Selasa, 01 November 2016

18.26 -

Konsep manusia dalam Perjanjian Lama

Pandangan Perjanjian Lama tentang manusia sangat berbeda dengan pandangan kita dewasa ini. Ia tidak menganut aliran trikotomi (manusia terdiri dari roh, jiwa dan tubuh) maupun dikotomi (manusia terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua bagian yang bisa dipisahkan satu sama lain). 

Meskipun ia mengenal istilah ruah (roh), nephesh (jiwa), lebh (hati) dan basar (tubuh), namun keempatnya bukanlah unsur-unsur yang bisa dipisahkan satu sama lain. 

Perjanjian Lama tidak melihat manusia dalam bagian-bagian itu melainkan sebagai satu totalitas, satu kesatuan dari keempat unsur di atas. Masing-masing istilah itu menunjukkan manusia seutuhnya dilihat dari perspektif tertentu. Ia dipakai untuk menekankan dimensi tertentu dari manusia yang satu dan utuh.



Ruah memiliki makna dasar udara yang bergerak atau angin (Kej 3:8). Ruah Allah (Kej 1:2) mengacu ke “daya yang aktif” dari Alah. Perjanjian Baru memakai kata roh-Nya maksudnya Roh Kudus. 


Ruah manusia adalah roh atau nafas yang manusia terima dari Allah (Kej 2:7 dan Mzm 104:29-30) dan yang memungkinkan manusia hidup dan masuk dalam relasi dengan Allah. Pemakaian term ruah dalam Perjanjian Lama lebih menekankan adanya relasi vital antara manusia dengan Allah.

Nephesh, yang dalam bahasa Latin diterjemahkan dengan anima (jiwa), sebenarnya berarti “tenggorokan” , “leher” (saluran pernafasan dan makanan). 

Dalam arti metaforis nephesh, menunjukkan manusia sebagai “makhluk hidup” (Kej 2:7). Ia menekankan aspek internal manusia, yakni manusia yang didorong oleh emosi dan keinginan (Mzm 42:2). Oleh karena itu, ia bisa diterjemahkan dengan “pribadi”.

Lebh berartihati”. Dalam perspektif alkitabiah hati bukanlah simbol perasaan melainkan simbol pikiran dan kehendak, atau sesuatu yang ada kaitannya dengan “kesadaran”. 

Hati dipakai untuk menekankan manusia dalam dimensi rasional dan kehendak. Hati juga merupakan pusat dan akar semua kegiatan religius, filosofi dan moral manusia

Untuk berbicara tentang perasaan, Perjanjian Lama memakai istilah yang agak asing bagi kita, yakni rahamim (= kasih sayang), yang diambil dari kata Ibrani rehem (= rahim), tempat kasih ibu.

Basar artinya daging, dipakai untuk menunjukkan manusia sebagai makhluk yang kelihatan secara badaniah. Ia menekankan manusia dalam aspek kelemahannya dan sisi eksternal manusia (Mzm 56:6). 

Basar tidak dipakai hanya dalam arti tubuh, melainkan juga dalam arti seluruh pribadi. Yang benar bukanlah manusia memiliki tubuh, melainkan manusia adalah tubuh.

Perjanjian Lama melihat manusia sebagai satu kesatuan. Manusia adalah satu pribadi, makhluk hidup dengan banyak dimensi: emosi dan rasa/sensibilitas (nephesh), perasan (rahanim), pikiran dan kehendak (lebh), tubuh dan relasi (basar), roh dan transendensi (ruah). 

Selain itu ada kesadaran bahwa “tubuh” manusia adalah pribadi itu sendiri dan bukan “obyek” ke mana “aku” spiritual dimasukkan.

(Sumber: Warta KPI TL No. 86/VI/2011 » Perempuan Sumber Dosa?, Dr. Penka Yasua).