Cukupkah kita hanya percaya kepada Yesus lalu berbuat baik kepada siapa saja tanpa mengikatkan diri pada Gereja? Sekilas memang masuk akal dan sah-sah aja. Namun, sesungguhnya pandangan ini merupakan kesalehan semu.
Menerima Yesus sebagai Tuhan, tidak cukup lewat slogan di mulut dan percaya di hati saja. Perlu tindakan konkrit. Orang baru bisa dikatakan percaya dan menerima Yesus apabila secara definitif dia memberi diri dibaptis lewat apa yang dinamakan Sakramen Pembaptisan. Tanpa pembaptisan, percaya pada Yesus adalah omong kosong dan kepercayaan semu belaka.
Sakramen Baptis tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Gereja. Untuk menerima baptisan yang resmi, mau tidak mau, orang perlu datang pada Gereja dan minta pelayanannya lewat seorang imam.
Melalui pembaptisan, kita dilahirkan secara baru dan menerima benih hidup ilahi. Di sini, dalam arti tertentu, Gereja menjadi semacam Ibu atau Bunda yang melahirkan kita ke dalam hidup ilahi. Gereja menjadi Ibu dan kita ini adalah anak-anaknya, putra-putri Gereja.
Melalui pembaptisan, kita dilahirkan secara baru dan menerima benih hidup ilahi. Di sini, dalam arti tertentu, Gereja menjadi semacam Ibu atau Bunda yang melahirkan kita ke dalam hidup ilahi. Gereja menjadi Ibu dan kita ini adalah anak-anaknya, putra-putri Gereja.
Gereja tidak saja melahirkan kita ke dalam hidup ilahi, melainkan juga memelihara hidup kita lewat sakramen-sakramennya.
Misalnya, dalam Sakramen Ekaristi, tampak begitu besar cinta keibuan yang bisa kita nikmati dari Gereja. Kita diberi santapan roti surgawi berupa Tubuh dan Darah Tuhan sendiri. Gereja, sebagai Ibu, terus-menerus menyertai kita, tidak saja sampai kita dewasa, namun sampai akhir zaman, lewat kehadiran Roh Kudus.
Jikalau begitu, relakah atau tega hatikah kita meninggalkan Gereja sebagai Ibu yang telah melahirkan kita ke dalam hidup ilahi hanya demi alasan-alasan sepele?
Misalnya, dalam Sakramen Ekaristi, tampak begitu besar cinta keibuan yang bisa kita nikmati dari Gereja. Kita diberi santapan roti surgawi berupa Tubuh dan Darah Tuhan sendiri. Gereja, sebagai Ibu, terus-menerus menyertai kita, tidak saja sampai kita dewasa, namun sampai akhir zaman, lewat kehadiran Roh Kudus.
Jikalau begitu, relakah atau tega hatikah kita meninggalkan Gereja sebagai Ibu yang telah melahirkan kita ke dalam hidup ilahi hanya demi alasan-alasan sepele?
Mustahil kita percaya kepada Allah sebagai Bapa
tanpa mengakui Gereja sebagai bunda kita.
(St. Agustinus)
Gereja merupakan Sakramen Keselamatan bagi dunia. Maksudnya, Gereja mengemban misi untuk menjadi tanda dan sarana keselamatan Allah bagi segenap umat manusia.
Di dalam Gereja inilah Allah secara khusus memberikan rahmat melimpah untuk keselamatan siapa pun yang percaya kepada Kristus.
Di dalam Gereja inilah Allah secara khusus memberikan rahmat melimpah untuk keselamatan siapa pun yang percaya kepada Kristus.
Keselamatan merupakan hidup kekal di masa depan (keselamatan yang definitif merupakan hidup kekal di masa depan yang sudah dimulai dan harus dirintis sejak sekarang).
Sekarang ini kita bagaikan para musafir yang sedang berjalan, berziarah menuju tanah air surgawi yang diibaratkan sebagai “pantai atau negeri di seberang sana”.
Untuk sampai ke negeri seberang nun jauh di sana, kita harus mengarungi samudra kehidupan yang begitu luas dengan badai dan gelombang menderu yang bisa menghadang di jalan. Katakanlah, tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk sampai negeri seberang, selain mengarungi lautan ini.
Untuk sampai ke negeri seberang nun jauh di sana, kita harus mengarungi samudra kehidupan yang begitu luas dengan badai dan gelombang menderu yang bisa menghadang di jalan. Katakanlah, tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk sampai negeri seberang, selain mengarungi lautan ini.
Ada banyak alat transportasi laut yang bisa dipilih. Bisa dengan rakit, kano, perahu kecil, ataupun kapal laut (bahtera besar).
