Pages

Senin, 08 Agustus 2016

Mempertahankan iman Katolik di tengah badai zaman

Ketika kita dibaptis, kita bersatu dengan Yesus Kristus dan menjadi anggota umat Allah. Kita dibebaskan dari dosa, ikut mati bersama Kristus, dikuburkan dan dibangkitkan bersama-Nya. 

Pembaptisan bukan tanda bahwa iman kita sudah jadi. Sebaliknya, baptisan merupakan permulaan bagi seseorang untuk makin mengimani kekatolikan; pintu bagi mereka untuk masuk dan menggali iman Katolik lebih dalam lagi; kesempatan bagi kita untuk mengikatkan diri lebih erat lagi pada Kristus, mengikuti-Nya lebih dekat, mendengarkan sabda-Nya dengan lebih jelas, dan mencintai-Nya dengan lebih mesra.

Sakramen ini baru mendapat arti sempurna jika yang dibaptis dalam iman Gereja Katolik itu kemudian dididik pula dalam iman yang sama.



Ibarat tanaman, walaupun sekarang ini hidup, ia akan segera mati bila tidak dipelihara dan dirawat. Demikian juga iman kita. Bila kita tidak memelihara dan merawatnya, maka lambat laun akan mati ketika mengalami krisis iman.



Sebaliknya, iman kita akan bertumbuh, berkembang dan menghasilkan buah bila terus disiram, dipupuk, dirawat, dan disterilkan dari hama.

Cara konkret agar kita bisa memupuk iman, terutama pada saat-saat kritis, yaitu: kita tidak menjauhkan diri dari Allah dan tidak mengucilkan diri dari sesama Katolik

Kedekatan dan kelekatan dengan Allah bisa kita bina dengan hidup doa pribadi maupun doa bersama.

Kita juga bisa menjalin relasi dengan Allah lewat merenungkan sabda-Nya.

Selalu menimba informasi dan pengetahuan kerohanian Katolik.

Keimanan kita akan semakin kokoh apabila kita bersekutu dengan sesama umat Katolik (beradadi dalamkomunitas gerejani), sebaiknya kita mengambil bagian dalam berbagai kegiatan gerejani.

Gereja Katolik tidak membaptis kita begitu saja, secara instan dan dadakan, sesaat setelah kita memintanya. No way! Tetapi Gereja Katolik selalu selektif dalam membaptis, mempersiapkan, bahkan terus-menerus membina iman umatnya, lalu mengapa ada umat yang meninggalkan Gereja Katolik? Mengapa ikatan perjanjian kita dengan Gereja bisa putus? 

Hal ini terjadi karena alasan-alasan berikut: karena jodoh, pekerjaan, lingkungan sosial yang tidak mendukung; kecewa dan tidak puas terhadap figur dan pelayanan sang gembala, umat, aktifis gereja, ajaran gereja, kotbah, liturgi, maupun kegiatan-kegiatan gereja; merasa kurang dilayani, kurang disapa, tidak mendapatkan sesuatu yang dicari dll. 

Jika kita memakai kacamata hitam dalam menilai, akibatnya kita punya penilaian negatif terhadap agama sendiri sehingga kita menilai agama lain lebih unggul. Padahal Agama Katolik memiliki banyak keunggulan. Jadi, kita harus punya kebanggaan dalam mencintai dan menghayati keimanan kita, bukan untuk menyombongkan diri atau merendahkan agama lain. 

Adanya hierarki Gereja (uskup, imam, dan diakon). Dengan adanya hierarki, kita memiliki seorang imam yang menguduskan kita, raja yang akan memimpin kerohanian kita, dan guru yang akan membawa kita pada kebenaran. Mereka adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia, wakil Kristus di dunia. Kepemimpinan tertinggi Gereja Katolik adalah Paus yang bertempat tinggal di Roma.

Memiliki manajemen gerejani yang sangat rapi dan terorganisasi mulai dari keluarga (unit Gereja terkecil) hingga kepausan sebagai pusat.

Perayaan sakramen-sakramen Katolik yang mencakup hidup manusia sejak awal hingga akhirat nanti.

Gereja Katolik sangat menghormati orang-orang kudus pendahulu Gereja. Keteladanan hidup santo-santa yang suci dan karya-karyanya yang luhur menjadi kekayaan iman Gereja hingga saat ini. Keteladanan ini dilanjutkan oleh rohaniwan dan biarawan-biarawati.

Gereja Katolik sangat menghormati dan memperhatikan arwah orang-orang yang sudah meninggal. Dll.

Agar dapat mempertahankan iman Katolik di tengah badai zaman, marilah kita belajar dari Tradisi Yahudi dan Timotius.

