rohani yang dapat memancarkan Dia.” “Tinggallah di dalam Aku sama seperti Aku dalam Bapa.” Bagi Elisabeth merupakan suatu ajakan untuk menjalin relasi pribadi menuju persatuan dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hati manusia. Karena itu ia menulis:

"Allah Tritunggal Mahakudus selanjutnya adalah kediaman kita, rumah kita, tempat tinggal Bapa kita, yang sebaiknya tidak pernah kita tinggalkan…Oleh sebab itu, kita setiap hari sebaiknya turun melalui jalan ini untuk memasuki lembah yang amat dalam yang adalah Allah sendiri. Biarlah kita bergulir dengan bebas kepada kedalaman lembah ini dengan kepercayaan yang penuh kasih. Di sanalah tenggelam sampai ke lubuknya yang terdalam, di mana lembah mendalam dari ketiadaan diri kita akan menemukan dirinya berhadapan dari muka ke muka, dengan kedalaman kerahiman Allah, dengan kebesaran atau kemahakuasaan Allah semesta alam."

Dengan memasuki relasi kasih ini, maka kita ambil bagian dalam kehidupan Allah dan dibawa masuk ke dalam inti terdalam dari misteri Allah Tritunggal. Kalau kita membiarkan Allah menguasai ada kita, maka kita akan memancarkan kehidupan keilahian Allah Tritunggal. Karena Allah tinggal dalam lubuk terdalam hati kita, maka doa-Nya adalah doa kita juga (bdk. Rm 8:26). 

“Aku berharap dapat terus merasakan hal ini, untuk terus menjadikan diriku sendiri sebagai buyung air yang kecil dekat sumber air, pada air mancur kehidupan, supaya aku kemudian sanggup memberikan Dia kepada jiwa-jiwa, yaitu dengan membiarkan air dari cinta kasih-Nya meluap keluar melalui aku.”

Relasi dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hati kita akhirnya memiliki nilai apostolik yang membawa orang kepada relasi yang sama dengan Allah. 
Inhabitasi Allah Tritunggal memiliki efek yang besar bagi perkembangan hidup rohani. Bagi Elisabeth efek pertama kehadiran ini adalah tindakan yang total untuk melupakan diri sendiri; suatu kelepasan sempurna yang disertai pengasingan diri tertentu yang bukan lagi bersifat manusiawi belaka melainkan menyerap seluruh ada kita. Seperti terdapat dalam salah satu tulisannya:

“Semoga tahta cinta kasih-Nya berakar secara penuh dalam kerajaan batinmu dan semoga kebesaran cinta-Nya itu menarikmu untuk semakin melupakan dirimu secara penuh. Berbahagialah jiwa yang telah mencapai kelepasan sempurna seperti ini.”

Perbuatan melupakan diri sendiri dalam cinta kasih manjadikan kita bersatu dengan Allah. Hal ini merupakan sumber sukacita, kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkatakan. Pengalaman ini merupakan prarasa kehidupan abadi di mana kita dapat memandang Allah dari muka ke muka. Karena itu para kudus mengatakan bahwa pengalaman persatuan dengan Allah itu dapat dicapai manusia semenjak ia berada di dunia ini. Surga adalah kepenuhan persatuan ini dan buahnya adalah kebahagiaan yang tak terlukiskan. Maka efek selanjutnya dari kehadiran Allah ini adalah sukacita. Atau mengalami pengalaman surgawi semenjak di dunia ini. Inilah yang dimaksud dalam Regula Karmel ketika dikatakan, tujuan hidup ini adalah “mengalami dalam roh kuasa kehadiran Allah dan kemanisan kemuliaan surgawi bukan saja sesudah mati namun sudah sejak hidup di dunia ini.”


