Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang membuat kita menggunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat. Ia menjamin penguasaan kehendak atas kecenderungan dan menjaga keinginan dalam batas-batas yang patut dihormati (KGK 1809).
Pribadi yang memiliki penguasaan diri mengarahkan kehendak inderawinya kepada yang baik, mempertahankan kemampuan berpikirnya secara sehat untuk menilai, dan berani mengatakan “cukup” (Sir 5:2). Sebagaimana sabda Tuhan, “Orang yang mampu menguasai dirinya akan “menjalani hidup yang bijaksana, adil dan beribadah di dunia ini” (Tit 2:12) (KGK 1809).
Kebajikan penguasaan diri menjauhkan segala bentuk keterlaluan: tiap bentuk makanan, minuman, rokok, dan obat-obatan yang berlebihan. Siapa yang dalam keadaan mabuk atau dengan kecepatan tinggi membahayakan keamanan orang lain dan keamanannya sendiri di jalan, di air, atau di udara, membuat dosa besar (KGK 2290).
Dari kemampuan untuk menguasai diri bisa muncul 2 aspek penting menyangkut perasaan, yakni:
1. perasaan malu, membuat orang takut merasa malu, cemar atau aib atas kelakuan/tindakan yang tak terkendali. Perasaan ini menghindarkan orang dari tindakan yang tak terkendali.
2. perasaan terhormat, menyebabkan orang ingin memiliki perasaan dihargai, dihormati atau dikasihi karena mengamalkan penguasaan diri. Perasaan ini mengilhami orang untuk bertindak dengan penguasaan diri.
Buah-buah kebaikan yang tampak dalam keutamaan ini meliputi pantang, laku tapa, ugahari (kesederhanaan), murni, pengendalikan nafsu, rendah hati, lemah-lembut, belas kasihan, sopan dan murah hati. Sebaliknya, lawan dari penguasaan diri misalnya rakus, mabuk, berfoya-foya, ketidakmurnian, mengumbar nafsu, congkak, murka dan tamak.
Marilah kita belajar dari Yakobus 4:1-10
Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang (B5) saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu (B4) iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi.
Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu (B3) tidak berdoa. Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.
Hai kamu, orang-orang yang (B1) tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.
Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: (C) "Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!"
Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: (B2) "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati."
Karena itu (A1) tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! (A2) Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. (A3) Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! Dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!
(D) Sadarilah kemalanganmu, berdukacita dan merataplah; hendaklah tertawamu kamu ganti dengan ratap dan sukacitamu dengan dukacita. (E) Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu.
Persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah
Surat Yakobus adalah sebuah contoh Surat Pastoral, yang ditulis seorang gembala bagi umatnya. Surat ini berisi nasehat dan ajakan tentang perilaku ideal sebagai perwujudan iman kristiani. Nasehat itu amatlah penting bagi jemaat yang hidup dalam suasana dan lingkungan budaya Yunani (Hellenis).
Berkat Sakramen Baptis, kita menjadi anak angkat Allah (Gal 4:5-7) dan diberi rahmat pengudusan dan rahmat pembenaran supaya hidup dan bekerja di bawah dorongan Roh Kudus (KGK 1265-1266). Berkat dorongan Roh Kudus, kita diberi kerinduan untuk berdoa dan membaca Kitab Suci (Firman itu adalah Allah - Yoh 1:1).
Doa harus menyertai pembacaan Kitab Suci, supaya terwujudlah wawancara antara Allah dan manusia. Sebab kita berbicara dengan-Nya bila berdoa; Kita mendengarkan-Nya bila membaca amanat-amanat ilahi (Ambrosius, KGK 2653).
Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik (2 Tim 3:15-17).
Ciri-ciri sahabat Allah:
(A1) Tunduk kepada Allah. Kata tunduk dalam bahasa Yunani adalah “Adore”, artinya menyembah. Jadi, ada sikap kekaguman dan penyembahan serta hormat kepada Tuhan. Untuk lebih lagi menjadi sahabat Allah, kita harus menyadari posisi kita di hadapan Allah, dengan kata lain, kita harus mengadakan penyerahan diri secara total kepada Allah (Mrk 14:36; Doa Bapa Kami – Jadilah kehendak-Mu). Tunduk lebih dari sekadar ketaatan. Untuk tunduk diperlukan kerendahan hati.
Jadi, Iblis, musuh Allah itu, harus dilawan. Apabila dilawan, ia akan lari dari padamu. Ini merupakan langkah penting untuk menghindari dosa keduniawian.
(A2) Mendekatkan diri kepada Allah. Tidaklah mudah seseorang untuk mendekatkan diri kepada seorang sahabatnya. Mereka pasti mengorbankan waktu, tenaga, materi, perhatian dan lain sebagainya untuk berjumpa dengan seorang sahabatnya.
Demikian pula kepada Allah, Allah merindukan sahabat-sahabat-Nya untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara merendahkan hati tanpa ada unsur kesombongan di hadapan-Nya.
