Pada saat saya diundang rapat rekoleksi di lingkungan, rasanya malas untuk datang, karena tanggal tersebut berbenturan dengan rapat rekoleksi BIAK.
Lalu ketua lingkungan memberitahu bahwa rapat itu juga membicarakan Pramupas jenjang pertama. Di sini saya senang sekali dapat menghindar dari tanggungjawab ... tapi ketua lingkungan berkata: “Kalau gitu ditunda ae, wong sing rapat cuma orang tujuh.” Lalu saya menitipkan lembaran dari Pramupas yang harus diisi di rumah.
Tujuan yang ingin dicapai melalui 2 kegiatan (Pra Mupas dan Mupas) yang merupakan kesatuan proses adalah menggali pengalaman iman umat, merenungkan sabda Tuhan dan menemukan Ardas (Arah Dasar) Keuskupan Surabaya dimasa depan.
Sebelum Pramupas jenjang pertama, saya beserta ketua lingkungan mengikuti sosialisasi Pramupas. Syarat mengikuti Pramupas (Musyawarah Pastoral): semua orang yang ada di pertemuan jenjang pertama di tingkat lingkungan/kelompok kecil harus membahas pertanyan-pertanyaan di lembar Pramupas di rumah, pada pertemuan secara bergiliran mensharingkan pengalaman hidupnya.
Dan Pramupas jenjang kedua di tingkat paroki/induk kelompok harus diwakili oleh dua orang yang mengikuti Pramupas jenjang tingkat pertama.
Salah satu pertanyaan Pramupas: Bagaimana perasaan anda menjadi pengurus?
Banyak jawaban yang lesu. Tetapi ada satu Bapak berkata: “Saya merasa senang jadi pengurus. Karena di sini saya dapat sharing, saling menguatkan. Dengan kita menjadi pengurus, kita tahu sampai di mana kita berkarya bekerjasama dengan Roh Kudus. Ya... memang nggak enak jadi pengurus. Karena banyak umat yang menanggapi sesuatu setengah-setengah.”
Selama ini saya berpikir bahwa jiwa yang lelah hanya dapat disegarkan kembali melalui suatu retret besar. Ternyata pikiran saya itu salah.
Karena di pertemuan yang hanya dihadiri 7 orang, suasananya dapat hidup, masing-masing yang hadir mensharingkan pengalaman hidupnya, sehingga jiwa saya juga disegarkan kembali oleh Tuhan.
Agar hidup menggereja dapat berjalan dengan benar, hidup beriman itu harus terus dipelihara dengan cara berbagi waktu, pikiran, uang dll. Jadi dalam hidup menggereja, kita harus belajar memandang segala sesuatu bukan hanya diri sendiri saja, tetapi juga harus belajar memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain.
(Sumber: Warta KPI TL No. 63/VII/2009).