Memang dengan rakit, kano, atau perahu kecil, kita juga bisa mencapai pantai seberang. Namun, hal itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa dan mengandung bahaya besar karam di jalan.
Lain halnya jikalau kita pergi dengan bahtera besar. Di sini, Gereja diibaratkan sebagai bahtera yang amat besar (Madah Bakti No. 518) seperti kapal pesiar yang dilengkapi dengan alat keamanan dan alat navigasi canggih sehingga perjalanan mengarungi samudra mahaluas menjadi jauh lebih aman.
Memang dengan rakit, kano, atau perahu kecil, kita juga bisa mencapai pantai seberang. Namun, hal itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa dan mengandung bahaya besar karam di jalan.
Lain halnya jikalau kita pergi dengan bahtera besar. Di sini, Gereja diibaratkan sebagai bahtera yang amat besar (Madah Bakti No. 518) seperti kapal pesiar yang dilengkapi dengan alat keamanan dan alat navigasi canggih sehingga perjalanan mengarungi samudra mahaluas menjadi jauh lebih aman.
Ada banyak kamar dan fasilitas di dalamnya. Inilah tujuh sakramen dan segala kekayaan rahmat dan ajaran yang bisa dinikmati dari Gereja.
Di dalam kapal pesiar itu, ada sistim manajemen yang begitu baik yang dikepalai oleh manajer-manajer terdidik, yaitu hirarki Gereja: para imam dan uskup, yang memang disiapkan sedemikian rupa lewat pendidikan panjang dan mendalam.
Dan, kapal pesiar ini dikendalikan oleh seorang nahkoda utama atau kapten, bersama dengan team navigasi.
Nahkoda menggambarkan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja, sedangkan team navigasi menggambarkan Magisterium Gereja. Dengan tugasnya menjaga dan memelihara keutuhan ajaran Gereja, team navigasi membantu nahkoda menjaga arah perjalanan bahtera.
Di dalam kapal pesiar itu, ada sistim manajemen yang begitu baik yang dikepalai oleh manajer-manajer terdidik, yaitu hirarki Gereja: para imam dan uskup, yang memang disiapkan sedemikian rupa lewat pendidikan panjang dan mendalam.
Dan, kapal pesiar ini dikendalikan oleh seorang nahkoda utama atau kapten, bersama dengan team navigasi.
Nahkoda menggambarkan Paus sebagai pemimpin tertinggi Gereja, sedangkan team navigasi menggambarkan Magisterium Gereja. Dengan tugasnya menjaga dan memelihara keutuhan ajaran Gereja, team navigasi membantu nahkoda menjaga arah perjalanan bahtera.
Bagaimana tanda dan bukti bahwa kita mencintai Gereja dan mengikatkan diri padanya?
1. Mencintai Ekaristi
Perayaan Ekaristi merupakan perayaan syukur sekaligus tanda ikatan yang konkrit terhadap Gereja. Ekaristi juga menjadi sumber sekaligus puncak hidup Kristiani.
Oleh karena itu, Ekaristi memiliki bobot yang begitu besar dalam penghayatan iman kita dibandingkan dengan devosi-devosi atau ulah/laku kesalehan lain.
Apabila kita hadir dalam Perayaan Ekaristi, kita menyatakan pula persaudaraan kita dengan rekan-rekan seiman dan menyatakan kesatuan kita dengan hirarki dan seluruh Gereja.
Ini dibuktikan dengan tindakan konkrit, yakni minimal hadir dalam setiap Misa hari Minggu. Semakin kita sering menghadiri Perayaan Ekaristi (Misa harian), semakin besar kita menyatakan rasa cinta dan bakti kita pada Gereja.
Oleh karena itu, Ekaristi memiliki bobot yang begitu besar dalam penghayatan iman kita dibandingkan dengan devosi-devosi atau ulah/laku kesalehan lain.
Apabila kita hadir dalam Perayaan Ekaristi, kita menyatakan pula persaudaraan kita dengan rekan-rekan seiman dan menyatakan kesatuan kita dengan hirarki dan seluruh Gereja.
Ini dibuktikan dengan tindakan konkrit, yakni minimal hadir dalam setiap Misa hari Minggu. Semakin kita sering menghadiri Perayaan Ekaristi (Misa harian), semakin besar kita menyatakan rasa cinta dan bakti kita pada Gereja.
2. Mengemban Fungsi Tubuh Mistik dalam Semangat Kesatuan
Keanggotaan kita dalam Gereja bagaikan Tubuh Mistik. Kristus sebagai kepala dan kita ini anggota-anggota tubuh. Ada yang menjadi organ-organ tubuh yang kelihatan, seperti tangan, mulut, kaki dll. Ada pula yang menjadi organ-organ yang tidak kelihatan, seperti jantung. Semua organ tubuh ini memiliki, mengemban, dan menyumbang fungsi dan tugasnya masing-masing. Semua organ melayani satu tubuh. Semuanya harus melayani dalam kesatuan. Yang satu tidak lebih penting daripada yang lain.
