[Kid 3:1-4] Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia. Aku hendak bangun dan berkeliling di kota; di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kucari dia, jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia.
Aku ditemui peronda-peronda kota. "Apakah kamu melihat jantung hatiku?" Baru saja aku meninggalkan mereka, kutemui jantung hatiku; kupegang dan tak kulepaskan dia, sampai kubawa dia ke rumah ibuku, ke kamar orang yang melahirkan aku.
» Kidung Agung menjadi kitab yang paling banyak diperdebatkan sepanjang sejarah. Pada awalnya, orang-orang Yahudi tidak bisa menerimanya begitu saja sebagai bagian dari Kitab Suci mereka. Perdebatan yang sama juga terjadi di antara orang-orang Kristen awal saat menerima kitab ini dalam kanon. Tidak diragukan lagi, salah satu sumber perdebatan yang utama adalah bahasa “erotis” yang digunakannya. Bagaimana mungkin kitab yang bernuansa “pornografi” semacam itu bisa menjadi bagian dari Kitab Suci kita?
Para nabi menggambarkan kasih Allah terhadap umat pilihan-Nya dengan gambaran suami-istri. Hal ini sudah ada pada zaman nabi Hosea. Selanjutnya, orang-orang Yahudi pada abad ke-2 Masehi juga menafsirkan Kidung Agung sebagai kiasan kasih Allah kepada Israel.
Sementara itu, para pujangga Kristen juga menempuh jalan yang sama. Origenes memelopori tafsiran alegoris (kiasan) ini. Dia menggunakan kiasan perkawinan guna menggambarkan relasi antara Kristus dan Gereja-Nya.
Jika Kidung Agung berbicara tentang anugerah Allah, yakni cinta kasih yang luhur dan mulia, maka tidak ada keberatan kitab ini menjadi bagian Kitab Suci kita. Bahasa cinta yang menyala-nyala, yang barangkali bernuansa erotika, hanyalah kekaguman seseorang pada kekasihnya yang sangat dicintainya. Bahasa cinta yang menyala-nyala itu gema dari bahasa cinta awali: “Inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” (Kej 2:23). Itulah keajaiban cinta pertama. Manusia pertama terpesona melihat belahan jiwanya.
Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah. Allah tidak henti-hentinya menarik dia kepada diri-Nya. Hanya dalam Allah manusia dapat menemukan kebenaran dan kebahagiaan yang dicarinya terus-menerus:
"Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu, serta menyerahkan diri kepada Penciptanya" (GS 19,1) (KGK 27).
Oleh karena itu kita harus bersekutu dengan-Nya, kita berbicara dengan-Nya bila berdoa, kita mendengar-Nya bila kita membaca amanat-amanat ilahi (Ambrosius, KGK 2653).
[Baca juga: Berdoa tak kunjung putus; Ibadat Harian; Doa-doa harian Ordo Fransiskan; Berdoa Examen Ignasian; Latihan rohani]
Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil (Mzm 119:164).
Doa menghasilkan pengenalan diri. Mengenal diri dalam doa tidak terjadi di tingkat akal budi, melainkan dalam suatu perjumpaan yang menyentuh hati. Dalam tangisan kita disentuh dan dikuasai oleh Allah secara langsung.
Air mata memulihkan kembali keseimbangan antara yang rohani dan jasmani, antara budi dan perasaan dan memulihkan kembali juga kesatuan di dalam diri manusia.
Jadi, dalam hatinya manusia mengalami keutuhan, yang tidak terancam lagi oleh suatu rasa sakit, dan suatu kesukaan yang tidak dapat diganggu lagi oleh kekecewaan dan kegagalan.
Kerinduan berbicara mengenai “hati”, Allah merindukan penyembah-penyembah dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:23). Kerinduan-Nya, manusia beribadah dengan hatinya bukan hanya memuliakan-Nya dengan mulut bibirnya saja (Yes 29:13; Mat 15:8). Jadi, jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan (Ams 4:23).
Jika kita merindukan mempunyai tubuh yang sehat dan kuat, kita perlu makan makanan yang bergizi setiap hari. Demikian juga jika kita merindukan mempunyai jiwa dan roh yang sehat dan kuat, kita perlu makan makanan bergizi, yaitu ajaran sehat, perkataan Tuhan kita Yesus Kristus (1 Tim 6:3).
Tuhan adalah kekuatan dan perisai kita, ketika kita tinggal pada pokok anggur yang benar maka jiwa dan roh kita akan sehat dan kuat sehingga kita akan dimampukan oleh-Nya memuji dan bersyukur sepanjang hari (Mzm 28:7; Yoh 15:4-5; Mzm 34:1; 44:9).
Jadi, sebagai orang percaya kita harus memiliki kerinduan yang berbeda dengan orang-orang dunia pada umumnya. Kidung Agung ini merupakan cermin untuk berefleksi apakah kerinduan kita sama ketika akan beribadah setiap hari Minggu? Apakah perasaan hati kita biasa-biasa saja, menggerutu karena merasa kewajiban ke gereja? Ketika Misa berlangsung, apakah ada perasaan tidak nyaman ketika mendengar homili yang tidak sesuai dengan harapan kita dan mendengar koor yang nadanya kurang pas? Jika semua perasaan ini ada, berarti ada yang salah dalam kehidupan rohani kita. Seharusnya kita beribadah dengan penuh gairah dan bersyukur karena Allah telah menyelamatkan hidup kita.
(Sumber: Warta KPI TL No. 172/VIII/2019 » Renungan KPI TL Tgl 1 Agustus 2019, Dra Yovita Baskoro, MM).