Pada bulan Januari 2003, saya membaca di sebuah majalah Katolik mengenai tujuh orang wanita yang diekskomunikasi karena berusaha ditahbiskan menjadi imam. Bilamanakah seseorang terkena ekskomunikasi dan dapatkah ia diampuni?
~ seorang pembaca di Washington, D.C.
Ekskomunikasi adalah hukuman Gereja yang paling keras yang dijatuhkan atas dosa yang sangat berat.
Melalui Sakramen Baptis, orang masuk ke dalam tubuh Gereja (yaitu himpunan umat beriman) melalui mana terjalin suatu “komunikasi” rohani; ketika orang melakukan suatu dosa tertentu yang sangat berat dan terlibat dalam aktivitas yang mengakibatkan skandal besar dan perpecahan dalam tubuh Gereja, komunikasi itu terhenti, haknya untuk menerima sakramen-sakramen dan menikmati hak-hak istimewa Katolik lainnya dicabut.
Praktek ekskomunikasi telah ada sejak masa Gereja perdana. Dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus, St Paulus menghukum komunitas di sana karena membiarkan praktek incest - “ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya” (1 Kor 5:1).
St Paulus mengecam umat Korintus karena tidak menyingkirkan orang cemar itu dari tengah-tengah mereka. Ia mengatakan, “orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan” (1Kor 5:5).
Lebih lanjut ia memperingatkan mereka untuk tidak bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya “saudara” (menunjukkan bahwa ia seorang percaya dan warga Gereja) namun cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu. Lalu, Paulus mengakhiri suratnya dengan “Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu” (1 Kor 5:13).
Perhatikan bahwa St Paulus juga menyiratkan pengharapan. Ia menjatuhkan hukuman atas orang yang melakukan kejahatan itu “agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan,” yang mengungkapkan harapan akan pertobatan, berbalik kepada Tuhan dan diterima kembali dalam komunitas. (Tujuan ini dipertegas pula dalam 2 Tes 3:15 dan 2 Kor 2:5-11).
Namun demikian, selama pendosa yang keras hati itu belum bertobat, ia harus dikeluarkan dari komunitas guna mencegah terpengaruhnya anggota komunitas yang lain dan agar ia menyadari serta menyesali keberdosaannya.
Di kemudian hari, ekskomunikasi menjadi sangat erat hubungannya dengan Sakramen Tobat. Pada masa itu, Sakramen Tobat biasa diterimakan satu kali. Guna mendapatkan pengampunan, orang yang berdosa berat menghadap Uskup, yang menempatkan mereka ke dalam kaum para peniten (ordo paenitentium).
Secara liturgis, para peniten diekskomunikasi dari Gereja dan diwajibkan melakukan penitensi yang biasanya berlangsung hingga berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Setelah penitensi diselesaikan, uskup secara resmi mencabut ekskomunikasi, menyampaikan absolusi kepada para pendosa, dan menyambut mereka kembali ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja.
Sejak abad ketujuh, Sakramen Tobat dapat diterima berulang kali dan menjadi lebih serupa dengan yang kita kenal sekarang, sementara ekskomunikasi menjadi hukuman Gereja yang paling keras, yang dikenakan hanya pada pelanggaran-pelanggaran yang paling berat saja.
Walau demikian, pencabutan sanksi ekskomunikasi masih erat hubungannya dengan mengakukan dosa dengan tulus dan sungguh dalam Sakramen Tobat dan menerima absolusi.
Kitab Hukum Kanonik yang baru (1983) menyatakan bahwa orang yang terkena ekskomunikasi dilarang ambil bagian apapun sebagai pelayan (selebran, lektor, dll) dalam perayaan Kurban Ekaristi atau upacara-upacara ibadat lain manapun; merayakan sakramen-sakramen atau sakramentali serta menyambut sakramen-sakramen; menunaikan jabatan-jabatan atau pelayanan-pelayanan atau tugas-tugas gerejawi manapun, atau juga melakukan tindakan kepemimpinan (no. 1331.1). Seseorang yang terkena ekskomunikasi juga tak dapat diterima secara sah dalam perserikatan-perserikatan publik (no. 316.1).
Di satu pihak, sanksi ekskomunikasi dapat dijatuhkan oleh otoritas yang berwenang (ferendae sententiae). Seorang uskup dapat secara langsung menjatuhkan sanksi ekskomunikasi, tetapi terbatas hanya atas tindak pidana yang amat berat dan setelah memberikan peringatan yang diperlukan (no. 1318).
Seturut tujuan Gereja perdana, hukuman yang sangat berat ini dimaksudkan untuk memperbaiki individu yang terkena sanksi tersebut dan untuk memelihara tata-tertib gerejawi dengan lebih baik (no. 1317). Uskup atau utusannya dapat mencabut sanksi tersebut apabila pendosa telah bertobat dan dengan tulus merindukan rekonsiliasi.
