Pages

Selasa, 05 April 2016

Kasih itu berani berkorban

Ketika masih kecil, orang tua saya memberi sesuatu selalu hanya satu. Suatu hari saya menginginkan dua batang coklat. Lalu saya berkata kepada ibu saya: “Ibu, tangan saya dua, coklat ini untuk tangan kanan, mana yang untuk tangan kiri?’

Melihat sikap saya, ibu saya hanya diam saja. Saya tidak kehabisan akal, lalu coklat tersebut saya pindahkan ke tangan kiri sambil bertanya: “Ibu, mana coklat untuk tangan kanan?” 

Meskipun, coklat tersebut saya pindahkan berulang-ulang ke tangan kanan ke kiri atau sebaliknya, ibu saya tetap tidak memberi coklat lagi.

Suatu ketika bapak saya bertanya kepada saya: “Dan, kok bisa ya langit ini begitu besar dan luas, tapi kok ada pesawat bertabrakan di udara? 

Mendengar pertanyaan itu, saya berpikir sejenak. Inilah hikmat yang saya peroleh: “Masing-masing pesawat terbang sudah ditentukan ketinggiannya untuk terbang. Pesawat yang kecil, terbang di bawah awan, sedangkan pesawat yang besar harus terbang di atas awan. 

Selain itu, masing-masing pesawat sudah ditentukan jalur-jalurnya, tidak boleh kurang atau lebih dari ketentuan. Misalnya: pesawat dari Jakarta ke Surabaya terbang dengan ketinggian 1300 kaki. Pesawat dari Surabaya ke Jakarta terbang dengan ketinggian di atas 1300 kaki. Jika kedua pesawat itu setia di jalurnya masing-masing, maka tidak akan terjadi kecelakaan.” 

Dari dua pengalaman ini saya belajar bahwa dalam hidup kita harus memiliki hikmat agar dapat memilih dengan benar jalan yang akan kita tempuh. Karena kita tidak bisa berjalan di dua rel yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. 

Tetapi seringkali kita melihat rumput tetangga lebih hijau, sehingga kita tergoda untuk berjalan di tempat orang lain. 

Ingatlah! Orang yang tidak setia pada jalannya (mendua hati), hidupnya pasti tidak tenang, ada kecemasan dan ketakutan (Yak 1:8). 

Marilah kita belajar dari Mat 10:34-42

[34-37] “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.

Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang seisi rumahnya.

Barangsiapa (1) mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.

» Perkataan ini keras dan seakan-akan sulit untuk diselaraskan dengan ajaran Tuhan Yesus secara umum, berlawanan dengan hukum mengasihi sesama yang ditekankan dan diperbaharui Tuhan Yesus.

Sesungguhnya Tuhan Yesus memperingatkan pengikut-pengikut-Nya bahwa kesetiaan mereka kepada-Nya bisa mengakibatkan konflik.

Karena manusia memiliki sifat dasar yang “melekat” atau “terikat” atau “terbelenggu”, pada hal-hal yang berhubungan erat dengan dirinya sendiri, meliputi orang-orang terdekat, orang tua, keluarga, teman dan juga harta/materi.

“Melepaskan keterikatan” tidak identik dengan “melepas tanggung jawab” (1 Tim 5:8 – jika ada seorang yang tidak memelihara sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman).

Jadi, Alkitab tidak pernah mengajarkan Kekristenan yang setengah-setengah, sebab “harga mati” tidak mengasihi yang lain kecuali Kristus.

[38] Barangsiapa (2) tidak memikul salibnya dan tidak mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.

» Menyangkal diri berarti mengikuti Kristus, menempatkan kebenaran dan kehendak Allah lebih tinggi daripada keinginan pribadi. Ini suatu tindakan yang tidak mudah, karena kita sering melakukan apa-apa yang kita anggap gampang dan menguntungkan kita, tanpa mempertimbangkan apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan dalam kehidupan kita.

Penyangkalan diri akan membawa kita kepada kebebasan, karena kebenaran itu akan memerdekakan (Yoh 8:32) 

[39] Barangsiapa (3) mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperoleh-Nya.

» Jika kita tidak mau menyerahkan diri secara total kepada Yesus, maka kita tidak memperoleh hidup kekal. 

[40-42] Barangsiapa menyambut kamu, ia menyambut Aku, dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia yang mengutus Aku.

Barangsiapa menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi, dan barangsiapa menyambut seorang benar sebagai orang benar, ia akan menerima upah orang benar.

Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya.”

» Perbuatan kasih dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana. Orang desa selalu menyediakan air dalam kendi di depan rumahnya, tujuannya kalau ada orang lewat dan haus ia dapat minum. 

Jika kita melakukan sesuatu, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10:31), bukan untuk mengumpulkan point. 

Ingatlah! Yesus datang segera dan membawa upah-Nya untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya (Why 22:12).

Keputusan mengikuti Yesus harus diwujudkan dalam tindakan kasih, semuanya untuk kemuliaan Tuhan. Jadi. motivasi kita melakukan perbuatan kasih bukan untuk mengumpulkan point tetapi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita (1 Yoh 4:19). 

(Sumber: Warta KPI TL No.131/III/2016 » Renungan KPI TL Tgl 10 Maret 2016, Rm Daniel Pr.)