Seorang kanak-kanak hanya dapat tersenyum, kalau ia melihat betapa ayahnya tersenyum dengan penuh cinta kasih kepadanya.
Menengadah ke atas adalah jawaban logis atas senyum Allah; mengangkat tangan pada waktu berdoa berarti membiarkan diri dipenuhi/dialiri cinta dan berkat yang dipersiapkan Allah bagi mereka yang percaya kepada-Nya.
Menengadah dengan tangan terangkat mengungkapkan bahwa anak-anak Allah tidak mengharapkan uang atau kehormatan, melainkan pengalaman yang membahagiakan (mengenal dan dikenal oleh Allah).
Mengangkat tangan melambangkan keseluruhan hakikat dan eksistensi kita, yang mencari wajah Allah, mencari kemuliaan dan kedamaian-Nya (Mzm 28:2; 1 Tim 2:8).
Musa, yang berdiri dengan tangan terangkat (Kel 17:11-12), mengajarkan kepada kita bahwa semua dan segala keberadaan kita dan semua yang kita miliki adalah semata-mata rahmat: orang beriman menerima rahmat Allah, ia menjadikan tubuhnya sebagai doa.
Kita tidak dapat melaksanakan tugas dengan berkenan pada Allah, kalau sebelumnya kita tidak mengangkat hati menengadah kepada-Nya, sebagai tanda syukur atas pandangan cinta yang selalu diarahkan-Nya kepada kita.
Bersyukur dan berterima kasih adalah saluran, yang melaluinya semua pemberian yang lain disalurkan.
Sikap tidak tahu berterima kasih adalah suatu sikap yang jelek dan jahat, karena sikap demikian menghalangi manusia untuk memuji Allah, dan membuat orang melihat waktunya seolah-olah disia-siakan untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna.
Barangsiapa tidak melihat senyum seorang Bapa yang baik dalam Allah, ia tidak akan pernah mengalami kegembiraan dan sukacita dari doa.
Nafas adalah suatu kebutuhan. Orang tidak boleh bernafas sembarangan. Barangsiapa bernafas sembarangan akan sakit. Barang siapa tidak bernafas akan mati. Tanpa nafas tidak ada bahasa. Tanpa nafas tidak ada kehidupan.
Kita berdoa terutama dengan pernafasan, sebagai satu simbol hubungan cinta kasih antara Bapa Surgawi dan Putra: pernafasan kita akan menjadi simbol Roh Kudus, yang adalah hadiah dari Bapa kepada Sabda Ilahi, sementara Putra sendiri “hidup” sebagai pemberian/hadiah dari Bapa. Roh Kudus” hadiah/karunia yang luar biasa, karunia ciptaan dari “pernafasan” antara Bapa dan Putra. Cinta itu menuntut suatu iman. Nafas ilahi menciptakan harmoni.
Tanpa nafas doa, iman menjadi keropos dan ibadat menjadi rongga tanpa roh. Maka soal nafas doa adalah masalah hidup dan mati.
Doa adalah ciri khas agama. Tanpa doa, tidak ada agama Kristen yang sungguh-sungguh hidup dan berkembang - dalam doa orang dapat mengenal ketulusan iman.
Sebagai bahasa iman, doa sekaligus adalah jiwa dari ibadat. Tanpa nafas doa, ibadat menjadi tanpa roh, tanpa hidup, atau mati. Liturgi kita memiliki banyak doa, tetapi doa-doa ini sering hanya dibicarakan dan tidak didoakan.
Doa kristiani pada dasarnya adalah doa “Trinitaris”. Yesuslah yang selalu berdoa. Ia menyembah Bapa dalam Roh dan kebenaran. Dan kita adalah tubuh Kristus: kita melanjutkan doa Yesus dari Nasaret ini sampai ke ujung dunia.
Doa Yesus bersifat trinitaris, karena dipahami sebagai rahmat dari Bapa, dan sebaliknya Ia menyerahkan diri-Nya sendiri dalam Roh Kudus kepada Bapa. Kalau Yesus berdoa, Ia tampil mewakili kita semua di hadapan Bapa surgawi, karena Ia adalah rahmat pemberian dari surga untuk segenap umat manusia (Yoh 17).
Berdoa berarti berjuang melawan diri kita sendiri dan melawan tipu muslihat penggoda yang melakukan segala-galanya untuk mencegah manusia dari doa, dari persatuan dengan Allah (KGK 2725).