Kesimpulan

Kehidupan mistik Elisabeth mengajak semua umat beriman untuk kembali ke dalam lubuk terdalam hatinya. Allah tidak jauh dari manusia. Ia bersemayam dalam hati kita. Melalui keterpusatan hati akan kahadiran Allah Tritunggal manusia menemukan Dia yang bertahta dengan mulia. Elisabeth menyadarkan segenap orang kristen akan makna panggilannya yaitu mencapai persatuan dengan Allah yang hadir dalam lubuk terdalam hatinya.

(Sumber: Mengenal Spiritualitas Santa Elisabeth dari Trinitas, www.carmelia.net)

Sabtu, 23 Mei 2020

Kita mampu melayani dengan tulus apabila ada damai sejahtera dan sukacita di hati kita



Paulus datang juga ke Derbe dan ke Listra. Di situ ada seorang murid bernama Timotius; ibunya adalah seorang Yahudi dan telah menjadi percaya, sedangkan ayahnya seorang Yunani. Timotius ini dikenal baik oleh saudara-saudara di Listra dan di Ikonium, dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani. 

Dalam perjalanan keliling dari kota ke kota Paulus dan Silas menyampaikan keputusan-keputusan yang diambil para rasul dan para penatua di Yerusalem dengan pesan, supaya jemaat-jemaat menurutinya. Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama makin bertambah besar jumlahnya. 

Mereka melintasi tanah Frigia dan tanah Galatia, karena Roh Kudus mencegah mereka untuk memberitakan Injil di Asia. Dan setibanya di Misia mereka mencoba masuk ke daerah Bitinia, tetapi Roh Kudus tidak mengizinkan mereka. Setelah melintasi Misia, mereka sampai di Troas. 

Pada malam harinya tampaklah oleh Paulus suatu penglihatan: ada seorang Makedonia berdiri di situ dan berseru kepadanya, katanya: "Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!" Setelah Paulus melihat penglihatan itu, segeralah kami mencari kesempatan untuk berangkat ke Makedonia, karena dari penglihatan itu kami menarik kesimpulan, bahwa Allah telah memanggil kami untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sana (Kis 16:1-10). 


Sejak dibaptis, kita adalah kawan sekerja Allah (1 Kor 3:9). Ketika kita diutus menjadi kawan sekerja Allah, Allah juga memberikan teman sekerja untuk Kerajaan Allah (Kol 4:11) yang kelihatan. 

Oleh karena itu Tuhan mengutus kita berdua-dua (Mrk 6:7) untuk melayani-Nya. Adapun tujuannya ialah kalau ada yang jatuh, yang seorang dapat mengangkat temannya (Pkh 4:9-10). Jadi, kita perlu bekerja sama dengan orang lain yang mempunyai beban dan iman yang sama. 

Kita seringkali mendengar tentang Kerajaan Allah, namun kita tidak tahu definisinya. Mari kita tengok sejenak di Kamus Alkitab dan Kitab Suci 

I. Kamus Alkitab » Kerajaan Allah artinya Allah sendiri yang tampil sebagai Raja dalam kemuliaan dan keperkasaan untuk menyelamatkan dan memberi perlindungan untuk membebaskan dunia secara total dari kuasa kejahatan, bukan untuk menghukum atau membalas (Mzm 145:11-13; Rm 5:14-15; 1 Tim 1:15; Yoh 3:16-17). 

II. 1 Kor 4:20 » Kerajaan Allah bukan terdiri dari perkataan, tetapi dari kuasa

Kapan kita menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kita (Kis 1:8). Kapan Roh Kudus dikaruniakan pada kita? Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia (Yoh 14:23). Pada saat kita mentaati Dia (Kis 5:32). 

Jadi, karunia Roh Kudus dibagi-bagikan-Nya menurut kehendak-Nya (Ibr 2:4). Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh (Mrk 16:17-18). 

