Paus Fransiskus meminta umat Katolik Eropa, lembaga-lembaga Katolik di
seluruh benua, untuk menunjukkan belas kasih kepada
para pengungsi yang tiba di pantai mereka dengan menawarkan tempat berlindung.
"Semoga setiap paroki (sebuah wilayah administrasi lokal dalam Gereja Katolik), komunitas agama, biara, tempat perlindungan di Eropa menjadi tuan rumah bagi sebuah keluarga, mulai dari keuskupan saya di Roma," kata Fransiskus pada akhir doa Angelus di Vatikan, Minggu (6/9/2015).
Paus mengatakan kepada umat yang
berkumpul di Lapangan Santo Petrus bahwa umat tidak cukup hanya dengan memberi
tahu pengungsi dengan kalimat seperti "memiliki keberanian,
bertahanlah".
"Dalam menghadapi tragedi puluhan ribu pengungsi yang melarikan diri dari kematian akibat perang dan kelaparan dan yang berada di jalan menuju harapan untuk hidup, Injil mengajarkan kita untuk menjadi tetangga bagi orang-orang kecil dan orang yang paling ditinggalkan, untuk memberi mereka harapan nyata," kata Fransiskus.
Vatikan sendiri punya dua paroki, dan masing-masing akan menampung satu keluarga pengungsi. "Dua paroki di Vatikan akan menerima dua keluarga pengungsi," kata Paus.
Kardinal Italia, Angelo Bagnasco, memperkirakan bahwa jika setiap 27.000 paroki di Italia masing-masing menampung satu keluarga yang terdiri dari empat orang, maka sekitar 108.000 pengungsi bisa tertampung. "Saya berharap, keinginan ini menjadi kenyataan," kata Bagnasco kepada TV2000. "Ini memberikan ide tentang kemungkinan yang ada di negara kita."
Dalam sebuah pesan terpisah hari Minggu itu, Paus, yang merupakan cucu migran Italia di Argentina, terdengar mengkritik Hongaria yang mendirikan pagar di perbatasannya dengan Uni Eropa. "Adalah kekerasan, membangun pagar dan perintang untuk mencegah orang yang mencari tempat damai.
Merupakan kekerasan jika mendorong
kembali mereka yang melarikan diri dari keadaan tidak manusiawi dengan harapan
mendapatkan masa depan yang lebih baik," katanya dalam surat kepada
pertemuan asosiasi gereja di Albania seperti dikutip VOA.
Seruan Paus itu terjadi saat lebih dari 12.000 migran tumpah ruah ke Austria pada hari Minggu. Mereka tiba di stasiun kereta api dan disambut tepuk tangan, sorak-sorai, dan tepukan di pundak dari warga Austria yang ingin membantu mereka.
Setiap murid Kristus dipanggil untuk
membawa kasih-Nya kepada semua orang tanpa pandang bulu, sebab kasih Kristus
bersifat universal.
Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak
mengenal Allah,
sebab Allah adalah kasih.
(1 Yoh 4:8)
Praktek
kasih membutuhkan keterlibatan. “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati,
demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” (Yak 2:26).
Marilah
kita belajar dari Luk 10:25-37
Pada
suatu kali berdirilah seorang ahli
Taurat untuk mencobai Yesus,
katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
»
Ahli Taurat adalah ahli dalam mempelajari hukum Taurat. Mereka memelihara hukum
Taurat, juga menyampaikan keputusan-keputusan hukum tak tertulis yang telah
muncul dalam usaha mereka menerapkan
hukum Musa pada kehidupan sehari-hari. Mereka menyatakan bahwa hukum lisan ini
lebih penting dari hukum tertulis (Mrk 7:5).
Jawab
Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?”
Jawab
orang itu: “Kasihanilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu,
dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Kata
Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan
hidup.”
Tetapi
untuk membenarkan dirinya orang itu
berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
» Ahli
taurat adalah pakar Kitab Suci, sudah mempunyai segudang ilmu pengetahuan.
Dalam perikop ini, seorang ahli Taurat
ingin berdiskusi tentang kebenaran, tetapi motivasinya hanya ingin
memuaskan hasrat pengetahuannya, menjebak lawan bicaranya bahkan ingin
mempermalukan orang lain di depan umum.
Untuk
dapat mengerti “kebenaran” sesuai dengan iman gereja Katolik, kita bisa
mempelajarinya dari “Magisterium (Wewenang Mengajar) Gereja”.
Banyak
sekali orang mencari kebenaran yang hakiki dalam kehidupannya, tetapi ketika
kebenaran itu sudah dimengertinya, dia tidak mau berjuang untuk melakukan apa
yang dia mengerti itu.
Jawab
Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan
penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga
memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
Kebetulan
ada seorang imam turun
melalui jalan itu; ia melihat orang
itu, tetapi ia melewatinya
dari seberang jalan.
Demikian
juga seorang Lewi datang ke
tempat itu, ketika ia melihat orang
itu, ia melewatinya dari
seberang jalan.
Lalu
datang seorang Samaria, yang
sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah
hatinya oleh belas kasihan.
Ia
pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan
minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai
tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
Keesokan
harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya:
Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya,
waktu aku kembali.
Siapakah
di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun
itu?”
Jawab
orang itu: “Orang yang telah
menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah,
dan perbuatlah demikian!”
» Baik
imam maupun orang Lewi adalah orang-orang
yang terkemuka dalam komunitas Yahudi, mereka dikhususkan untuk melayani Bait Allah dan tahu betul hukum Allah.
Akan
tetapi mereka lebih taat dengan hukum “Orang yang kena kepada mayat, ia najis
tujuh hari lamanya” (Im 21:1, 11, Bil 19:11) sehingga mereka takut untuk
melakukan hukum utama, yaitu kasih.
Perumpamaan
orang Samaria yang baik hati menggambarkan cinta kasih yang tak terbatas,
melepas sekat-sekat perbedaan, mempunyai visi ke depan yakni memperjuangkan dan
membebaskan sampai tuntas.
Kita
pun dipanggil oleh Tuhan untuk membawa kasih kepada semua orang. Untuk
mewujudkan kasih yang terlibat bukan suatu hal yang mudah, banyak tantangan dan
hambatan, perlu ketekunan, keuletan dan kesabaran.
(Sumber: Warta KPI TL No.131/III/2016 » Renungan KPI TL Tgl
3 Maret 2016, Dra Yovita Baskoro, MM).