Ada satu hal yang menjadikan hidup kita indah dan berarti, yaitu persahabatan yang mesra dengan Allah. Tanpa itu segalanya akan menjadi kosong, sebaliknya persahabatan tersebut akan menjadikan hidup kita sungguh-sungguh indah. Persahabatan ini adalah karunia Allah yang telah mengasihi kita lebih dahulu (1 Yoh 4:10).
St. Teresa Avila mendefinisikan doa sebagai suatu persahabatan dengan Allah, komunikasi dengan dua orang sahabat. Karena itu, doa tidak pernah berliku-liku, melainkan sederhana, dan akan menjadi semakin sederhana. Doa yang sederhana ini dapat menghantar kita kepada kontemplasi, yakni memandang Allah dengan penuh cinta dan kekaguman.
Dalam doa ini kita lebih banyak mencintai dari pada banyak berpikir, seperti dikatakan St. Teresa Avila, “Jika kalian ingin maju di jalan doa ini dan mencapai ruang yang dirindukan jiwamu, hal yang terpenting bukanlah banyak berpikir, melainkan banyak mencintai. Jadi, kita harus melakukan apa saja yang mendorong kita untuk mencintai.”
St. Teresa Avila mengatakan tentang kehadiran ilahi: “Ingatlah bagaimana St. Agustinus menceritakan kepada kita bahwa, setelah mencari Tuhan di mana-mana, ia menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Bukanlah soal kecil bagi kita yang sering melantur untuk memahami kebenaran ini dan menemukan bahwa untuk berbicara dengan Bapa kekal kita dan menikmati kehadiran-Nya, kita tidak perlu pergi ke sorga maupun berbicara dengan suara keras. Bisikan yang paling halus pun terdengar. Dia begitu dekat. Kita tidak perlu sayap untuk mencari-Nya. Kita hanya harus tinggal sendirian dan memandang Dia yang hadir di dalam kita. Kita harus berbicara kepada-Nya dengan sangat rendah hati, meminta kepada-Nya yang kita butuhkan seperti kita meminta kepada seorang ayah, menceritakan kepada-Nya masalah-masalah kita, dan memohon Dia menyelesaikannya. Siapa yang dapat menutup diri seperti ini dalam sorga kecil jiwanya, di mana tinggal Pencipta sorga dan bumi, dan telah membangun kebiasaan untuk tidak melihat apa pun atau tinggal di mana pun yang dapat mengalihkan perhatian mereka, boleh merasa yakin bahwa mereka sedang berjalan di jalan yang sangat tepat dan tidak akan gagal meminum air kehidupan.”
Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan hidup di hadirat Allah? Hidup di hadirat Allah berarti senantiasa menyadari kehadiran Allah, berusaha mengarahkan hati dan pikiran selalu kepada Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Beata Elisabeth dari Trinitas, hati kita adalah tempat kediaman Allah Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Kapan pun dan di mana pun, Ia tidak pernah meninggalkan kita. Beata Elisabeth dari Trinitas ini mencapai kekudusannya dengan jalan senantiasa menyadari kehadiran Allah yang bersemayan di hatinya.
Beata Elisabeth dari Trinitas, seorang Biarawati Karmel, menjadi besar di hadapan Allah, karena dengan tekun dan serius menghayati misteri kehadiran Allah Tritunggal. Usahanya yang utama ialah senantiasa hidup dalam hadirat Allah dan menyadari kehadiran itu setiap saat dalam segala aktivitas dan karyanya sehari-hari. Ia membiarkan diri dipenuhi oleh kehadiran Allah tersebut. Ia hidup dalam persatuan dengan Allah yang selalu hadir itu dan dengan demikian menemukan sorga di dunia ini, karena sesungguhnya sorga bukan lain daripada persatuan dengan Allah dalam cintakasih (Yoh 17: 3 » Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus). Sorga ialah melihat Allah Tritunggal Mahakudus atau Trinitas dari muka ke muka (1 Kor 13:12).