Di lain pihak, seseorang dapat juga terkena ekskomunikasi yang bersifat otomatis (latae sententiae), yaitu orang yang murtad dari iman, orang heretik, atau skismatik (no. 1364); atau orang yang melakukan pengguguran kandungan dan berhasil, terkena ekskomunikasi yang bersifat otomatis (1398). Dalam perkara-perkara demikian, seorang imam biasa setempat atau seorang imam yang diutus dapat mencabut sanksi ekskomunikasi.
Dalam perkara-perkara yang sangat serius, pencabutan ekskomunikasi otomatis hanya direservasi bagi Tahta Apostolik, yaitu jika orang membuang Hosti Suci atau membawa maupun menyimpannya untuk tujuan sakrilegi (no. 1367); jika orang menggunakan tindak kekerasan fisik terhadap Paus (no. 1370); jika seorang imam memberi absolusi terhadap rekan-berdosa dalam dosa melawan perintah keenam dari Dekalog (no. 1378); jika seorang uskup yang tanpa mandat kepausan mengkonsekrasi seseorang menjadi uskup (no. 1382); dan jika seorang bapa pengakuan secara langsung membocorkan rahasia sakramen (no. 1388).
Mengenai perkara yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, mengenai tujuh orang wanita yang ikut ambil bagian dalam olok-olok tahbisan imamat pada bulan Juni 2002 yang lalu dengan dipimpin oleh seorang uskup skismatik (skisma = memisahkan diri dari Gereja Katolik karena tidak mengakui kekuasaan Paus) dari Argentina.
Dalam surat apostolik 1994, “Ordinatio Sacerdotalis”, Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa “Gereja tidak memiliki wewenang apapun untuk menganugerahkan tahbisan imamat kepada wanita” (lihat “Tahbisan Wanita” oleh Rm William P. Saunders).
Tahbisan olok-olok ini bukan saja tidak sah, melainkan juga menantang otoritas Gereja. Suatu dekrit ekskomunikasi resmi dikeluarkan oleh Vatikan pada tanggal 5 Agustus 2002. Para wanita tersebut naik banding.
Kongregasi untuk Ajaran Iman meneguhkan keputusan mereka pada tanggal 21 Desember 2002, dengan memperhatikan bahwa para wanita tersebut tidak menunjukkan penyesalan dan situasinya “semakin diperparah oleh kenyataan bahwa sebagian dari para wanita tersebut telah mengumpulkan pengikut-pengikut dari umat beriman, dalam ketidaktaatan mereka terhadap Uskup Roma dan para uskup diosesan, dengan sikap yang terang-terangan dan memecah-belah.”
Lebih lanjut, kongregasi menambahkan bahwa mempertimbangkan tegarnya kedegilan mereka, maka hukuman yang dijatuhkan atas mereka tidak saja adil dan tepat, melainkan juga diperlukan, guna melindungi doktrin yang otentik, menjaga persatuan dan kesatuan Gereja, serta membimbing nurani umat beriman.” Paus Yohanes Paulus II telah mensahkan dekrit Kongregasi Ajaran Iman tersebut.
Patut kita camkan bahwa tujuan ekskomunikasi adalah menggerakkan si pendosa untuk bertobat dan berbalik kembali ke jalan yang benar.
Ekskomunikasi merupakan suatu cara yang ampuh dalam membantu orang menyadari bahwa jiwanya yang abadi ada dalam bahaya.
Ekskomunikasi tidak “mengunci pintu” Gereja untuk selamanya bagi orang yang dikenai sanksi, melainkan berharap membawa orang tersebut kembali ke dalam persekututan dengan Gereja semesta.
Di samping itu, hukuman ini membangkitkan kesadaran dalam diri segenap umat beriman akan betapa beratnya dosa-dosa ini dan menjauhkan mereka dari melakukan dosa-dosa yang demikian.
Gagasan ini diberi penekanan yang jelas dalam Katekismus Gereja Katolik saat membahas ekskomunikasi otomatis bagi para pelaku aborsi, “Gereja tidak bermaksud membatasi belas kasihan; tetapi ia menunjukkan dengan tegas bobot kejahatan yang dilakukan, dan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi, yang terjadi bagi anak yang dibunuh tanpa kesalahan, bagi orangtuanya dan seluruh masyarakat” (no. 2272).
Sementara Gereja menjatuhkan sanksi yang berat ini berdasarkan alasan-alasan yang adil dan tepat, Gereja juga senantiasa ingat, “hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mzm 51:19).
(Sumber:Ekskomunikasi: Panggilan untuk Kembali Hidup dalam Rahmat, yesaya indocell.net).