06.39 -
*Kebajikan*
7 Pilar dasar kehidupan Kristiani
Keutamaan-keutamaan
Katolik adalah cara untuk
menjalani suatu kehidupan moral yang unggul dan baik menurut standar yang ditentukan oleh Kitab Suci dan Tradisi Gereja
Katolik.
Menurut
Gereja Katolik, ada dua jenis keutamaan (= kebajikan).
Pertama, kebajikan
ilahi (1 Kor 13:13 – iman, harapan dan kasih).
Kedua, kebajikan
manusiawi (Keb 8:7 - kebijaksanaan,
keadilan, keberanian dan penguasaan diri
Kebajikan adalah suatu
kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Ia
memungkinkan manusia bukan hanya untuk melakukan perbuatan baik, melainkan juga
untuk menghasilkan yang terbaik seturut kemampuannya, dengan segala kekuatan
moral dan rohani. Ia berusaha untuk mencapainya dan memilihnya dalam
tindakannya yang konkret.
Memelihara keutamaan-keutamaan dalam
kehidupan seorang Kristen berarti
menjadi
serupa dengan Kristus. Sebaliknya, menciptakan ruang bagi
hal-hal yang berlawanan dengan kedua jenis keutamaan itu berarti memelihara
kehancuran diri.
Lawan
dari kehidupan berdasarkan keutamaan dapat ditemukan pada daftar tradisional
mengenai tujuh
dosa pokok, yaitu: sombong,
kikir, cabul, gelojoh, iri hati, marah
dan malas).
Meskipun
ketujuh dosa ini bukan lawan seperti bayangan dalam cermin terhadap
keutamaan-keutamaan, namun kehidupan yang membuka diri kepadanya tidak sesuai
dengan kehidupan yang berdasar pada keutamaan.
Tujuan
kehidupan yang berkebajikan
ialah
menjadi serupa dengan Allah.
(Gregorius
dari Nisa)
Kebajikan Manusiawi adalah sikap yang teguh, kecenderungan yang dapat
diandalkan, kesempurnaan akal budi dan kehendak yang tetap, yang mengarahkan
perbuatan kita, mengatur hawa nafsu
kita dan membimbing tingkah laku kita supaya sesuai dengan akal
budi dan iman.
Mereka
memberi kepada manusia kemudahan, kepastian dan kegembiraan untuk menjalankan
kehidupan moral secara baik. Manusia yang berkebajikan melakukan yang baik dengan sukarela.
Kebajikan moral diperoleh
oleh usaha manusia. Ia adalah buah dan sekaligus benih untuk perbuatan baik
secara moral; ia mengarahkan seluruh kekuatan manusia kepada tujuan, supaya
hidup bersatu dengan cinta ilahi.
Kebajikan manusia yang diperoleh melalui pendidikan, latihan, dan
ketekunan dalam usaha, dimurnikan dan
diangkat oleh rahmat ilahi. Dengan bantuan Allah menggembleng watak dan
memberi kemudahan dalam melakukan yang baik.
Kalau seseorang
mengasihi kebenaran, maka kebajikan adalah hasil jerih payah
kebijaksanaan. Sebab ia
mengajarkan menahan diri dan
berhati-hati, keadilan
dan keberanian (Keb 8:7).
Kebijaksanaan adalah kebajikan yang membuat budi praktis rela, supaya dalam tiap situasi mengerti kebaikan yang benar dan memilih sarana yang tepat untuk
mencapainya. Kebijaksanaan langsung
mengatur keputusan hati nurani.
Berkat
kebajikan ini kita menerapkan prinsip-prinsip moral tanpa keliru atas situasi
tertentu dan mengatasi keragu-raguan tentang yang baik dan buruk yang harus
dielakkan.
- Orang yang bijak
memperhatikan langkahnya (Ams 14:15).
- Kebijaksanaan
ialah akal budi benar sebagai dasar untuk bertindak (St. Tomas).
Keadilan sebagai kebajikan moral adalah kehendak yang tetap dan teguh untuk memberi kepada Allah dan sesama,
apa yang menjadi hak mereka.
