Ini cerita tentang Elisabeth Sutedja: cantik, pinter, kaya, lulusan ITB, Harvard cum laude, jadi Presiden marketing di Boeing, hidup seperti presiden. Tiba-tiba masuk biara.
Salah satu cerita Elisabeth yang pernah dia bagikan
Salah satu yang selalu aku sampaikan di doa pagi: “Tuhan, berilah aku kesempatan hari ini berbagi kasih.” Tuhan selalu mengabulkan. Ada saja yang bisa aku lakukan: bantu menyeberangkan orang tua, mendamaikan anak-anak tengkar, bantu tetangga membereskan kebun, menyapa orang-orang yang kujumpai. Selain hal-hal biasa, Tuhan kadang-kadang memberi kesempatan luar biasa.
Pada tanggal 20 Desember 2012, Setelah misa pagi di Gereja St Anthony, biasanya aku pulang, tapi pagi itu aku jalan kaki mengambil jalan lain lewat Fenway Park, taman besar-indah di pusat Boston, ingin menikmati pagi-sandwich di satu kios.
Saat itu musim dingin, suhu minus 10° C. Semalam salju turun lebat, tebalnya di taman 15 cm.
Sedang menikmati sandwich, pemandanganku ke gazebo di taman. Aku melihat wanita tua memandang ke arahku, seolah ingin menarikku. Wanita itu berusia sekitar 60 tahunan, wajahnya putih penuh dengan kerut dan pakaiannya sangat sederhana.
Aku tanya penjual makanan, apakah dia kenal wanita itu. Jawabnya, "Tidak, aku belum pernah melihatnya" Aku membeli sepotong sandwich dengan segelas susu panas dan membawanya ke gazebo.
"Hai ... Saya Elisabeth Sutedja" sapaku mengulurkan tangan kananku. Dia diam tak menjawab dan tak menerima uluran tanganku. Matanya tajam memandang sandwich dan susu panas yang aku bawa. “Maukah kamu bergabung denganku?” kataku sambil menyerahkan sandwich dan susu panas kepadanya. Dengan cepat dia mengambilnya dan menyantapnya dengan lahap. Nampaknya dia sudah lapar sekali.
Selesai makan, dia mulai memandang dan mengamatiku. Pandangannya terarah ke Rosario kecil yang kupakai di pergelangan tangan kiriku. "Kristen?" Tanyanya. "Ya ... Katolik." jawabku. "Sial!" Katanya keras sambil mencibirkan bibirnya. "Kenapa sial?" Tanyaku. "Aku tidak percaya pada Tuhan!" Jawabnya. "Kenapa kamu tidak percaya?" Tanyaku lagi. "Tidak ada Tuhan!" Jawab jawabnya tegas. "Ada Tuhan!" Kataku halus. "Buktikan" pintanya.
Aku memutar otak, cari cara buktikan Tuhan itu ada. Aku berdoa "Yesus tolong aku" Dan Yesus menolong.
“Yesus adalah Tuhan. Dia tahu kamu kedinginan. Jadi Dia memintaku untuk memberikan mantel ini padamu! ”Jawabku.
Matanya berlinang air sambil meminta meraba mukaku sambil berkata pelan: "Kamu benar-benar seorang malaikat. Anda memberi saya makanan ketika saya lapar. Lalu Anda memberi saya mantel Anda ketika saya kedinginan!" Aku kaget ... Bagaimana dia dapat mengucapkan kata-kata indah itu?
Salah satu cerita Elisabeth yang pernah dia bagikan
Salah satu yang selalu aku sampaikan di doa pagi: “Tuhan, berilah aku kesempatan hari ini berbagi kasih.” Tuhan selalu mengabulkan. Ada saja yang bisa aku lakukan: bantu menyeberangkan orang tua, mendamaikan anak-anak tengkar, bantu tetangga membereskan kebun, menyapa orang-orang yang kujumpai. Selain hal-hal biasa, Tuhan kadang-kadang memberi kesempatan luar biasa.
Pada tanggal 20 Desember 2012, Setelah misa pagi di Gereja St Anthony, biasanya aku pulang, tapi pagi itu aku jalan kaki mengambil jalan lain lewat Fenway Park, taman besar-indah di pusat Boston, ingin menikmati pagi-sandwich di satu kios.
Saat itu musim dingin, suhu minus 10° C. Semalam salju turun lebat, tebalnya di taman 15 cm.
Sedang menikmati sandwich, pemandanganku ke gazebo di taman. Aku melihat wanita tua memandang ke arahku, seolah ingin menarikku. Wanita itu berusia sekitar 60 tahunan, wajahnya putih penuh dengan kerut dan pakaiannya sangat sederhana.
"Hai ... Saya Elisabeth Sutedja" sapaku mengulurkan tangan kananku. Dia diam tak menjawab dan tak menerima uluran tanganku. Matanya tajam memandang sandwich dan susu panas yang aku bawa. “Maukah kamu bergabung denganku?” kataku sambil menyerahkan sandwich dan susu panas kepadanya. Dengan cepat dia mengambilnya dan menyantapnya dengan lahap. Nampaknya dia sudah lapar sekali.
Selesai makan, dia mulai memandang dan mengamatiku. Pandangannya terarah ke Rosario kecil yang kupakai di pergelangan tangan kiriku. "Kristen?" Tanyanya. "Ya ... Katolik." jawabku. "Sial!" Katanya keras sambil mencibirkan bibirnya. "Kenapa sial?" Tanyaku. "Aku tidak percaya pada Tuhan!" Jawabnya. "Kenapa kamu tidak percaya?" Tanyaku lagi. "Tidak ada Tuhan!" Jawab jawabnya tegas. "Ada Tuhan!" Kataku halus. "Buktikan" pintanya.
Aku memutar otak, cari cara buktikan Tuhan itu ada. Aku berdoa "Yesus tolong aku" Dan Yesus menolong.
Aku perhatikan tangan dan tubuhnya menggigil. Dia pasti sangat kedinginan! Aku lepaskan mantel tebal yang aku pakai sambil berkata: "Ini untukmu" kataku sambil mengenakan mantel itu pada tubuhnya. Dia diam, matanya kini memandangku dengan sayu. Aku lihat air matanya menetes keluar. Aku merasa iba, aku peluk dia, dia menangis keras. "Kenapa kamu melakukan ini?" Tanyanya sambil menangis.
Matanya berlinang air sambil meminta meraba mukaku sambil berkata pelan: "Kamu benar-benar seorang malaikat. Anda memberi saya makanan ketika saya lapar. Lalu Anda memberi saya mantel Anda ketika saya kedinginan!" Aku kaget ... Bagaimana dia dapat mengucapkan kata-kata indah itu?
Sesuatu terjadi pada diriku! Aku merasakan sukacita yang sungguh besar! Aku merasa Yesus tersenyum padaku! Aku berjalan pulang tanpa mengenakan mantel, namun aku tak merasakan dingin samasekali!
Apakah kita siap menjadi Elisabeth-elisabeth yang lain?