Ada seorang gadis kecil yang mulai belajar aritmatika.
Ia menyukai pelajaran itu dan pikirannya penuh dengan berbagai tanda: tanda
plus, tanda minus, tanda pembagi, dan sebagainya.
Pada suatu pagi ia diajak ayahnya pergi ke gereja.
Gadis itu melihat salib kecil di atas altar. Ia berbisik kepada ayahnya: “Papa,
untuk apa tanda plus itu di atas altar?” Gadis itu sedikit bingung melihat
tanda plus sendirian di atas altar. Namun dalam pengertian yang mendalam gadis
itu benar. Salib adalah “tanda plus”.
Penebusan yang disimbolkan dengan salib telah
memberikan sebuah “tanda plus yang besar” ke dalam hidup kita - karena salib
menyimbolkan apa yang telah diperbuat Yesus bagi kita.
Tuhan Yesus mengidentifikasikan diri dengan yang
tersingkir, yang tertindas, dan yang terlupakan. Kalau sikap Yesus demikian,
seharusnya begitu juga sikap para murid-Nya. Identifikasi diri dengan yang
tersingkir dan berbagi hidup dengan mereka merupakan cara hidup yang Injili.
Yesus telah menghampakan diri menjadi seorang hamba
dan mati bergantung di kayu salib. Namun Allah memuliakan Dia.
Kerendahan dan ketaatan Yesus merupakan prasyarat bagi
kemuliaan yang kemudian Ia terima dari Bapa, dan kita mendapat tambahan hidup
abadi berkat salib suci.
Memuliakan salib tidak berarti bahwa setiap hari kita mencium salib, melainkan bahwa kita harus memanggul salib dan mengakui bahwa penderitaan adalah bagian dari konsekuensi mengikuti Yesus.
(Sumber:
Warta KPI TL No. 37/V/2007; Memuliakan Salib, Vacare Deo Edisi II/IX/2007).