Senin, 03 Oktober 2016

Indahnya hidup berkomunitas

Ketika mengantar keponakan saya ke dokter kandungan, saya pun ingin pap smear Karena tahun ini saya terlambat untuk periksa pap smear.


Beberapa hari kemudian, saya ditelp dokternya, katanya: “Ibu, apakah ibu bisa datang ke sini hari ini? Karena hasilnya kurang bagus.” 

Pulang dari kantor saya langsung ke dokter tersebut. Tanpa persiapan apa-apa, di sana saya langsung dibiopsi (diambil dagingnya sedikit untuk diperiksakan ke Lab).

Beberapa hari kemudian, saya ditelpon kembali oleh dokter tersebut, katanya: “Ibu, apakah ibu bisa datang ke sini hari ini? Karena hasil biopsinya kurang bagus.” Saya pulang ke rumah dan dokter tersebut telpon lagi, katanya: “Persiapkan saja puasa, ketemu saya di Rumah Sakit Darmo.”

Saya datang jam sembilan dalam keadaan puasa, diterangkan hasilnya, ternyata hasil biopsinya jelek dan harus dilakukan operasi kecil di leher rahim.

Hasil dari conisasi dokter berkata: “Kandungan ibu diangkat saja karena di salah satu sisi ada sedikit sel yang jelek, lebih baik seluruh kandungan diangkat saja.”

Dari hasil Lab tersebut, saya konsultasi ke dokter yang lainnya. Hasilnya ... empat dokter mengharuskan saya operasi dan hanya satu dokter yang mengejutkan saya, karena dia mengatakan hasilnya jelek dan dia menyarankan untuk dikemo saja Saya begitu stres menghadapi masalah demi masalah ini. Rasanya kok nggak ada selesai-selesainya. 

Saya menyimpan pergumulan ini. Yang tahu penyakit saya hanya suami, anak-anak dan satu kakak perempuan saya. Suami dan anak-anak saya protes: “Kenapa mami, kok kami nggak boleh bilang pada saudara-saudara dan teman-teman?” Tetapi jawab saya: “Tidak! Saya percaya pada lima dokter! Dan kita berdoa sendiri saja.”

Pada suatu hari, saat pulang dari persekutuan, di dalam mobil Titiek bercerita bahwa teman anaknya, Raymond sudah tiga hari tidak pulang rumah. Dan pada saat Titiek turun dari mobil dia berkata: “San, tolong doakan Raymond ya?” Jawab saya: “Tik, kamu ini temen anakmu tiga hari nggak pulang aja kok semua orang dititipi doa.” 

Meskipun Tuhan sudah menyadarkan saya, bahwa dukungan doa sangat penting, tetapi saya masih menegarkan hati untuk tidak menceritakan pergumulan saya pada orang lain.

Pada saat persekutuan minggu berikutnya, saya berbisik pada Titiek: “Tik, aku ini punya masalah ... tolong bawakan ke doa syafaat. Tapi jangan beritahu siapapun. Hanya kamu saja yang tahu pergumulanku.” Jawab Titiek: “Nggak bisa San, harus menyebut namamu!” Tanya saya lagi: “Yo wes, kalau gitu aku akan datang ke doa syafaat.” 

Akhirnya saya datang ke doa syafaat. Di sana saya dapat mensyaringkan pergumulan saya dengan bebas. Di sana saya mendapatkan suatu kelegaan yang luar biasa. 

Pada waktu didoakan Bapa Kami, saya merasakan kesemutan dari kepala sampai ujung kaki saya, badan saya kaku, saya sangat takut pingsan dan saya berusaha melemaskan badan ... akhirnya tangis sayapun meledak.

Di rumah saya menceritakan pada suami dan anak-anak saya bahwa saya telah berani menceritakan pergumulan saya di doa syafaat. Mendengar hal itu mereka sangat senang dan merekapun berani menceritakan pada semua saudara dan teman-temannya.

Sungguh luar biasa ... setiap hari telpon dan sms terus berbunyi memberi dukungan doa. Ada juga teman-teman yang datang ke rumah menceritakan penyakitnya yang lebih berat, dan ternyata sampai sekarang mereka sehat walafiat tanpa kekurangan suatu apa pun. Itulah yang memberi kekuatan pada saya.

Sebelum menjalani operasi, teman-teman di doa syafaat datang memberi dukungan saya. Saya masuk kamar operasi mulai jam dua siang dan pemulihan sampai jam delapan lebih seper-empat malam. Pada saat mulai operasi, saya bersikeras memegang rosario, meskipun dokter melarangnya. 

Seminggu di rumah sakit, saya masih mengalami kekuatiran dengan penyakit saya. Jadi saya hanya berdoa “Bapa Kami” sejumlah usia saya, sesuai dengan pengajaran yang pernah saya dapat dari Ibu Yovita.

Seminggu kemudian, pada waktu menyerahkan hasil operasi, saya berkata: “Dokter, jangan cerita hasilnya, baik atau buruk. Saya nggak mau dengar dulu hasilnya, saya nggak kuat. Ceritakanlah pada suami saya saja.” Pada saat dokternya membaca hasil lab, saya nggak berani melihat ekspresi mukanya, saya hanya berdoa “Bapa Kami”.

Akhirnya dokter tersebut berkata: “Puji Tuhan Susan, hasilnya baik. Tidak ada sedikitpun sel yang ada di kiri dan kanan kandunganmu. Semuanya sudah bersih.” Semakin hari saya merasakan semakin kuat badan saya.

Di sinilah saya merasakan kekuatan doa dan perbedaan dalam kehidupan saya. Dulu, ketika saya menyimpan pergumulan saya sendiri, saya merasa stres berat

Tetapi setelah saya berani terbuka pada komunitas saya, saya mendapatkan kekuatan dalam menghadapi pergumulan saya. Karena saya mendapat dukungan doa, saran-saran dan lain-lainnya. 

Sekarang saya bersyukur, karena Tuhan telah memberi roh keberanian, sehingga saya berani terbuka terhadap pergumulan. 

Inilah indahnya hidup berkomunitas, jika ada yang mengalami pergumulan, sesama anggota komunitas ikut mencarikan solusinya dengan kekuatan Allah secara bersama-sama.

(Sumber: Warta KPI TL No. 66/X/2009).