Tradisi Yahudi 

Sebagai orang tua, kita memiliki rasa tanggungjawab atas pertumbuhan iman anak dan perkembangan serta pelestariannya lewat suatu pengajaran yang terus-menerus, diulang-ulang, berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi Gereja Katolik. Untuk itu kita belajar dari tradisi Yahudi yang disebut Shema.

Shema berisi pengakuan iman monoteis, Tuhan, Allah Israel, yang esa dan disertai kewajiban untuk mengasihi serta perintah menjalankan ajaran-ajarannya.

Shema dibagi menjadi tiga bagian:

Bagian Shema Pertama (Ul 6:4-9): 

Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!

» Shema diawali dengan perintah ‘dengarlah’ yang merujuk pada pengakuan iman bangsa Israel: bahwa Tuhan adalah Allah mereka dan Tuhan itu esa. KataTuhandengan huruf besar adalah terjemahan dari kata Ibrani “Yahwe”, artinya Allah satu-satunya dari bangsa Israel. Jadi, shema bermuatan teologis dan mengacu pada monoteisme

Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu

» Pengakuan iman monoteis disertai perintah untuk mengasihi; berdasarkan pada pengalaman historis bahwa Tuhan, Allah mereka, sudah lebih dahulu mengasihi mereka.

Kasih Allah itu nyata terutama dari peristiwa Eksodus dan penaklukan tanah terjanji. Umat Allah dipanggil untuk mengasihi Tuhan, Allah mereka dengan seluruh keberadaan dirinya, yaitu dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan.

Katahatidimaksudkan pikiran. Hati merupakan pusat dari seluruh pikiran manusia. Katajiwa berkaitan dengan mental dan emosi. Perintah mengasihi mencakup baik pikiran, entah sadar entah tidak sadar, maupun mentalitas dan emosional. Sementara itu yang disebut dengan “kekuatanadalah daya tahan dan kedisiplinan diri

Apa yang kuperintahkan kepadamu haruslah engkau perhatikan

» perintah untuk memperhatikan erat kaitannya dengan memasukkan ke pusat kehidupan batiniah seseorang. Perintah itu harus di-internalisasi-kan dalam diri manusia. Ketaatan harus lahir dari hati sebagai jawaban kasih atas pengertian mendalam akan Allah yang sudah lebih dahulu mengasihi.

haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun

» Ketaatan sebagai ungkapan kasih kepada Tuhan Allah harus diwariskan turun-temurun demi kelangsungan keberadaan umat Allah

Bangsa Israel mempunyai kewajiban mewariskan dan “mengajarkan berulang-ulang” Shema dengan seksama kepada anak-anak mereka sejak usia dini dengan mengkomunilasikan dan menanamkannya.

Artinya, pengajaran itu tidak sekedar untuk membantu anak-anak agar mengetahui, tetapi membuat mereka mengerti dengan jelas dan memilikinya, sehingga dapat menghayati dan mengamalkannya dalam hidup sehari-hari, artinya mereka harus mengajarkannya di setiap kesempatan.

Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu

» Internalisasi Shema tidak cukup dengan pengajaran teoritis saja tetapi juga harus dilakukan dengan cara-cara yang praktis, yaitu dengan memanfaatkan:

Filakteria adalah sebuah kotak kecil yang terbuat dari kulit. Kotak itu dipakai untuk menyimpan gulungan Shema dan teks-teks Kitab Suci lainnya (seperti Kel 13:1-16 dan Decalog Sepuluh Perintah Allah). Kotak itu diikatkan dengan tali pada dahi dan pergelangan tangan saat orang berdoa. Tujuannya agar orang selalu ingat akan pengakuan iman monoteisnya dan kewajiban mengasihi Tuhan, Allahnya.

Mezuzah adalah tabung kecil berisi gulungan Shema atau lempengan bertuliskan Shema yang ditaruh pada tiang pintu rumah. Tujuannya agar orang selalu ingat akan imannya kepada Tuhan, Allahnya, dan kewajiban mengasihi-Nya waktu pergi dan pulang ke rumah; Mezuzah juga ditaruh di pintu gerbang kota. Jadi, tanggungjawab mengajarkan Shema bukan saja terbatas pada keluarga, tetapi juga menjadi tugas seluruh warga. 

Bagian Shema kedua (Ul 11:13-21).

Jika kamu dengan sungguh-sungguh mendengarkan perintah yang kusampaikan kepadamu, ... maka Ia akan memberikan ... Hati-hatilah, supaya jangan hatimu terbujuk, sehingga kamu menyimpang dengan beribadat kepada ilah lain dan sujud menyembah kepadanya. Jika demikian, maka akan bangkitlah murka Tuhan terhadap kamu dan Ia akan ... Kamu harus menaruh perkataan-Ku ini dalam hatimu dan dalam jiwamu... Kamu harus mengajarkannya kepada anak-anakmu dengan membicarakannya, apabila engkau.... 