III. Rm 14:17 » Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal (C) kebenaran, (B) damai sejahtera dan (A) sukacita oleh Roh Kudus

(IIIA) Mother Teresa mengatakan bahwa: Sukacita itu buah Roh Kudus (Gal 5:22) dan tanda yang jelas bahwa Kerajaan Allah ada di dalam kita (Rm 14:17). Sukacita datang dari (1) kemurahan hati (2) penyangkalan diri (3) kesatuan yang mendalam dengan Allah

(IIIA1) kemurahan hati » tanda orang yang bermurah hati: tidak menghakimi, tidak menghukum, mau mengampuni dan mau memberi (Luk 6:36-38). 

(IIIA2) penyangkalan diri » seseorang baru bisa melakukan penyangkalan diri (Luk 9:23 » menyangkal diri, memikul salib setiap hari dan mengikuti-Nya) apabila telah memperoleh damai sejahtera yang berasal dari Allah (Yoh 14:27). 

(IIIB) Bagamana caranya untuk mendapatkan damai yang berasal dari Allah? Jika kita hidup dalam kebenaran (Mat 5:37 » Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat). 

Ketika kita mengetahui kebenaran, kebenaran itu akan memerdekakan kita (Yoh 8:32). Jadi, di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya (Yes 32:17). 

Berkat damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal (Flp 4:7) inilah yang memampukan kita untuk melakukan kehendak-Nya, hidup berpadanan dengan Injil Kristus (Flp 1:27) (Tit 3:1-2 » tunduk pada pemerintah (Rm 13:1) dan orang-orang yang berkuasa (Ef 5:22-24), taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik (Ef 2:10), selalu ramah dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang (Luk 6:36-38 » bermurah hati dengan cara tidak menghakimi, tidak menghukum, mau mengampuni dan mau memberi). 

(IIIC) Kata Pilatus kepada-Nya: "Apakah kebenaran itu? (Yoh 18:38a). Kata Yesus kepadanya: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh 14:6). 

Dasar pernyataan ini: Firman itu adalah Allah. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita (Yoh 1:1, 14). Jadi, Firman kebenaran yaitu Injil keselamatan (Ef 1:13; Kol 1:5; Yoh 17:17; Mzm 119:160). 

Perkataan Tuhan kita Yesus Kristus adalah perkataan sehat (1 Tim 6:3). Jika kita berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, maka kita akan sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentang kita (Tit 1:9). 

(IIIA3) kesatuan yang mendalam dengan Allah » Jika seorang mengasihi Allah, ia akan menuruti firman-Nya. Janji-Nya: dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia (Yoh 14:23). Jadi, pada saat kita mentaati Dia (Kis 5:32), tubuh kita adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kita (1 Kor 6:19). 

Jadi, kita punya teman sekerja yang tidak kelihatan, yaitu Roh Kudus, Ia akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita dan akan mengingatkan kita akan semua yang telah Yesus katakan kepada kita (Yoh 14:26), Ia juga memberitakan hal-hal yang akan datang (Yoh 16:13). 

Oleh karena itu, kita harus peka dalam melakukan setiap pelayanan yang sudah kita pikirkan dan rencanakan dengan baik. Sekiranya rencana kita tidak sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan maka kita harus rela untuk menunda atau merubah rencana kita untuk disesuaikan dengan rencana Tuhan yang pasti lebih baik dan sempurna (Yes. 55:8-9). 

Paulus adalah kawan sekerja Allah (Kis 9:15). Timotius dan Silas adalah teman sekerja untuk Kerajaan Allah bagi Paulus (Kis 16:1-10). Demikian pula dengan saya, saya diutus oleh-Nya dan saya pun mempunyai teman sekerja untuk Kerajaan Allah. Tujuan mempunyai teman sekerja untuk Kerajaan Allah: saling mendoakan dan saling berbagi pengalaman rohani (Flp 4:3). 

Ketika saya ke rumah P, tiba-tiba P berkata: "Aku mendapat hikmat kamu harus makan empedu ikan." Keesokan harinya saya makan empedu ikan karena saya yakin bahwa empedu ikan itu dapat menyembuhkan mata saya yang sedang sakit. 

