Mantilla
adalah tudung atau kerudung yang biasa dipakai perempuan Katolik saat perayaan
Ekaristi atau upacara liturgi lain.
Mantilla biasa terbuat dari bahan lace
sejenis brokat atau kain berenda. Tapi, kadang umat juga menggunakan syal atau
skarf, bandana besar, atau kain biasa untuk menutupi kepalanya
Menggunakan
kerudung merupakan suatu cara untuk meneladani Maria, dialah yang menjadi
panutan bagi seluruh wanita.
Umat
yang masih memegang tradisi penggunaan mantilla memiliki alasan berdasar surat
Rasul Paulus kepada umat di Korintus (1 Kor 11:4-10) yang mengajarkan bahwa
dalam hal berdoa, dalam upacara liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan
budaya yang baik, di mana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala sebagai
tanda ketaatan kepada Sang Kepala, yakni Kristus. Budaya pemakaian tudung bagi
perempuan pada masa itu juga merupakan simbol ketaatan kepada suami, sebagai
kepala keluarga.
Ada
banyak makna penggunaan kerudung ini, tetapi yang utamanya adalah sebagai
lambang ikatan perkawinan/persatuan mereka dengan Kristus. Pada kerudung hitam,
juga memberikan makna keterpisahan mereka dari dunia.
Pemakaian
mantilla pernah diwajibkan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262. Namun, dalam
semangat pembaruan, Gereja tak lagi mewajibkan pemakaian mantilla, tapi juga
tidak melarang umat yang hendak memakainya.
Pemakaian
kerudung ini memang bukan merupakan hukum mutlak dari Allah, namun berhubungan
dengan kebiasaan gerejawi, yang memang mempunyai makna yang mendalam, sehingga
sampai sekarang masih dipertahankan oleh banyak kongregasi biarawati di seluruh
dunia.
Namun
perlu juga disadari bahwa kerudung wanita tidak dapat dijadikan ukuran bahwa
yang memakainya pasti lebih kudus hidupnya, ataupun lebih khusuk doanya.
(Sumber: Warta KPI TL No.134/VI/2016 » Renungan KPI TL Tgl 12 Mei 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).