Keadilan
terhadap Allah dinamakan orang ‘kebajikan penghormatan kepada Allah (virtus
religionis). Keadilan terhadap manusia mengatur, harmoni yang memajukan
kejujuran terhadap pribadi-pribadi dan kesejahteraan bersama.
- Engkau harus
mengadili orang sesamamu dengan kebenaran (Im 19:15).
- Hai tuan-tuan,
berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan
di sorga (Kol 4:1).
Keberanian adalah kebajikan moral yang membuat tabah dalam kesulitan dan ketekunan dalam mengejar yang
baik. Ia meneguhkan kebulatan tekad, supaya melawan godaan dan supaya
mengatasi halangan-halangan dalam kehidupan moral.
Kebajikan
ini memungkinkan untuk mengalahkan ketakutan terhadap kematian dan untuk
menghadapi segala pencobaan dan penghambatan. Ia juga membuat orang rela untuk mengurbankan kehidupan sendiri
bagi suatu hal yang benar.
- Tuhan itu
kekuatanku dan mazmurku (Mzm 118:14).
- Dalam dunia kamu
menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia
(Yoh 16:33).
Penguasaan diri adalah kebajikan moral yang mengekang kecenderungan kepada berbagai macam kenikmatan dan yang
membuat kita mempergunakan benda-benda duniawi dengan ukuran yang tepat.
Manusia
yang menguasai diri mengarahkan kehendak indrawinya kepada yang baik, mempertahankan
kemampuan sehat untuk
menilai.
- Janganlah
menuruti segenap keinginanmu, melainkan jauhkanlah dirimu dari segala nafsumu
(Sir 18:30).
Kebajikan ilahi adalah dasar
jiwa, dan tanda pengenal
tindakan moral orang Kristen. Mereka membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral.
Mereka
dicurahkan
oleh Allah ke dalam jiwa umat beriman, untuk memungkinkan
mereka bertindak sebagai anak-anak Allah dan memperoleh hidup abadi. Mereka
adalah jaminan mengenai kehadiran Roh Kudus dalam kemampuan manusia.
Ada
tiga
kebajikan ilahi (1 Kor 13:13):
Iman adalah
kebajikan Allah, olehnya kita percaya akan Allah dan segala sesuatu yang telah
Ia sampaikan dan wahyukan kepada kita dan apa yang Gereja kudus ajukan supaya
dipercayai. Karena Allah adalah kebenaran itu sendiri.
- Dalam iman
‘manusia secara bebas menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah (DV 5). Karena
itu manusia beriman
berikhtiar untuk mengenal dan
melaksanakan kehendak Allah.
- Orang benar akan
hidup oleh iman (Rm 1:17).
- Hanya iman
yang bekerja dalam kasih (Gal
5:6).
- Iman tanpa
perbuatan-perbuatan adalah mati (Yak 2:26).
- Setiap orang yang
mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang
di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga kan
menyangkalnya di depan Bapa-Ku di sorga (Mat 10:32-33).
Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita
harapkan
dan bukti
dari segala sesuatu yang tidak kita
lihat
(Ibr 11:1)
Iman
merupakan Misteri agung yang sulit dipahami. Satu-satunya cara untuk memahami
iman adalah hidup dalam iman.
Beriman kepada Yesus berarti memutar haluan untuk menyerahkan seluruh hidup kita kepada-Nya dan menemukan di dalamnya kegembiraan
yang lebih besar daripada semua kegembiraan dan penderitaan yang sementara
dalam kehidupan ini.
Iman tumbuh
karena
pengalaman akan iman orang lain
dengan mengambil bagian dalam
kehidupan komunitas iman.
Pertumbuhan iman diukur
bukan oleh pendapat atau harapan orang lain tetapi hanya dengan ukuran-ukuran Injil.
Hidup menjadi rapuh bila iman
lemah atau tidak ada sama sekali.
Memiliki
iman hidup akan lebih
berarti dan memiliki tujuan.
Pandangan yang keliru bahwa iman pada dasarnya menghendaki kita untuk
mematikan daya nalar supaya dapat menerima sesuatu yang tidak masuk akal yang
disebut “iman buta” tidak mendapat tempat di sini.