Dalam Gereja, kita pun mempunyai tugas masing-masing sesuai dengan panggilan hidup kita masing-masing. Ada yang menjadi tangan dan kaki dengan aktif turun langsung dalam karya sosial dan karitatif; ada yang menjadi mulut dengan menjadi pengkotbah atau pewarta; ada yang menjadi jantung, mengabdi Gereja lewat hidup tersembunyi di biara atau pertapaan; dsb. Semua ini memberikan hidup bagi Gereja, membuat “denyut” Gereja tetap berdetak.
Dalam Gereja, kita pun mempunyai tugas masing-masing sesuai dengan panggilan hidup kita masing-masing. Ada yang menjadi tangan dan kaki dengan aktif turun langsung dalam karya sosial dan karitatif; ada yang menjadi mulut dengan menjadi pengkotbah atau pewarta; ada yang menjadi jantung, mengabdi Gereja lewat hidup tersembunyi di biara atau pertapaan; dsb. Semua ini memberikan hidup bagi Gereja, membuat “denyut” Gereja tetap berdetak.
Temukanlah panggilan saudara dalam Gereja dan setialah menjalaninya.
3. Kesucian Diri
Setiap dosa membuat jiwa dan roh kita terluka dan sakit. Apabila sebagai pribadi, kita berdosa, maka Tubuh Mistik pun menderita sakit. Tidakkah ketika salah satu bagian tubuh kita sakit, maka kita sebagai pribadi ikut mengalami sakitnya?
Sebaliknya, jika setiap bagian tubuh fit dan segar, kita menjadi kita yang sehat. Begitulah, jika kita makin suci dan murni, maka Gereja sebagai Tubuh Mistik juga tumbuh dan sehat. Dan, kalau Gereja sehat, tentu bisa menjalankan tugasnya di dunia ini dengan baik.
Sebaliknya, jika setiap bagian tubuh fit dan segar, kita menjadi kita yang sehat. Begitulah, jika kita makin suci dan murni, maka Gereja sebagai Tubuh Mistik juga tumbuh dan sehat. Dan, kalau Gereja sehat, tentu bisa menjalankan tugasnya di dunia ini dengan baik.
Untuk berjalan dalam jalur menuju kesucian, Gereja memberikan rambu-rambu (hukum dan aturan dalam Gereja).
Memang dalam banyak kasus, Gereja tampak agak tradisional jikalau dilihat dari kacamata budaya modern. Misalnya: soal larangan perceraian/perkawinan homoseksual/pemakaian alat-alat kontrasepsi, dsb.
Ketaatan kita kepada hukum dan aturan Gereja sebenarnya tidak membatasi kebebasan kita, melainkan untuk membebaskan jiwa dan roh kita menuju kesucian.
Memang dalam banyak kasus, Gereja tampak agak tradisional jikalau dilihat dari kacamata budaya modern. Misalnya: soal larangan perceraian/perkawinan homoseksual/pemakaian alat-alat kontrasepsi, dsb.
Ketaatan kita kepada hukum dan aturan Gereja sebenarnya tidak membatasi kebebasan kita, melainkan untuk membebaskan jiwa dan roh kita menuju kesucian.
4. Bagaimana menumbuhkan cinta akan Gereja
Semakin seseorang dipenuhi cinta ilahi, semakin dia mencintai Gereja. Jadi, Gereja masa depan hendaklah makin spiritual (Karl Rahner – seorang teolog besar dalasm Gereja Katolik).
Gereja perlu menciptakan banyak ruang bagi umatnya untuk suatu perjumpaan yang kian pribadi dan kian dekat dengan Allah. Pada intinya, spiritual ini membawa kembali umat pada pengalaman kehadiran Roh Kudus. Membawa kita pada pengalaman kehadiran Roh Kudus secara baru. Sehingga banyak orang mengalami semangat baru, entah untuk berdoa, melayani, berguyub, maupun menghayati sakramen-sakramen.
Gereja perlu menciptakan banyak ruang bagi umatnya untuk suatu perjumpaan yang kian pribadi dan kian dekat dengan Allah. Pada intinya, spiritual ini membawa kembali umat pada pengalaman kehadiran Roh Kudus. Membawa kita pada pengalaman kehadiran Roh Kudus secara baru. Sehingga banyak orang mengalami semangat baru, entah untuk berdoa, melayani, berguyub, maupun menghayati sakramen-sakramen.
(Sumber: Warta KPI TL No. 77/IX/2010 » Mencintai Kristus, Mencintai Gerejanya, HDR Mei-Juni 2009 Tahun XIII).