Sabtu, 29 Desember 2018

Janda dari Sarfat - memberi dalam kekurangan dan keterbatasan



“Perempuan itu menjawab: "Demi Tuhan, Allahmu, yang hidup, sesungguhnya tidak ada roti padaku sedikitpun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Dan sekarang aku sedang mengumpulkan dua tiga potong kayu api, kemudian aku mau pulang dan mengolahnya bagiku dan bagi anakku, dan setelah kami memakannya, maka kami akan mati." 

Tetapi Elia berkata kepadanya: "Janganlah takut, pulanglah, buatlah seperti yang kaukatakan, tetapi buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu dan bagi anakmu. 

Sebab beginilah firman Tuhan, Allah Israel: Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi." (1 Raja-Raja 17:12-14)


Sarfat terletak di wilayah Sidon, kira-kira 13 km di sebelah selatan Sidon, Fenisia. Ke kota kecil itulah Elia pergi selama masa kekeringan dalam pemerintahan raja Ahab. Hampir dua pertiga isi 1 Raja 17 berisi kisah nabi Elia dan seorang janda di Sarfat. 

Alkitab tidak memberi gambaran tentang nama, sejarahnya, penampilan fisiknya, usianya; Alkitab hanya memberi gambaran secara tidak langsung tentang kemiskinannya (ayat 12). Pertemuan dan selanjutnya persahabatan nabi Elia dan janda Sarfat sendiripun merupakan rancangan Tuhan buat keduanya (ayat 9), dalam hal ini Elia mengetahuinya dengan jelas. 

Alkitab tidak memberitahukan secara jelas, siapa nama perempuan itu, hanya dikatakan bahwa Allah memerintahkan janda Sarfat untuk memelihara kehidupan Elia (ayat 9) entah dengan cara bagaimana, entah secara langsung atau sekedar kegerakan hati dengan diberi kemurahan hati untuk menerima Elia. Perjumpaan pertama janda Sarfat dengan Elia sendiri dapat dikatakan bukanlah sebuah bentuk perjumpaan yang spektakuler. 

Jika pada awal pasal ini digambarkan perjumpaan pertama nabi Elia dengan raja Ahab yang membawa berita penghukuman, kali ini Elia berhadapan dengan seorang janda. 

Elia, yang dikenal sebagai nabi Allah, datang dari sebuah perjalanan yang jauh dan itu terjadi di musim yang tidak ada hujan turun sama sekali. Pastinya sungai-sungai sepanjang perjalanan itu kering, akibatnya Elia tidak mandi berhari-hari. Apalagi penampilan Elia yang digambarkan dalam 2 Raja 1:8, “memakai pakaian bulu dan ikat pinggang kulit terikat di pinggangnya”, jauh dari gambaran kemewahan.

Ada sesuatu yang menarik dari kisah ini, yaitu kemurah-hati seorang janda di musim kemarau, di musim tidak ada hujan yang turun. Mungkin kemurah hatia janda Sarfat akan dipandang sebelah mata oleh banyak pembaca dengan mengatakan, “pastilah, kan Tuhan yang memerintahkan di ayat 9”. Namun dengan melihat situasi dunia saat itu, tidaklah mudah untuk melakukan apa yang dilakukan janda Sarfat

Apa yang dilakukan janda Sarfat disebut dengan hukum hospitality, yaitu mau menerima kedatangan seorang asing di rumahnya, dalam arti memelihara hidup tamu asingnya tersebut. 

Hal ini nampak ketika Elia pertama kali bertemu dengan janda itu di pintu gerbang kota (semacam alun-alun kota); ia sedang mengumpulkan kayu untuk membuat api. Ketika Elia meminta air dari kendinya untuk minum, wanita ini bisa saja menolak (menolak melakukan hukum Hospitality), namun wanita ini dengan segera mengambilkan air untuk Elia yang merupakan bahasa untuk mengatakan “aku menerima engkau sebagai tamuku”. Yang lebih mengagumkan lagi, hal itu terjadi di masa ketika air sulit dicari. 

Namun ketika Elia meminta sepotong roti, janda itu dengan jujur (dia berkata semacam sumpah “demi Tuhan Allahmu yang hidup” yang mengindikasikan dia tahu jika Elia adalah orang Israel) mengatakan bahwa persediaan makanan yang dimilikinya saat itu adalah persediaan terakhir, setelah memakannya, dia dan anaknya akan mati. Dengan kata lain, tidak ada jatah lebih untuk Elia.

Ketika Elia meyakinkan bahwa Tuhan Allahnya akan terus memelihara hidup mereka (ayat 13-14), janda itu percaya kepada Elia, orang asing yang baru dikenalnya. Dan ketika dia percaya dan melakukan apa yang diperintahkan Elia, benar saja, persediaan makanan untuk dia, anaknya dan Elia terus berlangsung hingga Tuhan menurunkan hujan (ayat 14,16). 

Walaupun Alkitab tidak memberikan indikasi respon orang-orang Sarfat terhadap kedatangan Elia dan keberadaannya di rumah janda Sarfat, namun keberadaan janda Sarfat dipakai Tuhan untuk memelihara keberlangsungan hidup hamba-Nya, Elia. 

Namun hanya untuk itukah Elia harus jauh-jauh datang dari sungai Kerit ke Sarfat? Apakah Tuhan tidak bisa memelihara keberlangsungan hidup hamba-Nya dengan cara yang lain, yang mungkin lebih sederhana dan tidak berbelit-belit? Tidak, masih ada misi lain yang dilakukan Allah dengan menyuruh Elia pindah dari sungai kerit ke Sarfat. Tapi setidaknya, janda ini dipakai Tuhan untuk memelihara hidup Elia selama musim kemarau yang panjang (sekitar 3 tahun; 1 Raja-Raja 18:1).

Tuhan adalah kasih, dan Tuhan murah hati. Dia selalu memberi segala sesuatu yang terbaik bagi kita, bahkan anak-Nya yang tunggal pun Dia relakan untuk menebus kita semua dari kebinasaan menuju keselamatan yang kekal. 

Lihatlah bagaimana sikap hati Allah sendiri sebagai The Giver atau Sang Pemberi. Hal seperti inilah yang harus mewarnai sikap hati kita sebagai orang percaya.

Kisah Janda dari Sarfat ini hendaknya mampu memberikan keteladanan nyata dalam hal memberi. Adakah yang harus ditunggu agar mampu memberi? Tunggu kaya dulu? Tunggu berlebih dulu? Tunggu sampai semua kebutuhan yang tidak pernah ada habisnya itu tercukupi? Sesungguhnya tidak. 

Kita tetap bisa memberi dalam kekurangan dan keterbatasan kita, kita bisa melakukannya dengan penuh sukacita apabila sikap kemurahan tumbuh subur dalam hati kita. Tidak perlu berpikir terlalu jauh untuk memberi puluhan juta kepada orang lain yang kelaparan, tapi sudahkah kita melakukan sesuatu bagi orang disekitar kita meski nilainya sedikit? 

Atau sudahkah kita memberikan waktu, perhatian, kasih sayang kepada keluarga kita sendiri? Sudahkah kita berada dengan mereka di saat mereka butuh kehadiran kita? Sudahkah kita memberi senyum kepada orang yang sudah lama tidak merasakan indahnya sebuah senyuman? Sudahkah kita memberi kelegaan kepada mereka yang tengah sesak menghadapi tekanan hidup? Itupun termasuk dalam kategori memberi. Kalau begitu, kapan kita sebaiknya mulai memberi? Mengapa tidak sekarang juga?

(Sumber: Kristen sejati, Untung Chandra Oei Khay Sing).