“Iman buta”
seperti ini dapat ditemukan dalam ucapan orang yang mengatakan, “hanya dengan iman kamu akan memahaminya”
»
kalimat ini berarti kita tidak perlu bertanya dan memiliki keraguan. Pandangan
ini seringkali digunakan orang sebagai penjelasan atas pertanyaan mengapa kita
harus menerima dokrin agama.
Untuk
beriman kita perlu bukti, iman tanpa bukti tidak bisa dipertanggungjawabkan. Allah selalu
menjawab iman yang
mempertanyakan (Adrienne vor Speyr).
Ajaran Gereja Katolik menjawab
pertanyaan yang paling mendasar dalam hidup kita. Pertanyaan-pertanyaan ini
hanya bisa dijawab dengan memuaskan jika kita punya keterbukaan hati terhadap rahmat Tuhan,
menerima apa yang dinyatakan Yesus melalui Gereja yang didirikan-Nya.
Untuk
menegaskan kembali ajaran Gereja (yang sudah berakar sebelumnya) dan menjaganya
terhadap serangan ajaran-ajaran sesat/menyimpang, Gereja mengadalan Konsili.
Dan Konsili menghasilkan Magisterium (Wewenang mengajar Gereja).
Iman
bukanlah “penopang”, “tempat pelarian”, atau “jaket pengaman” sebagaimana
anggapan orang. Iman lebih sebagai kaki untuk melompat daripada tiang untuk bertaut;
lebih sebagai dorongan untuk
mengambil resiko daripada pelarian; lebih sebagai sumber ketidakamanan daripada sumber keamanan.
Kadangkala
orang berpikir tentang iman sebagai sumber keamanan yang mutlak. Padahal iman
sejati menjadi sumber keamanan hanya dalam pengertian yang sama seperti cinta
dalam suatu perkawinan yang baik menjadi sumber keamanan, atau hubungan saling
menyayangi di antara dua sahabat menjadi sumber keamanan. Kita tidak tahu ke
mana perkawinan atau persahabatan itu membawa kita.
Dalam
pengertian ini, iman paling tepat digambarkan sebagai sebuah petualangan. Atau juga dapat
dilihat sebagai paradoks: menghibur yang menderita dan membuat menderita yang nyaman.
Iman adalah suatu
pengalaman jatuh bangun, dan bukan sekali jadi. Iman tidak memastikan
ke mana anda akan melangkah tetapi memastikan bahwa anda akan melangkah ke mana
pun. Ibaratnya perjalanan tanpa peta. Keraguan bukanlah musuh iman tetapi elemen iman (Tilich)
Apa
yang tidak disadari orang adalah resiko agama. Mereka menganggap iman sebagai
selimut penghangat di tengah cuaca yang dingin membeku, padahal iman
adalah salib, jauh lebih
sulit untuk percaya daripada tidak percaya. ... Jangan berharap iman akan
memuluskan semuanya bagimu. Iman adalah kepercayaan,
bukan kepastian (Flanerry O’Connor).
Kita
benar-benar menghayati iman kita hanya dalam dan dengan dan melalui orang-orang
beriman yang adalah Gereja, komunitas umat beriman.
Tujuan utama dari
komunitas iman bukan untuk
menyediakan rahim hangat bagi setiap orang untuk mengungsi dari dunia, tetapi untuk membangun komunitas doa dan
pelayanan.
Hubungan
yang paling penting dalam kehidupan iman bukan hubungan dalam pengertian
“persekutuan”, melainkan hubungan antara orang-orang beriman dan yang terpanggil
oleh iman untuk saling
peduli.
Komunitas iman bukan sekedar berkumpul bersama orang lain saat
perayaan Ekaristi atau minum kopi bersama. Tetapi itu suatu realitas yang jauh
lebih dalam. Komunitas perlu bagi
iman dan merupakan ekspresi
iman.
Iman yang dangkal adalah iman
yang tidak dapat bertahan dalam keheningan, yang tidak dapat bertahan
tanpa disibukkan terus menerus oleh interaksi dalam komunitas.
Iman menuntut
kita mampu menyendiri dengan Allah, karena hanya ketika kita dapat menemukan Allah
dalam kesendirian, kita
dapat menemukan Allah dalam komunitas.
