Suatu
hari kakek saya bercerita pada ibu saya bahwa beliau bermimpi dan juga
beroleh penglihatan dalam doa bahwa
salah satu cucunya memakai jubah seperti pastor. Ibu saya menceritakan hal
tersebut pada kami sekeluarga. Mendengar cerita itu kami tertawa karena
menganggap mimpi itu sebagai bunga tidur saja.
Sebelum
meninggal dunia kakek saya bertanya lagi kepada ibu saya: “Apakah kamu rela
melepaskan salah satu anakmu menjadi pastor?” Jawaban ibu saya: “Seluruh
kehidupan anak-anakku kuserahkan pada rencana Tuhan. Mengenai panggilan itu aku
menyerahkan sepenuhnya pada anakku. Aku tidak akan menghalang-halangi.”
Ketika
masih SD, saya sangat senang sekali ketika
pastor memberkati saya sambil tersenyum. Apalagi ketika melihat pastor
melayani umat, seperti memberkati benda-benda rohani, walaupun dalam keadaan
letih, beliau tetap melayani dengan ramah. Hal inilah yang menyebabkan saya
bercita-cita menjadi pastor. Dengan berjalannya waktu saya melupakan cita-cita
saya.
Setelah
lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, saya berangan-angan untuk bisa segera
punya pacar. Lalu saya mengikuti suatu komunitas yaitu “Komunitas Jomblo
Katolik” (KJK). Di sana saya sempat dekat dengan seorang wanita dan saya
berencana memperkenalkan pada orang tua saya, namun di hati kecil saya berkata
jangan terburu-buru dulu.
Hati
saya gelisah dan bimbang ketika kontrak kerja saya tidak diperpanjang. Hal
inilah yang membuat hubungan kami sedikit renggang dan akhirnya saya menyudahi
kedekatan kami.
Atas
saran seorang teman, saya setiap hari pergi ke Misa pagi untuk memohon
pekerjaan baru. Beberapa saat kemudian
Tuhan mengabulkan permohonan saya. Pada saat saya bekerja, jiwa saya sangat
tertekan karena saya harus mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan hati
nurani saya.
Dalam
kegelisahan dan ketakutan tanpa sadar seringkali saya kata: “Tuhan Yesus tolong
saya, saya berjanji akan ikut Engkau. Saya ingin menyerahkan diri total pada
kehendak-Mu.”
Ada
sebuah pertanyaan yang seringkali muncul di dalam batin saya: “Kemanakah saya
harus pergi melangkahkan kaki ini. Di pelabuhan manakah saya harus menyandarkan
bahtera saya agar memperoleh hidup kekal.”
Suatu
hari saya menemukan sebuah ayat di Yohanes 6:68 [“Jawab Simon Petrus
kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah
perkataan hidup yang kekal.”]. Dengan
ayat ini lahirlah benih-benih panggilan imamat saya.
Setiap
hari Jumat ada persekutuan doa ditempat kerja saya. Suatu hari renungan Kitab
Suci yang kami baca tentang Nabi Yunus. Setelah selesai membaca Kitab Suci,
tiba-tiba saya disadarkan bahwa saya seperti Nabi Yunus, melarikan diri dari
panggilan Tuhan sehingga saya mengalami stres dalam mengarungi badai kehidupan.
Suatu
hari saya mengikuti Misa di Stasi Agustinus Paroki Santa Maria Tak Bercela
(Aula SMAK St. Hendrikus), homili pastor pada Minggu Panggilan: “Gereja Katolik
membutuhkan banyak sekali tenaga imam. Jika sampai kita kekurangan tenaga imam,
misa akan dilayani 2 minggu sekali atau 1 bulan sekali. Dan kemungkinan
terburuknya Gereja Katolik akan vacum dan bahkan dibubarkan.”
Ketika
mendengar homili tersebut, saya merasakan panggilan tersebut, tetapi pikiran
saya berkata: “Itu bukan urusan saya, tetapi urusan romo paroki, uskup dan
paus.”
Di
stasi St. Antonius Gurah-Kediri tempat asal ibu saya, misa hanya dilayani 2 minggu sekali. Jika
pastornya tidak ada, kegiatannya hanya Ibadat Sabda yang dilayani oleh seorang
suster atau katekis.
Pada
saat lebaran, saya dan ibu saya pulang
kampung. Ibu saya berkata pada bibi saya bahwa saya ada sedikit panggilan.
Mendengar hal itu bibi saya dengan antusias berdoa agar suatu saat saya menjadi
pastor di stasi St. Antonius.
Beberapa
saat kemudian saya punya kerinduan untuk mengabdikan diri kepada Gereja
Katolik, saya ingin mempersembahkan apa yang telah saya miliki selama ini.
Kemudian saya memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginan saya untuk
menjadi pastor kepada ibu saya. Beliau menyambut gembira keinginan saya. Namun,
ayah saya sepertinya sangat berat sekali untuk merestui panggilan tersebut,
karena saat itu saya masih memiliki tanggungan KPR BTN.
Ibu
saya bercerita pada teman-teman persekutuan doanya, mereka menyarankan saya
untuk konsultasi pada pastor. Saya berkonsultasi pada Rm. Widyawan, Pr.,
sebagai romo pembimbing OMK dan pada pembina OMK. Romo Wid menyarankan saya untuk
datang ke Rm Senti, Pr. Beliau memberikan peneguhan bahwa Rasul Andreas (nama
baptis saya) dipanggil Tuhan menjadi penjala manusia ketika ia sedang bekerja
sebagai nelayan.
Ada
seorang teman ibu saya yang menyarankan saya mengikuti komunitas Karmelit Awam
di Perumahan Wisma Mukti. Di sana saya belajar berdoa “Ibadat Harian” , Lectio
Devina, meditasi dan lain-lain. Setelah mengikuti kegiatan di komunitas ini,
saya merasakan damai yang melampaui segala akal dan juga merasakan hadirat
Tuhan yang sebelumnya belum pernah saya alami. Melalui pengalaman ini saya
merasakan panggilan Tuhan semakin kuat untuk bekerja di ladang-Nya.
Sungguh
luar biasa penyertaan Tuhan dalam kehidupan keluarga saya. Meskipun saat ini
saya tidak bisa ikut membayar KPR BTN, Tuhan sediakan berkat pada orang tua
saya sehingga rumah kami tidak disita. Janji Tuhan sungguh-sungguh digenapi-Nya
dalam kehidupan keluarga saya.
Ketika
Tuham memberikan sebuah misi,
Dia
selalu
memasukkan
kita ke dalam sebuah proses,
sebuah
proses pemurnian,
sebuah proses kebijakan,
sebuah proses ketaatan,
sebuah proses doa.
(Paus Fransiskus)