Misteri Trinitas adalah misteri terbesar agama Kristen. Karena kehadiran Trinitas ini, kita menjadi kenisah Allah (Yoh 14:23; 1 Kor 6:19).
“Hidup di hadirat Allah berarti hidup dalam kesucian yang besar, “demikian ungkap Br. Laurence dari Kebangkitan, seorang Karmelit yang hidup di sekitar abad ke-16.
Jadi, setiap orang Kristen dipanggil kepada kekudusan, yaitu persatuan cinta kasih dengan Allah sendiri, maka manusia perlu menjalin hubungan pribadi dengan Allah. Allah yang telah lebih dahulu memanggil manusia untuk memasuki persekutuan dengan Dia. Dari pihak manusia dibutuhkan keterbukaan hati dan jawaban untuk menggenapi panggilan Tuhan tersebut.
Yesus merupakan teladan dalam hal ini. Yesus senantiasa hidup di hadirat Bapa dalam suatu hidup cintakasih, penyerahan diri serta pelayanan, dalam doa yang tak kunjung putus. Tuhan tidak hanya minta kepada kita untuk berdoa pada saat tertentu saja, tetapi supaya kita hidup di hadirat-Nya dalam doa yang tak kunjung putus (Luk 18:1).
Untuk menemukan Allah dan ajaran-ajaran-Nya orang diajak untuk memberikan hatinya kepada Allah. Hati adalah pusat kepribadian manusia, inti terdalam dalam manusia. Hati adalah tempat pertemuan antara Allah dan manusia.
Masalah hidup di hadirat Allah dalam doa yang tak kunjung putus itu tidak terletak pada soal tempat, pekerjaan yang dihadapi, atau soal kondisi fisik tertentu, tetapi yang menjadi soal adalah apakah orang masuk ke dalam lubuk hatinya dan menemukan Allah di dalam hati, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Jadi, hati adalah pusat manusia di mana manusia berkontak dengan sumber kehidupan, yaitu Allah sendiri.
Kita dapat berjumpa dengan Allah, sahabat jiwa kita yang paling agung, melalui doa batin, Doa Yesus, Sakramen-sakramen, Kitab Suci, dalam kehidupan sehari-hari dalam iman, harapan dan kasih.
Kita dapat hidup di hadirat Allah melalui doa batin, doa yang tak kunjung putus. “Doa batin adalah doa seorang anak Allah, doa seorang pendosa yang sudah diampuni dan yang menghendaki agar menerima cinta kasih, dengannya ia dicintai dan membalasnya dengan cinta kasih yang lebih besar lagi (Luk 7:36-50; 19:1-10). Tetapi ia mengetahui bahwa cinta kasih balasannya itu berasal dari Roh Kudus, yang mencurahkannya ke dalam hatinya. Karena segala-galanya adalah rahmat Allah. Doa batin adalah penyerahan yang rendah hati dan miskin kepada Bapa penuh cinta, dalam persatuan yang semakin dalam dengan Putera kekasih-Nya” (KGK 2712).
Untuk bisa tinggal di hadirat Allah, kita perlu melatih diri. Doa Yesus sepanjang hari adalah salah satu cara untuk dapat selalu hidup di hadirat Allah. Selain itu, kita juga bisa membiasakan diri bercakap-cakap dengan rendah hati, namun penuh cinta kepada Dia di segala waktu; terlebih saat dalam godaan, penderitaan, kekeringan, kecemasan, bahkan ketika kita tidak setia dan berdosa.
Dengan hati dan pikiran yang selalu terarah kepada Tuhan, kita membuat seluruh keberadaan kita menjadi sebuah percakapan kecil dengan Allah; suatu komunikasi yang lahir dari hati yang murni dan sederhana. Hati kita pun akan menjadi lebih lepas bebas dan damai, tidak lagi terbeban dengan berbagai masalah hidup.