Jika kita sungguh mengenal diri kita sendiri (menyadari kerapuhan, kekecilan dan ketidakberdayaan diri sendiri dan kepada kecenderungan-kecenderungan kepada yang jahat), kita akan sungguh menjadi rendah hati dan kerendahan hati yang sejati adalah buah dari cinta kasih (1 Kor 13:4-7).
Kerendahan sejati yang sejati diperoleh melalui pengalaman kasih Allah (St. Teresa Avila). Tuhan memberikan kasih-Nya, Dia sekaligus menyinari kita dengan rahmat-Nya. Jadi, kita harus hidup di hadirat Allah agar memperoleh kerendahan hati.
(A3) Memiliki kesucian hidup (Mat 5:8 - Orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah). Dengan adanya kesucian hidup maka mereka akan mengalami perjumpaan yang dahsyat dengan sahabat-Nya.
Allah memesankan kepada sahabat-sahabat-Nya agar mereka suci hatinya (tidak mendua hati ketika mendekatkan diri kepada Allah) dan tangannya (apapun yang dikerjakan oleh tangan mereka harus bersih tanpa ada unsur dosa).
Orang Kristen yang masih dikuasai oleh keinginan dan kesenangan adalah sahabat dunia dan musuh Allah. Keinginan adalah akar dari segala godaan (Yak 1:14-15).
Kata “keinginan” dapat berarti setiap bentuk keinginan kuat manusia. Teologi Katolik mengartikannya dengan satu daya perasaan berahi yang kuat, yang melawan pikiran manusia (Gal 5:16-17, 24; Ef 2:3 – pemberontakan “daging” melawan “roh”. Ia mengganggu tata kekuatan manusia yang susila dan cenderung untuk melakukan dosa (KGK 2514-2515).
Santo Yohanes membedakan tiga macam hawa nafsu atau keinginan: keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (1 Yoh 2:16).
Perbuatan daging, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal 5:19-21).
Keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera. Jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup (Rm 8:6-13; 1 Sam 2:11-17; Hak 16:4-31).
Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya (Gal 5:24).
Mata memungkinkan kita untuk menikmati banyak hal secara visual, tetapi bila tidak dijaga, mata bisa mendatangkan keinginan-keinginan yang bisa menjadi pintu masuk bagi dosa-dosa untuk mencengkram dan menjerumuskan kita (2 Sam 11; 1 Raj 21).
Berdoalah seperti pemazmur: “Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan.” (Mzm 119:37).
Ada banyak dosa mengintip dari keangkuhan hidup (kesombongan). Tidak ada tempat untuk kesombongan dalam kasih (1 Kor 13:4).
Ciri-ciri sahabat dunia: tidak setia (B1); sombong (B2); akibat dari hawa nafsu/keinginan, ada konflik (B3-B5).
Ada konflik dengan Allah (B3): berdoa » tidak menerima apa-apa, karena salah berdoa sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu; tidak berdoa » tidak memperoleh apa-apa.
Ada konflik antara diri kita dengan orang lain (B4): iri hati » tidak mencapai tujuan » bertengkar dan berkelahi; mengingini sesuatu » tidak memperolehnya » membunuh. Semua itu datangnya dari hawa nafsu. Keinginan manusia sering kali berlebihan hingga dapat membawa pada kejahatan yang lebih serius.
Ada konflik dalam diri kita (B5): hawa nafsu saling berjuang di dalam tubuh.
(C) Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya dan menerimanya dalam persahabatan-Nya. Manusia diciptakan untuk melayani Allah, untuk mencintai-Nya (KGK 396, 358).
Manusia dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Allah, dengan bertingkah laku sesuai dengan kenyataan bahwa ia diciptakan “menurut citra Allah” dan serupa dengan Allah (KGK 2085).
Manusia dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Allah, dengan bertingkah laku sesuai dengan kenyataan bahwa ia diciptakan “menurut citra Allah” dan serupa dengan Allah (KGK 2085).
Manusia memiliki roh dari Allah yang bersifat kekal. Iblis menawarkan dunia untuk memutuskan rantai persahabatan dengan Tuhan. Karena itulah Tuhan cemburu kepada dunia sedemikian rupa karena Dia menghendaki roh manusia yang kekal itu kembali kepada-Nya (Pkh 12:7).
(D) Inilah panggilan bagi pertobatan, ketika berhadapan dengan dosa serius, "sadarilah betapa celaka dirimu" (Rm. 7:24). Dengan tetap gembira, menganggap enteng keadaan dunia sekeliling, padahal tahu bahwa dirinya berdosa. “Dukacita” ungkapan keadaan tertekan dari orang-orang yang malu dan menyesal. (E) Nasihat ini disertai dengan janji bahwa Allah akan meninggikan orang yang rendah hati.
Kedewasaan adalah sebuah proses berkelanjutan. Demikian halnya dengan kedewasaan iman adalah sebuah proses pertobatan yang tidak berhenti hanya pada peristiwa pembaptisan melainkan proses sepanjang hidup.
Orang Kristiani dipanggil untuk menjadi sahabat Allah, harus selalu memilih Allah dengan cara membuka hati agar rahmat Allah semakin menguasai dirinya.
(Sumber: Renungan KPI TL Tgl 27 September 2018, Ibu Emmy).