Permohonan keempat dan kelima dari doa Bapa Kami (berilah kami... ampunilah kami ... janganlah masukkan kami ... bebaskanlah kami...) berhubungan dengan kehidupan kita: kita harus dikuatkan oleh makanan dan disembuhkan dari dosa. Dua permohonan terakhir menyangkut perjuangan doa: perjuangan kita demi kemenangan hidup (KGK 2805).
Permohonan ini (janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan) berakar dalam permohonan yang mendahuluinya, karena dosa kita adalah hasil dari persetujuan kita kepada pencobaan. Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun (Yak 1:13). Kita berada dalam perjuangan “antara daging dan roh” ~ memohon roh pembedaan dan kekuatan (KGK 2846).
Allah bergulat dengan kita agar kita tidak terjerumus dan tenggelam dalam kejahatan dan terpukul kalah dalam pencobaan (Allah tidak mencobai siapa pun; Ia tidak “mendorong” siapa pun masuk ke dalam pencobaan).
Ia bergulat dengan kita untuk membebaskan kita dari kejahatan, yang selalu kita kejar, karena kejahatan itu lebih cepat melekat di mata daripada kebaikan, dan karena kita tidak mau menghayati ajakan Rasul Paulus: “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rm 12:21). Pergulatan dan pergumulan dengan Allah seringkali tersembunyi.
Kemenangan dalam perjuangan yang demikian itu hanyalah mungkin di dalam doa. Yesus mengalahkan penggoda sejak awal (Mat 4:1-11) sampai kepada perjuangan terakhir dalam sakratulmaut-Nya (Mat 26:36-44) melalui doa.
Tanpa henti-hentinya Roh Kudus mengajak kita waspada (1 Kor 16:13; Kol 4:2; 1 Tes 5:6; 1 Ptr 5:8). Dalam godaan terakhir perjuangan kita di dunia ini kesungguhan permohonan ini menjadi nyata; Ia meminta ketabahan sampai akhir. “Lihatlah, Aku datang seperti pencuri. Berbahagialah dia yang berjaga-jaga (Why 16:15) (KGK 2849).
Doa batin ialah mendengarkan Sabda Allah. Mendengarkan ini bukanlah pasif, melainkan suatu ketaatan iman. Dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar (KGK 2716-2717).
Kita harus tenang dalam egoisme kita, kesombongan kita – semua penyamun batin ini menguras segala tenaga dan perhatian untuk mendengarkan yang lain; diam yang menyelidiki secara cermat, agar jangan terjebak pada ilusi dan kesombongan yang dianggap sebagai pengalaman-pengalaman mistis.
Orang yang bersikap arogan, ingin diagungkan (tidak rendah hati), dia tidak dapat bertemu dengan sesamanya dalam dialog batin. Maka dia tidak dapat menengadah kepada Allah, doanya tidak mempunyai arti dan tidak menyentuh hati.
Suatu doa tanpa kata-kata lebih baik daripada banyak kata-kata tanpa doa (Gandhi)
Langkah pertama menuju doa yang benar adalah sikap mendengarkan Allah, yang selalu berbicara kepada kita dalam ciptaan dan dalam seluruh sejarah keselamatan.
Sekarang Ia berbicara kepada kita melalui peristiwa-peristiwa dalam kehidupan kita setiap hari. Kalau kita tidak mendengar-Nya, maka kita bersalah, berdosa, atau paling kurang terbuktilah kebodohan kita, suatu pikiran egoistis.
Untuk belajar seni berdoa, kita perlu menyiapkan waktu dan tempat tertentu bagi Allah, di bawah bimbingan Guru batin, yaitu Roh Kudus, dituntun oleh orang-orang yang “telah mengalami dan mengecap betapa baiknya Tuhan”.
Seni berdoa ini memberikan arti yang dalam pada eksistensi pribadi:
- Menolong untuk berkonsentrasi pada hal-hal yang hakiki.
- Melenyapkan kebimbangan dan ketakutan akan masa depan.
- Membebaskan orang dari ketakutan dasariah akan kebinasaan.
- Memberikan sukacita dan damai.
Dari pergaulan yang mesra dengan Allah yang setia, sabar dan penuh cinta, kita dapat menimba kekuatan untuk doa syafaat yang tabah. Sehingga doa itu dapat menyelamatkan dan menyembuhkan, membangun persatuan dan persekutuan dengan Allah dan menjadi sumber kebaikan dan tanpa kekerasan. Tanpa senjata, kita dapat tampil sebagai “pasukan Allah”.
Permohonan doa merupakan langkah berbalik kepada Allah (KGK 2629)
(Sumber: Warta KPI TL No. 69/I/2010 » Doa Nafas Hidupku, Bernhard Haring, CSsR).