“Doa batin tidak lain dari suatu pergaulan yang sangat ramah, di mana kita seringkali berbicara seorang diri dengan Dia, tentang siapa, kita tahu bahwa Ia mencintai kita” (St. Teresa Avila). Bagaimana mungkin kita dapat berdoa terus menerus? Berdoa itu sederhana, seperti bernafas.
Cara untuk tetap berhubungan dengan Allah adalah dengan cara menghirup dan menghembuskan nafas, dengan mengucapkan sebuah kata atau kalimat pendek. Misalnya “Yesus” atau “Tuhan Yesus, kasihanilah aku, orang berdosa ini”. Orang sering menyebutnya dengan doa nama atau doa Yesus. Doa Yesus ini termasuk doa batin. Doa ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Pada dasarnya seorang pendoa adalah seorang yang selalu hidup di hadirat Allah, berkomunikasi terus-menerus dengan Allah yang dicintainya melebihi segala sesuatu.
Dasar doa Yesus adalah hadir dalam hadirat Allah seperti kata Injil, “Tetapi jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:6).
Setiap orang Kristen melalui Sakramen Baptis dijadikan anak-anak Allah oleh Yesus Kristus dan dengan kuasa Roh Kudus yang menguduskan. Hidup orang Kristen sebagai anak-anak Allah berkembang dan mencapai kepenuhannya dalam hubungan yang mesra dengan Bapa.
Kita dapat berjumpa dengan Allah dalam Sakramen Mahakudus. Betapa indahnya saat kita memandang Allah dan membiarkan Allah memandang kita. Saat-saat berada di hadapan Sakramen Mahakudus, atau ketika kita menerima Komuni, kita dipersatukan secara mesra dengan Allah.
Dalam keheningan, kita dapat merasakan kebaikan, kelembutan, kekuatan, kegembiraan, damai, belaskasih, keindahan, keagungan, kasih-Nya kepada kita. Pandangan Yesus membersihkan hati kita. Cahaya wajah-Nya menyinari mata hati kita dan membiarkan kita melihat segala-galanya dalam sinar kebenaran dan belaskasih-Nya terhadap semua orang.
Kontemplasi memandang misteri kehidupan Kristus dan dengan demikian memperoleh pengertian batin mengenai Tuhan untuk mencintai-Nya dan mengikuti-Nya dengan lebih baik lagi.
St. Yohanes salib menggambarkan kontemplasi itu sebagai suatu perhatian penuh kasih kepada Allah. Kontemplasi berasal dari kata ‘contemplare’, yang artinya memandang. Di sini seolah-olah jiwa memandang Allah tanpa gagasan-gagasan. Memang akal budi dan kehendak juga diikutsertakan, tetapi tidak terlalu aktif, hanya membantu menyadari kehadiran Allah. Jiwa kita lebih terarah kepada Allah. Ini sekaligus merupakan aktivitas tertinggi manusia, tetapi jiwa mengalami pasivitas.
Kita juga dapat berjumpa dengan Allah melalui Sakramen Tobat. Di hadapan Allah yang Maha segalanya, kita sadar akan kelemahan dan keterbatasan kita. Kita dibawa kepada kesadaran akan ketergantungan kita kepada-Nya. Dalam kerendahan hati kita datang kepada Allah sebagai Pencipta, Penebus, dan Pengudus. Kita memohon ampun atas segala kelalaian kita. Rahmat Allah memanggil kita untuk bertobat, menyesali dosa dan kesalahan kita, serta memohon pengampunan dan belas kasihan-Nya. Pengakuan dosa melalui Sakramen Tobat membersihkan hati kita.
Doa batin ialah mendengarkan Sabda Allah. Mendengarkan ini bukanlah pasif, melainkan suatu ketaatan iman, dalamnya hamba menerima tugas tanpa syarat dan anak setuju dengan penuh cinta. Ia mengambil bagian dalam "Ya" Putera yang telah menjadi hamba, dan dalam "Fiat" hamba Tuhan yang rendah hati (KGK 2716).
