Di pagi yang sungguh cerah, matahari bersinar dengan mempesona. Bunga-bunga aneka warna bermekaran di taman, indah sekali, seolah-olah mereka tersenyum menyambut datangnya fajar baru.
Tak ada satu bunga pun yang tampak layu, bahkan bunga yang masih kuncup terlihat begitu segar dan menawan hati. Burung-burung beterbangan dan hinggap di dahan-dahan pohon juga tak mau kalah menyemarakkan suasana pagi hari itu dengan kicauan mereka yang merdu bagaikan suatu simfoni indah gubahan seorang komposer terkenal.
Ya... memang komposer besar itu tak ada tandingannya, tak ada yang dapat memberikan keindahan suara pada burung-burung itu kalau bukan Dia Sang Pencipta.
Suasana pagi yang indah, semakin semarak dengan bunyi air dari kolam yang terletak di tengah-tengah taman. Kolam yang berisikan dengan beraneka ragam jenis ikan.
Sejuk rasanya hati ini, mendengarkan suara air terjun di kolam itu, belum lagi rumput di taman yang menghampar hijau seperti karpet yang baru saja dibersihkan. Segar sekali dipandang mata.
Pasti setiap orang yang berada di taman tersebut akan merasa betah dan tiada henti berdecak kagum melihat keindahan karya Sang Pencipta. Sungguh, suasana pagi itu dapat mengangkat hati untuk melantunkan puji-pujian bagi Sang Maha Karya.
Namun ... di sebuah sudut taman di bawah pohon rindang, seorang gadis muda sedang duduk bersandar pada batang pohon besar, kedua kakinya ditarik menempel pada dada dan meletakkan kedua siku tangannya di atas lutut kaki.
Kerut-kerut di dahinya terlihat jelas menandakan pikirannya yang sedang kacau. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dia termenung, terlihat begitu murung dan sedih ... memilukan hati orang yang melihatnya.
Sungguh sangat ironis keadaannya. Di tengah-tengah suasana pagi yang cerah ini, dia justru terbenam dan tenggelam dalam kekelaman hatinya. Tak sempurnalah rasanya keindahan pagi jika ada seorang anak manusia yang masih belum dapat menikmatinya.
Tiba-tiba seekor burung kecil menghampirinya dan terbang persis di depannya. Burung kecil tersebut berkicau lembut seraya menatap wajah gadis muda, seolah-olah dengan kicauannya ia bertanya: “Wahai gadis muda, mengapa wajahmu murung? Tidakkah engkau lihat pagi yang begitu indah dan cerah:”
Gadis itu tetap diam dan tak menggubris ocehan burung kecil. Ia semakin terbawa pada lamunannya. Namun burung kecil tak mau juga beranjak dari hadapan sang gadis.
Malahan, sekarang ia hinggap di lengan sang gadis dan lagi-lagi burung kecil berkicau seolah bertanya: “Gadis muda, lihatlah wajahmu yang cantik itu menjadi sangat kacau dan jelek, rupanya engkau sungguh-sungguh mempunyai masalah yang berat?”
Kali ini sang gadis menatap sejenak ke arah burung kecil, namun segera dia melayangkan kembali pandangannya ke depan. Burung kecil pun seolah mengerti, ia terbang berputar-putar mengelilingi tubuh sang gadis, tanpa berkicau sedikitpun. Dan ... tiba-tiba ... tes ... tes ... tes ... air mata jatuh satu persatu membasahi pipinya.
Melihat keadaan gadis muda, segera burung kecil seolah-olah ingin menghiburnya, ia kemudian hinggap di atas pundak sang gadis tersebut, dan mulai berkicau kembali.
Kali ini kicauannya terdengar seperti sebuah nyanyian di telinga sang gadis. Mendengar kicauan itu, sang gadis perlahan-lahan menoleh ke arah burung kecil tadi dan tiba-tiba ia berkata lirih hampir tak terdengar: “Ah, burung kecil yang manis, betapa bahagianya hidupmu, engkau terus saja bernyanyi sepanjang hari sambil terbang sesuka hatimu. Takkan ada kesedihan di hatimu, tidak seperti diriku yang hidup tanpa cinta ...”
Mendengar ucapan sang gadis tersebut, burung kecil pun seolah mengerti, ia berhenti berkicau dan menatap wajah sang gadis.