Bagian Shema ketiga (Bil 15:37:41)

Mereka harus membuat jumbai-jumbai pada punca baju mereka, turun-temurun... Maka jumbai itu akan mengingatkan kamu, apabila kamu melihatnya, kepada segala perintah Tuhan, sehingga kamu melakukannya dan tidak lagi menuruti hatimu atau matamu sendiri, seperti biasa kamu perbuat dalam ketidaksetiaanmu terhadap Tuhan. maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu.

Peristiwa Eksodus pun harus diajarkan agar anak-anak terdorong untuk mentaati perintah-perintah Allah itu (Ul 6:20-25). Dengan demikian perintah penerusan Shema dan pengalaman Eksodus kepada anak-anak (Ul 6:7-9, 20-25) membingkai Ul 6:10-19 yang menjabarkan pengabdian kepada Allah di tempat baru Kanaan. Karena itu, dalam Ul 6:10-25 bangsa Israel didorong untuk:

Tidak melupakan Allah yang telah membawa mereka masuk ke Tanah Kanaan (... apabila engkau sudah makan dan menjadi kenyang, maka berhati-hatilah, supaya engkau tidak melupakan Tuhan, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan ...- Ul 6:10-15).

Tidak mencobai Allah, tetapi melaksanakan perintah-perintah-Nya (Janganlah kamu mencobai Tuhan, Allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa. Haruslah kamu berpegang pada perintah, peringatan dan ketetapan Tuhan, Allahmu, yang diperintahkan-Nya kepadamu, haruslah engkau melakukan apa yang benar dan baik di mata Tuhan, supaya baik keadaanmu... - Ul 6:16-19).

Mengajarkan peristiwa Eksodus kepada anak-anak (apabila di kemudian hari anakmu bertanya kepadamu, maka haruslah engkau menjawab anakmu .... - Ul 6:20-25).

Penceritaan ulang kisah Eksodus tidak sekedar agar anak-anak mengetahui (aspek kognitif), tetapi juga membawa anak-anak masuk ke dalam pengalaman nenek moyang mereka.

Jadi, sejak dini orang-orang Israel sudah belajar memahami dan mengalami sejarah penyelamatan Allah yang diwariskan turun temurun (aspek historis). Mereka pun belajar untuk hidup dan berkelakuan yang pantas (aspek etis), sebagai tanggapan atas karya penyelamatan Allah itu.

Dengan demikian penerusan warisan iman menyangkut baik dimensi pemahaman iman maupun dimensi perwujudan iman. Pemahaman dan keyakinan yang diwujudnyatakan dalam kata, sikap dan tingkah laku itulah yang membuat umat Allah “menjadi benar”. Artinya, mereka dipersatukan dalam hubungan personal dengan Allah perjanjian yang menuntun mereka pada kebenaran.

Timotius

Sejak kecil Timotius sudah mengetahui Kitab Suci yang dapat memberi hikmat dan menuntunnya kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus dari nenek dan ibunya (2 Tim 3:15; 1:5).

Sebagai murid yang setia, Timotius mengikuti pelayanan Paulus (2 Tim 3:10-17):

Ajaran sehat Paulus (1 Tim 4:3-4; 6:13, 17; 2:4; 2 Tim 1:9; 1 Tim 3:16; 1:15; 2 Tim 1:10; 1 Tim 2:5; 2 Tim 4:1, 8; 1 Tim 2:2).

Cara hidup Paulus (Bdk 1 Tim 4:12).

Mengikuti pendirian Paulus yang merujuk pada tujuan dan rancangan pelayanannya (Bdk Kis 20:20-21, 24, 27; 1 Kor 2:1-5).

Mengikuti keempat ciri hidup kekristenan Paulus

1. iman adalah kepercayaan kepada Allah, terutama berhubungan dengan perintah-perintah-Nya yang mengikat dan janji-janji-Nya yang benar (Bdk 1 Tim 4:12; 6:11; 2 Tim 2:22).

2. kesabaran adalah ketenangan, keramahan dan keteguhan dalam prinsip, terutama saat menghadapi tantangan dan situasi sulit (Bdk 2 Tim 2:24; 4:2).

3. kasih adalah sikap peduli yang tidak mementingkan diri sendiri dan rela berkorban bagi jemaat demi yang terbaik (Bdk 1 Tim 1:5, 1 Kor 13:1 dst).

4. ketekunan adalah kegigihan dan daya tahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup

(Sumber: Warta KPI TL No. 77/IX/2010 » Catholik Forever, Alfonsus Sutarno, Pr; Memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anak sejak dini, Surip Stanislaus OFMCap).