Sesungguhnya
tanpa
kesendirian tidak
mungkin bisa menjalani suatu kehidupan rohani. Kesendirian diawali dengan menyediakan waktu dan
tempat untuk Tuhan. Jika kita sungguh percaya bahwa Tuhan tidak hanya
ada, tetapi juga secara aktif hadir dalam hidup kita – menyembuhkan, mengajarkan,
dan membimbing – maka kita perlu menyediakan waktu dan tempat untuk memberi Dia
perhatian yang tidak terbagi-bagi (Henry Nouwen).
Ketika
kita mampu mengenal
Roh Allah pemberi kehidupan di tengah kesendirian kita, dan oleh
karenanya mampu menegaskan identitas
sejati kita, kita pun dapat
melihat Roh Allah yang sama itu berbicara
kepada kita melalui sesama kita. Dan ketika kita telah mampu
mengenal Roh Allah pemberi hidup sebagai sumber dalam kehidupan bersama kita, kita pun akan lebih siap untuk mendengar
suara-Nya dalam kesendirian (Henry Nouwen).
Komunitas
yang dimaksud tidak dalam pengertian yang dangkal, tempat orang-orang sekedar
berkumpul untuk pelarian dan pengungsian.
Komunitas sebagai
disiplin merupakan upaya untuk
menciptakan ruang bebas dan hampa di antara manusia yang bersama-sama melaksanakan ketaatan sejati.
Melalui disiplin komunitas kita mencegah diri kita dari kebersamaan dalam
ketakutan dan kesendirian dan menyiapkan
ruang bebas untuk mendengarkan suara Allah yang membebaskan (Henry Nouwen).
Komunitas tidak harus
berkumpul bersama secara fisik,
.... Ruang bagi Allah dalam komunitas melebihi semua batasan waktu dan
tempat (Henry
Nouwen).
Orang
sederhana tidak melihat iman yang ada dalam dirinya, tetapi Allah membiarkan
orang lain yang melihatnya dengan jelas.
Harapan adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita rindukan
Kerajaan Sorga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus
dan tidak mengandalkan kekuatan kita,
tetapi dengan bantuan rahmat Roh
Kudus.
Dalam tiap situasi kita harus berharap, agar dengan
rahmat Tuhan kita ‘dapat bertahan sampai akhir... dipersatukan bersama Kristus,
mempelai-Nya, dalam kemuliaan sorga’.
- Marilah kita
berpegang teguh kepada pengakuan tentang harapan kita, sebab Ia yang
menjanjikannya, setia (Ibr 10:23).
- Allah telah
melimpahkan Roh Kudus kepada kita melalui Yesus Kristus, Juru Selamat kita,
supaya kita, sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya,
berhak menerima kehidupan abadi, sesuai dengan pengharapan kita (Tit 3:6-7).
- Harapan Kristen
dibentangkan langsung pada awal kotbah Yesus dalam Sabda Bahagia. Pengharapan
tidak mengecewakan (Rm 5:5).
- Pengharapan itu
adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke
belakang tabir, di mana Yesus telah masuk sebagai Perintis bagi kita (Ibr
6:19-20).
- Ia juga merupakan
senjata yang membela kita dalam perjuangan keselamatan kita: “Baiklah kita
sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan
keselamatan” (1 Tes 5:8).
- Harapan memberi
kepada kita kegembiraan dalam pencobaan sekalipun: Bersukacitalah dalam
pengharapan, sabarlah dalam kesesakan (Rm 12:12).
- Ia mengungkapkan
diri dalam dan dikuatkan oleh doa, terutama doa Bapa Kami.
Keutamaan
pengharapan adalah pokok dalam seluruh Kitab Suci. Pengharapan adalah keutamaan yang memampukan kita untuk
menghadapi masa depan yang tidak pasti. Pengharapan bukan sifat alami manusia.
Pengharapan berakar dalam hubungan kita dengan Allah dan keterbukaan kita
kepada cinta Allah.
Di
sinilah letak perbedaan mendasar antara pengharapan dan optimisme. Jika optimisme
percaya bahwa hanya ada yang
baik-baik saja dalam hidup ini, maka pengharapan justru percaya bahwa kehidupan itu pantas untuk
dijalani entah keadaannya menyenangkan ataupun tidak.