Dalam tatapannya, ia berkata: “Gadis muda, masalah apakah yang membuatmu begitu sedih? Mengapakah engkau katakan hidupmu tanpa cinta? Tak tahukah engkau, bahwa engkaulah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, yang diciptakan karena cinta-Nya? Mengapakah engkau justru iri terhadapku?”
Gadis muda terdiam sejenak dan akhirnya ia mengeluarkan segala kekesalan hatinya: “Oh burung kecil, engkau tak tahu betapa aku merana dan kesepian. Tak ada seorang pun di sekelilingku yang memperhatikan aku, semua menganggap aku tak ada, bahkan seolah-olah Tuhan pun ikut meninggalkan diriku. Hidupku sungguh tidak berarti ...”
Setelah selesai berbicara ia pun menangis tersedu-sedu. Burung kecil tetap setia berada di samping gadis tersebut, dan sejenak kemudian sang gadis kembali mengeluh: “Ah... aku adalah orang yang tak beruntung, semua orang menjauhiku karena keadaanku yang tak sempurna, aku yang cacat ini. Teman-temanku, keluargaku, semua tak ada lagi yang memperdulikan keberadaanku. Tuhan ... dimanakah Ia saat ini, di manakah Ia saat kuperlukan? Aku putus asa ...”
Untuk beberapa saat baik sang gadis maupun burung kecil terdiam tak bersuara. Masing-masing seolah terbawa pada pikirannya sendiri-sendiri.
Kemudian, burung kecil berpindah tempat dan terbang di hadapan wajah sang gadis, dan mulai berkicau perlahan-lahan. Kicauannya kali ini seolah berkata: “Wahai gadis yang cantik, ketahuilah bahwa Allah sang pencipta tidak pernah meninggalkan engkau. Sekalipun saat ini orang-orang di sekelilingmu tak memperhatikan engkau, namun Allah tetap setia memperhatikan dan mengasihi engkau.
Lihatlah aku, seekor burung kecil, yang hidup karena kasih-Nya, Ia yang menyediakan segala sesuatu bagiku sehingga aku tetap hidup.
Lihatlah bunga-bunga di taman, semua hidup dan berkembang indah karena kasih Tuhan. Tuhan memperhatikan semua ciptaaan-Nya baik kecil mau pun besar, semua tak luput dari pandangan-Nya.
Aku yang kecil tetap diperhatikan-Nya apalagi engkau wahai gadis cantik, engkau adalah ciptaan-Nya yang sempurna karena engkau secitra dengan diri-Nya sendiri.
Meskipun keadaan fisikmu tak sempurnna, Tuhan tetap mencintaimu karena Ia yang membentukmu dan menjadikan indah di mata-Nya.
Maka, janganlah engkau terus menuduh bahwa Ia menjauh dan pergi darimu. Tuhan tak pernah pergi, Ia ada dalam relung hatimu.”
Dalam hatinya ia teringat kembali apa yang pernah dibacanya: “Allah menganggap engkau pantas menderita demi cinta kasih-Nya, itulah bukti terbesar kelemah-lembutan yang dapat diberikan-Nya kepadamu sebab penderitaanlah yang membuat kita serupa dengan-Nya.” (St. Theresia Lisieux)
Perlahan-lahan mata gadis muda tersebut mulai bersinar, kemudian dari bibirnya yang tipis terlihat sebaris senyum, dia memandang burung kecil itu sambil bergumam pelan: “Burung kecil yang baik, aku tak tahu mengapa engkau tak lelah menemaniku yang sedang kacau ini, namun aku bersyukur karena kehadiranmu telah membuka hatiku. Ya ... benarlah bahwa Tuhan sang pencipta itu tak pernah menjauh dariku, Ia ada di hatiku, Ia memelihara hidupmu dan bunga-bunga itu, tentu Ia juga memelihara dan memperhatikanku.
Ah... burung kecil yang indah, Tuhan telah mengirimmu untuk menyadarkan aku akan kasih-Nya. Betapa bodohnya aku yang telah menganggap Ia meninggalkan aku. Terima kasih wahai burung kecil ...”
Walaupun di dalam kehidupan ada banyak masalah, penderitaan dan beban yang berat, namun dengan kepercayaan akan kasih Tuhan maka semua itu menjadi ringan.
(Sumber Warta KPI TL No. 73/V/2010 » Kemelut Sebuah Hati, HDR Januari-Februari 2004 Tahun VIII).