Saya sudah terbiasa menyaksikan suami saya hidungnya buntu karena sinusitis. Pada hari Kamis (11 Maret 2009), bangun tidur pagi dia mengeluh hidungnya buntu total kanan kiri. Jadi nafasnya lewat mulut.
Jumat malam saya bawa dia ke seorang dokter THT. Di sana sinusitisnya diobati oleh dokter dan suami saya diberi 4 macam obat. Meskipun malam itu sudah minum 2 macam obat, tetapi dia merasa masih tidak enak nafasnya.
Besok paginya suami saya mengeluh mulai sakit dadanya. Lalu dia saya bawa ke dokter umum yang yang kebetulan mengambil spesialisasi paru-paru, yang tinggal sebelah rumah.
Pada saat suami saya diperiksa, kebetulan ada tukang sayur lewat. Ketika berbelanja, saya dipanggil dokter tersebut, katanya: “Bu Moel, ini hitungannya detik, sekarang juga bawa Bapak ke rumah sakit!”
Puji Tuhan, ada taksi di depan rumah. Sehingga suami saya dapat segera dibawa ke rumah sakit. Begitu sampai di UGD Siloam, dia langsung diperiksa ... ternyata sakit jantung ... lalu disuntik morfin dan lasix. Saat itu juga paru-parunya dirontgen, ternyata paru-parunya penuh berisi cairan. Karena nyeri di dada semakin parah, maka dia dibawa ke ICU.
Jam dua belas saya pulang untuk mandi dan makan. Jam setengah dua saya ditelpon anak saya yang menunggu di rumah sakit, dia mengatakan: “Mama, papa dalam keadaan kritis. Papa harus disuntik dengan Trombolitic, harganya empat juta enam ratus ribu.” Jawab saya: “Demi kebaikan papa, lakukan!”
Saya langsung balik ke rumah sakit lagi. Saya menyaksikan sendiri, begitu suami saya disuntik langsung pingsan dan muntah-muntah.
Ternyata adanya taksi di depan rumah itu bukan secara kebetulan.
Saya mempunyai usaha antar jemput karyawati dan anak-anak sekolah. Sehari sebelum kejadian di atas, sopir saya melaporkan bahwa mobil Panther yang dipakai untuk antar jemput rusak.
Sebagai tanggung jawab saya, saya putuskan anak-anak diantar naik taksi dengan dikawal sopir saya naik sepeda motor. Ternyata pada saat mendekati sekolah Petra, sopir saya lewat bagian depan sekolah, Embong Wungu, sedangkan taksi lewat bagian belakang sekolah, Embong Trengguli.
Menyadari kesalahan itu sopir saya segera mencari taksi yang ditumpangi anak-anak itu, tetapi dia tidak menemukannya. Karena sopir taksi itu belum dibayar oleh sopir saya, maka dia kembali ke rumah saya untuk menagih ongkosnya.
Di sinilah saya melihat betapa kasihnya Tuhan, Dia secara luar biasa menata kejadian demi kejadian atas keluarga kami. Pada saat kami membutuhkan taksi, Dia menyediakannya di depan rumah.
(Sumber: Warta KPI TL No. 61/V/2009).