Sungguh luar biasa hasilnya, setelah saya makan, tubuh saya terasa lentur kembali, otot-otot yang kaku menjadi normal kembali. Cairan empedu yang tercecer di piring kecil, saya oleskan juga di kelopak mata, mata saya langsung terasa nyaman, tidak terasa tegang lagi. 

Sebelum makan empedu ikan tersebut saya berdoa dan mendapatkan hikmat agar memberikan "jantung dan hati ikan" tersebut ke teman saya (S) yang sedang sakit herpes dan tidak sembuh-sembuh meskipun sudah berobat ke berbagai dokter. 

Saya langsung meluncur ke rumahnya memberikan "jantung dan hati ikan" tersebut. S berdoa sambil membakar jantung dan hati ikan tersebut. Karena baunya harum, kucing-kucing yang berada di rumahnya berisik. Karena doanya tidak khusuk maka S tidak mengalami kesembuhan secara sempurna. 

Jadi, empedu, jantung dan hati ikan adalah obat mujarab. Empedu diurapkan pada orang yang matanya kena bintik-bintik putih, niscaya bintik-bintik itupun hanya tinggal ditiupi saja lalu sembuh pulalah orang itu. Jantung dan hati ikan diasapkan di depan laki-laki atau perempuan yang kerasukan setan atau roh jahat. Lalu segenap gangguan lenyap dari padanya dan tidak tinggal lagi padanya untuk selama-lamanya (Tob 6:4, 8-9). Namun, harus diingat bahwa “tidak semua adalah baik bagi setiap orang” (Sir 37:28). 

Ketika saya ke rumah P, tiba-tiba P berkata: "Besok kamu harus ke Misa Pagi. Sesudah misa kamu minta berkat pada pastornya, siapapun dia kamu harus minta berkat khusus." Saya melaksanakan apa yang dikatakan oleh Bu Phang. Sesudah misa, saya kejar pastornya dan meminta berkat padanya. Sungguh luar biasa, seluruh tubuh saya yang sakit dipulihkannya seperti sediakala. 

Pada hari Jumat saya hendak menghadiri sebuah pemberkatan ruko. Di tengah jalan, saya melihat rombongan orang lingkungan yang berjalan kaki. Salah satu diantara mereka, ada seorang anak yang berjalan aneh, kakinya meliuk-liuk dalam pandangan saya Sesampainya di ruko yang dituju, saya bertanya pada anak tersebut (X): "Apakah kamu jatuh?" Jawabnya: "Tidak." 

Keesokan harinya, saya menitipkan anak saya pada M, karena saya harus hadir pada kursus teologi. Di tempat M saya berjumpa lagi dengan X, dia dalam keadaan panas badannya. Berbekal teori yang ada, saya memijat X. Puji Tuhan, panas X dapat turun. 

Namun, tangan kiri saya tidak dapat digerakkan seperti stoke. Meskipun keadaan tangan saya seperti itu, saya masih dimampukan menggendong anak saya yang masih berumur dua tahun sambil menyetir sepeda motor meluncur ke rumah D untuk minta dukungan doa. Sesudah didoakan saya juga diberi minyak urapan untuk dioleskan pada tangan kiri saya. Puji Tuhan, dalam waktu tiga hari tangan kiri saya disembuhkan oleh-Nya. Dengan berjalannya waktu saya baru tahu bahwa kelahiran X karena memintanya pada orang pintar. 

Hal ini saya ceritakan pada teman sekerja lainnya yang biasa melayani doa pelepasan. Dia lalu memberitahukan pada saya cara melayani yang benar. Maklumlah, waktu itu saya belum mengerti bahwa si jahat tidak senang jika ada anak Tuhan yang diselamatkan. Oleh karena itu janganlah tinggalkan persekutuan. Karena melalui persekutuan kita memperoleh kekuatan dan peneguhan. 

