“Sekali peristiwa pada waktu petang, ketika Daud bangun dari tempat pembaringannya, lalu berjalan-jalan di atas sotoh istana, tampak kepadanya dari atas sotoh itu seorang perempuan sedang mandi; perempuan itu sangat elok rupanya. Lalu Daud menyuruh orang bertanya tentang perempuan itu dan orang berkata: "Itu adalah Batsyeba binti Eliam, isteri Uria orang Het itu." Sesudah itu Daud menyuruh orang mengambil dia. Perempuan itu datang kepadanya, lalu Daud tidur dengan dia. Perempuan itu baru selesai membersihkan diri dari kenajisannya. Kemudian pulanglah perempuan itu ke rumahnya.” (2 Samuel 11:2-4)
Siapakah Batsyeba? Setiap orang Kristen pasti banyak yang tahu siapa itu Batsyeba. Ia adalah anak perempuan Eliam (ayat 3), cucu Ahitofel, penasehat Daud. Suami Batsyeba adalah Uria, orang Het, yang menjadi komandan pasukan Daud, dibawah panglima perang Yoab.
Ketika terjadi peperangan, Daud yang sedang bersantai di rumah, melihat Batsyeba sedang mandi sehingga ia sangat menginginkannya, kemudian merayunya.
Kitab 2 Samuel 11:4 mencatat: Perempuan itu datang kepadanya. Sekalipun yang berdosa adalah Daud, Batsyeba juga bukan tanpa salah. Dia datang atas panggilan Daud, rupanya tanpa ragu-ragu, dan tidak menolak keinginan Daud (setidak-tidaknya sejauh apa yang tercatat). Kenyataan bahwa dia sedang mandi di wilayah yang tanpa atap dari sebuah rumah di pusat kota sehingga setiap orang bisa memandangnya dari atap rumah juga tidak membuat orang berpikir bahwa dia itu sopan, sekalipun dia tidak memiliki motivasi tertentu, sebagaimana pendapat sejumlah penafsir.
Setelah akhirnya Batsyeba mengandung akibat perzinahan itu, maka Daud mengatur rencana jahat agar Uria terbunuh dalam peperangan. Rencana jahat itu berhasil, Uria terbunuh dalam pertempuran, dan tanpa menunggu lama, Daud segera mengambil Batsyeba sebagai istrinya sehingga memungkinkan mereka sudah menikah sedini mungkin sebelum melahirkan. Daud dengan demikian berharap untuk mencegah kemungkinan timbulnya kecurigaan adanya hubungan jasmaniah sebelum pernikahan.
Kisah selanjutnya Tuhan melalui nabi Natan menegur Daud yang jatuh dalam dosa besar itu. Daud sadar dan menyesali dosanya. Karena Daud menyesali dosanya maka Tuhan tidak menghukumnya dengan menimpakan malapetaka kepadanya dan keturunannya, tapi Tuhan tetap menghukum dia. Anak hasil perzinahannya dengan Batsyeba mati. Daud memang betul-betul menyesali perbuatannya. Dia berdoa dan berpuasa memohon agar Tuhan mau menyelamatkan anak itu. Tetapi Tuhan tak bergeming dari keputusan-Nya. Itulah kasih yang sejati. Kasih Tuhan tegas kepada Daud dinyatakan dengan cara menghukum Daud. Hukuman itu bertujuan membuat Daud bertanggungjawab dan didisiplin.
Satu hal yang kadang sulit untuk bisa dimengerti dan dipahami, mengapa Batsyeba termasuk dalam salah satu garis silsilah Yesus Kristus. Bila melihat serangkaian perjalanan hidup Batsyeba, mungkin kita akan bertanya-tanya, mengapa Batsyeba yang terpilih menjadi nenek moyang Yesus.
Injil Matius 1:6 mencatat dengan jelas, “Isai memperanakkan raja Daud, Daud memperanakkan Salomo, dari isteri Uria.” Walaupun nama Batsyeba tidak dicantumkan secara langsung, tetapi itu merupakan suatu hal yang istimewa. Mengapa dari beberapa isteri Daud, justru Batsyeba yang terpilih? Batsyeba yang bisa dikatakan menjadi awal kehancuran bagi kehidupan Daud? Mengapa bukan Abigail yang terpilih padahal ia pun seorang wanita yang bijak, bukan pula Maakha, istreri Daud yang merupakan anak raja?
Di dalam silsilah Yesus, hanya ada empat wanita yang disebutkan, yaitu Tamar, Rahab, Rut dan Batsyeba. Batsyeba memang tidak disebutkan secara langsung, hanya dikatakan sebagai “yang pernah menjadi isteri Uria.”
Pemilihan Batsyeba sebagai nenek moyang Yesus, pasti bukanlah sesuatu yang terjadi semata-mata karena kehendak dan kedaulatan Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan menggenapkan janji-Nya kepada Daud dengan memulainya melalui tindakan perzinahan antara Daud dan Batsyeba. Dan, kalaupun secara bodoh kita meyakini semuanya sudah ditetapkan oleh Tuhan karena Ia yang memegang kekuasaan, lalu pertanyaannya adalah: mengapa anak yang terlahir kemudian itu harus mati? Ini artinya, semuanya mengikuti hukum alam dalam hal kehamilan dan kelahiran anak tersebut, dan mengikuti hukum rohani dalam hal kematiannya.
Dari masuknya Batsyeba dalam jajaran nenek moyang Yesus, kita belajar bahwa Tuhan dapat memakai seseorang bukan berdasarkan nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia. Bukan didasarkan pada siapakah kita, apa kita, bagaimana masa lalu kita, dan apa pekerjaan kita. Bukan pula berdasarkan bersih tidaknya maupun terhormat tidaknya status seseorang di muka bumi ini.
Tuhan melihat hati dan iman yang tertuju kepada-Nya. “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7).
Tentu ada pertobatan di dalam hati dan kehidupan Batsyeba, ini terlihat jelas dari didikan yang ia berikan kepada Salomo sehingga Salomo bertumbuh menjadi seorang yang tidak serakah akan harta dunia ini bahkan mempunyai hati untuk menjadi pemimpin yang berkenan di hadapan Tuhan (1 Raja-Raja 3:10-12).
Tuhan pasti mempunyai rencangan yang indah bagi kita. Ia tidak pernah menjadikan manusia secara acak tanpa alasan yang jelas, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, “Tuhan tidak pernah bermain dadu.” Hanya saja, rancangan indah itu tidak dapat kita peroleh begitu saja, namun harus ada respon dari kita yang sesuai dengan kehendak-Nya. Bukan karena siapa Anda maka Tuhan memilih Anda, tetapi karena kasih-Nya dan respons Anda atas kasih-Nya itu.
Untuk itu bersyukurlah jika kita dipakai Tuhan menjadi alat-Nya. Dan tetaplah berkarya sampai rancangan Tuhan yang indah itu digenapi secara penuh di dalam hidup kita. Kiranya Roh Kudus senantiasa memimpin setiap langkah kita agar berjalan seturut dengan rencana-Nya.