Doa batin ialah berdiam diri. Ialah "lambang dunia yang akan datang" (Ishak dari Ninive, tract. myst.66) dan "cinta kasih yang tidak banyak kata" (Yohanes dari Salib). Dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar; kata-kata adalah seumpama ranting-ranting kering yang dimakan api cinta kasih. Dalam suasana diam yang tidak dapat ditahan manusia "lahiriah", Bapa menyampaikan kepada kita Sabda-Nya yang menjadi manusia, yang menderita untuk kita, yang mati dan bangkit lagi; Roh keputeraan memungkinkan kita mengambil bagian dalam doa Yesus (KGK 2717).
Doa adalah mengangkat hati kepada Allah, berbicara kepada-Nya dalam situasi apapun, baik dalam doa maupun hidup sehari-hari kebajikan-kebajikan teologal (iman, harapan dan cinta kasih) mempunyai tempat yang sangat penting. Bahkan, boleh dikatakan hanya kebajikan-kebajikan telogal itu yang mampu menghubungkan kita secara langsung dengan Allah.
Iman adalah jawaban “ya” kepada Allah. Beriman berarti percaya dengan segenap hati dan menyerahkan diri kepada Allah. Iman ini membawa orang kepada hubungan pribadi dengan Allah. Manusia yang beriman berusaha untuk mengenal dan melaksanakan kehendak Allah. “Orang benar akan hidup oleh iman” (Rm 1:17).
St. Theresia dari Liseux mengalami cobaan-cobaan berat dalam hal iman. Misalnya, ibunya meninggal dunia, kakak-kakaknya masuk biara, ayahnya menderita sakit jiwa, ia sendiri pernah menderita penyakit aneh, mengalami kegersangan dalam doa, kegelapan iman karena setan menggoda bahwa tidak ada sorga, dan penderitaan dari sesama suster dalam biara, penderitaan menghadapi pimpinan yang keras, penderitaan karena penyakit fisik yang dideritanya.
Dalam menghadapi semuanya itu, iman dan penyerahan diri Theresia semakin berkembang kepada Allah. Harapan Theresia dikuatkan karena dia merindukan keabadian, dia merindukan sorga. Untuk mencapai sorga, orang harus banyak menyangkal diri. Penderitaan dan kurban-kurban ditanggung dengan sabar dan penuh cinta oleh Theresia, sebab penderitaan di dunia ini tidak ada artinya dibandingkan dengan kemuliaan yang disediakan Allah bagi mereka yang mengasihi Dia (Rm 1:18). Theresia Lisieux juga berkembang dalam cintakasih kepada Allah dan sesama, sebab dia menyadari panggilannya adalah cintakasih.
Melalui kebajikan iman, harapan, dan cintakasih, St. Theresia Lisieux mencapai persatuan dengan Allah. St. Yohanes Salib, hidup dalam iman, harapan dan cintakasih berarti berjalan dalam suatu kegelapan. Iman adalah kegelapan, dan berjalan dalam pengharapan juga adalah kegelapan. St. Gregorius dari Nyssa mengungkapkan hal yang hampir sama, hanya dia mengungkapkannya dengan kata-kata paradoks, “Allah berdiam dalam awan gelap yang maha cerah.” Paradoks-paradoks seperti ini hanya bisa dijangkau lewat kebajikan-kebajikan teologal saja.
Tuhanlah yang de facto karena belas-kasih-Nya menyesuaikan diri dengan kondisi kita. Melalui iman, sebetulnya Ia sedikit meredam kecerahan cahaya-Nya sendiri. Sebab, kalau orang melihat terang Allah, dia bisa menjadi buta. Dia membawa kita melalui dorongan-dorongan kasih kepada-Nya karena hati kita lemah dan perlu waktu lama untuk perlahan-lahan dikuatkan supaya kita menerima curahan cinta-Nya. Kalau langsung, manusia tidak akan tahan dan bisa mati. Jadi, hanya diberikan sedikit demi sedikit sehingga lama-lama bisa menerima lebih banyak.