Pengharapan
mempunyai cakupan makna yang lebih luas daripada sekedar optimisme belaka.
Makna pengharapan itu kekal-abadi, sementara optimisme dibatasi oleh ruang dan
waktu di sini dan kini. Pengharapan tampil di malam yang paling gelap, lama
setelah optimisme menghilang.
Pengharapan memampukan
kita untuk bertahan dalam setiap kesulitan maupun penderitaan yang
mungkin dialami dalam hidup sekarang ini.
Ketika
kita sedang berada dalam situasi sulit, pengharapan akan berbisik kepada kita, “Ini juga pasti akan berlalu.”
Jadi, pengharapan
membuat mungkin bagi kita untuk tetap
setia kepada janji-janji kita.
Pengharapan
menuntut kita untuk menjadi orang yang bebas, orang yang dibebaskan dari
ketergantungan pada hal-hal lain selain Allah. Pengharapan memperlihatkan
dirinya dalam pengetahuan bahwa kita hanya dapat berusaha semampu kita untuk membawa perubahan, tetapi
yang menentukan adalah Allah.
Allah pasti bekerja menurut waktu-Nya yang tepat, yang seringkali tidak
dipahami oleh manusia.
Pengharapan sejati menjadi sangat luar biasa karena bersumber hanya pada kepercayaan akan Sabda Allah
dan janji-Nya, bukan pada bukti nyata (Rm 4:18-19).
Pengharapan Kristiani didasarkan
pada kemurahan cinta Allah yang dinyatakan kepada kita secara
terus-menerus dan teristimewa dengan pengorbanan Yesus untuk mati di Kayu
Salib.
Pengharapan tidak mengharapkan apapun; tidak menuntut kepada Allah hasil tertentu. Pengharapan
tidak mengatakan, “Inilah yang saya harapkan, dan jika saya tidak
mendapatkannya, Engkau keterlaluan Tuhan.”
Sebaliknya,
pengharapan
mengatakan, “Inilah
hidupku, kuserahkan ke dalam tangan-Mu, terjadilah kehendak-Mu,
karena hanya Engkaulah yang tahu apa yang terbaik bagiku.”
Pengharapan
yang sesungguhnya adalah jika kita bersedia membuka hati selebar-lebarnya
terhadap penyelenggaraan Tuhan, yakni apapun kehendak-Nya, pasti yang terbaik.
Pertanyaan
mendasar adalah bagaimana memelihara pengharapan dalam kehidupan kita
sehari-hari di dunia. Kita ingin menjadi orang berpengharapan, tetapi kita
harus melawan godaan kesombongan dan keputusasaan.
Bagaimana
kita memelihara pengharapan sejati tanpa bersikap sombong? Bagaimana kita bisa
menjadi orang berpengharapan tanpa menjadi orang optimis belaka, yang dapat dengan mudah menghantar kita
kepada keputusasaan?
Dengarklan!
Pengharapan
tidak berasal dari keinginan yang
besar dan terus-menerus, secara desakan batin untuk “bersikap penuh
pengharapan”.
Pengharapan
tidak
datang dari sikap berpura-pura menganggap tidak ada kegelapan, penderitaan, ketidakadilan,
kemiskinan, kesakitan atau kemalangan yang terjadi sehari-hari.
Pengharapan tidak
tumbuh dalam masyarakat yang mengajarkan kita untuk hidup bagi diri
sendiri dan dalam budaya yang menyombongkan sebuah pencapaian sebagai cara
satu-dsatunya mengalami kebahagiaan sejati.
Pengharapan juga tidak
tumbuh dalam dunia yang mengutamakan individualisme dan yang
mengajarkan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita percaya dan andalkan adalah
diri sendiri.
Keutamaan pengharapan
bertahan dan bertumbuh ketika
kita tahu dari pengalaman bahwa hidup kita bernilai hanya jika kita melayani dan peduli pada orang lain; jika kita
tahu dari pengalaman sendiri bahwa kebahagiaan dialami manusia ketika ia lebih mengutamakan kepentingan
orang lain daripada mencintai diri sendiri, dan pengharapan akan memenuhi hati manusia
ketika kita belajar dari pengalaman
pribadi tentang apa artinya mencintai Allah.