Dari pengalaman di atas, saya sungguh bersyukur karena berada di dalam persekutuan dengan Gereja Katolik. Karena ajaran Gereja Katolik menjawab pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup saya (II). Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika saya punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan, menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang mendirikan-Nya. 

Sakramen tidak dilaksanakan oleh kesucian manusia yang memberi atau menerima (Sakramen), tetapi oleh kekuasaan Allah (Tomas Aqu, s.th, 3, 68, 8). Pada saat Sakramen dirayakan sesuai dengan maksud Gereja, bekerjalah di dalam dia dan oleh dia kekuasaan Kristus dan Roh-Nya, tidak bergantung pada kekudusan pribadi pemberi. buah-buah Sakramen juga bergantung pada sikap hati orang yang menerimanya (KGK 1128). 

Pada dasarnya Kristus sendiri yang mendatangkan keselamatan dengan perantaraan pelayan yang ditahbis dan bekerja melalui dia. Ketidaklayakannya tidak dapat menghalang-halangi Kristus untuk bertindak (KGK 1584). 

Saya juga bersyukur dipanggil Tuhan dalam sebuah grup Pujian Penyembahan melalui Line voice call. Melalui grup ini saya bisa belajar memuji dan menyembah Tuhan, caranya sederhana: teks lagu saya copas dan saya kirimkan ke HP yang lainnya, lalu saya mengikuti lagu yang dinyanyikan. Bahkan saya juga pernah mengalami kuasa penyembuhan, saat saya meng-iman-i Sabda Pengetahuan bahwa Tuhan menjamah lutut saya (II). 

Marilah kita mengejar kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus sehingga kita dimampukan melakukan tugas perutusan sesuai dengan kehendak-Nya. 

(Sumber: Renungan GPM, Suliani).

Jumat, 22 Mei 2020

Pujian dan penyembahan dapat mengusir kekuatiran dan ketakutan

Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? ... Kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku (Mzm 13:2-6). 


Sejak daerah Rungkut mulai ada yang positif Corona, mulai timbul perasaan kuatir dan ketakutan dalam pikiran saya, saya takut bertamu atau menerima tamu di rumah, takut belanja atau membeli makanan diluar. Lama-kelamaan saya merasa bosan dan stres dengan keadaan ini. 

Pada saat doa malam bersama keluarga, saya ungkapkan perasaan saya. Lalu saya juga menceritakan tentang video di WA dan artikel tentang orang-orang yang terjangkit Corona dan melawannya dengan pujian dan penyembahan. Saat saya sharing, tiba-tiba terlintas sebuah ayat Kitab Suci di pikiran saya (Yoh 20:29 » Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya). Seketika itu juga saya merasa malu dan sangat berdosa karena saya mengalami krisis iman, iman saya masih menuntut bukti-bukti dari Tuhan. Oleh karena itu sesudah selesai doa malam bersama keluarga, saya melakukan pujian penyembahan seorang diri. 

Keesokan hari, kami sekeluarga melakukan doa bersama seperti biasanya. Sebelum membaca firman, kami melakukan pujian dan penyembahan. Sungguh luar biasa, pada saat saya melakukan pujian penyembahan tersebut, perasaan kuatir dan takut saya diangkat oleh-Nya. Perasaan negatif itu digantikan oleh-Nya dengan perasaan damai dan sukacita. 

Pada saat mendengarkan bacaan Injil tentang Tomas (Yoh 20:19-31) melalui Misa Online atau Live Streaming, air mata saya menetes tiada hentinya karena saya merasakan kehadiran-Nya. Sejak merayakan Paskah tersebut, iman saya dibangkitkan oleh-Nya. Memang secara fisik saya tidak berjumpa dengan-Nya, tetapi saya benar-benar bersukacita karena merasakan kehadiran-Nya, baik melalui Misa Online maupun saat melakukan pujian penyembahan dan membaca Kitab Suci. Sungguh Tuhan itu ada, Dia hidup dan tetap berkarya dalam hidup kita. 


(Sumber: Warta KPI TL No.. 181/V/2020).