Perlahan-lahan juga iman akan berkembang dan bersatu dengan cintakasih. Dan, menurut St. Ignatius dari Antiokia, “Persatuan iman dan cintakasih itulah Tuhan.” Artinya, bila orang didorong cinta yang diterangi iman maka dia akan menemukan Allah sendiri.
Di kemudian hari, St. Yohanes Salib juga mengatakan bahwa untuk mendaki gunung Tuhan, orang harus ganti baju. Istilahnya ‘menyamar’. Dalam bukunya Mendaki Gunung Karmel, ia menegaskan bahwa supaya jiwa dapat mendaki gunung itu, ia harus berganti pakaian. Itu melambangkan perubahan cara ada yang mendalam. Dia harus menerima suatu cara untuk mengerti Allah di dalam Allah dan meninggalkan cara lama tentang pengertian yang berasal dari manusia sendiri.
Demikian pula, dia harus memakai suatu cinta yang baru tentang Allah di dalam Allah. Arrtinya, bukan lagi manusia mencintai Allah dengan cinta yang kecil, melainkan mencintai dalam Allah dengan cinta Allah sendiri.karena itu jiwa harus dilepaskan dari kelekatan-kelekatan yang lama, cara mencintai yang manusiawi itu.
“Pendek kata, kebajikan teologal itu dipandang sebagai suatu rangkaian yang membuat manusia dapat berjalan kepada Allah, digambarkan oleh ketiga kebajikan itu dengan warna-warna. Ada tiga warna utama: putih, hijau dan merah. Putih lambang iman. Hijau lambang pengharapan. Dan merah lambang cinta kasih.
Dengan memakai pakaian tiga warna ini, dia bukan saja berkenan kepada Sang Kekasih, sampai kepada Sang Sahabat, menyenangkan hati Allah, tetapi dia juga akan terlindung dari ketiga musuhnya (yaitu: dunia, daging, dan setan). Melalui itu semua dia tersembunyi dari musuh-musuhnya.”
“Suatu malam yang gelap, aku keluar dari rumahku tanpa seorang pun yang tahu.” Di sini jiwa menyamar dengan mengenakan pakaian iman, harapan, dan kasih sehingga dia tidak dikenal oleh musuh-musuhnya. Dengan itu, jiwa bisa mendaki puncak gunung kesempurnaan dengan ringan.
Pada St. Yohanes Salib kita juga melihat bahwa apa yang membantunya mendaki gunung itu sekaligus juga memberikan jaminan bahwa dia akan mencapai tujuannya. Di puncak Gunung Karmel, di mana terjadi persatuan dengan Allah, hanya ada iman, harapan dan kasih saja. Meskipun belum melihat Allah dari muka ke muka, tetapi toh dia sudah melihat semuanya lewat tirai yang begitu tipis, sehingga dia seolah-olah sudah melihat Allah. Semuanya menjadi jelas, sudah menjelang fajar, sehingga orang secara samar-samar melihat dunia yang akan datang. Imannya menjadi begitu cerah, meskipun belum sempurna. Pengharapannya menjadi tidak terbatas dan kasihnya pun berkobar-kobar.
Inilah iman, harapan, dan cinta kasih yang mulai mengungkapkan kepada kita wajah Tuhan sendiri dengan cara yang hidup. Walaupun belum melihat kemuliaan Allah secara penuh, itu saja sudah begitu membahagiakan. Apalagi kalau nanti orang boleh melihat Dia dari muka ke muka.
(Sumber: Hidup dalam Roh Juli-Agustus 2010 Tahun XIV, Sr. Maria Yoanita, P.Karm)