Kasih adalah kebajikan ilahi yang paling utama
(1 Kor
13:13), dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya
demi diri-Nya sendiri dan karena kasih kepada Allah kita mengasihi sesama seperti diri kita
sendiri.
Yesus
membuat kasih menjadi suatu perintah baru. Karena Ia mengasihi orang-orang-Nya
‘sampai pada kesudahannya’ (Yoh 13:1), Ia menyatakan kasih yang Ia terima dari
Bapa-Nya.
Melalui
kasih satu sama lain para murid mencontoh kasih Yesus, yang mereka terima dari
Dia. Karena itu Yesus berkata: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah
juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku (Yoh 15:9). Dan
juga: “Inilah perintah-Ku: yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku
telah mengasihimu (Yoh 15:12).
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia
tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan
dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan
kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia
bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, mengharapkan segala
sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Kor 13:4-7).
Cinta Kristiani,
agape, memberikan pelayanan demi kebaikan orang lain, dan
“kesukaan” sering tiidak berhubungan dengan itu. Keutamaan cinta sejati
Kristiani bukan cinta romantis,
walaupun tentu saja tersedia tempat bagi cinta semacam itu. Keutamaan cinta
merupakan dasar mutlak bagi kehidupan Kristiani, sehingga kita harus memberi
perhatian penuh kepadanya.
Cinta adalah suatu
tindakan atau aksi, bukan suatu
perasaan: Cinta adalah perhatian yang aktif terhjadap kehidupan dan
pertumbuhan dari sesuatu yang kita cintai. Ketika perhatian yang aktif ini
tidak ada maka tidak ada cinta (Erich Fromm, seorang
psikolog).
Kunci untuk mencintai adalah pengalaman
dicintai, dan pengalaman yang terpenting sehubungan dengan ini adalah
pengalami dicintai Allah. Tidak ada suatu pun yang bisa menggantikan kenyataan
saya dicintai tanpa syarat oleh Allah.
Sekali pengalaman dicintai – oleh
Allah, oleh orang lain,
atau oleh keduanya – terjadi yang membentuk perspektif kita tentang hidup dan
dunia, segala sesuatu menjadi berbeda.
Allah adalah awal
sumber cinta. Dalam seluruh Kitab Suci, Allah tampil sebagai kekasih yang setia bagi umat-Nya, dan
hubungan antara Allah dengan setiap pribadi digambarkan sebagai hubungan intim
penuh kasih. Cinta
sebagai hati dan jiwa hidup Kristen.
Cinta Allah menopang
dan mendukung semua cinta yang lain. Bahkan sebelum kita mencintai dengan baik,
kita harus membuka hati kepada cinta
Allah sehingga cinta kita mampu membawa pengaruh yang menyembuhkan kita dari dalam. Tujuannya supaya memberi ruang
kepada apa yang disebut “doa cinta kontemplatif”.
Doa
ini dapat berupa membiarkan Sabda Allah meresap masuk dan tinggal di dalam hati kita dengan membaca Kitab
Suci secara perlahan dan merenungkannya, duduk dan berlutut dengan
tenang beberapa saat, sekedar membuka diri kepada cinta Allah. Kosentrasi harus
dijaga dengan berulang-ulang
mengucapkan doa singkat atau ayat Kitab Suci secara perlahan: ,”Tuhanku
dan Allahku”; “Ya Allah, Engkaulah Allah yang kucari”; “Cinta Allah memenuhi
hatiku.”
Orang
yang menjalankan doa cinta kontemplatif secara teratur setiap hari akan menemukan kemampuan baru yang lebih
hidup untuk mencintai dan dicintai.
Keutamaan
cinta akan menjadi sejati hanya jika cinta itu bersifat aktif, dalam arti cinta
itu harus membantu orang yang dicintai untuk merasa dicintai. Tanpa
memberi dan menerima cinta, hidup
kita akan hampa dan tanpa tujuan. Dengan cinta, tidak soal apa pun yang
terjadi, hidup ini sangat berharga.
(Sumber: Warta KPI TL No.135/VII/2016 » 7 Pilar dasar kehidupan Kristiani, Mitch Finley: KGK No.1803-1829).