Seorang anak ingin selalu berkenan dihadapan ayahnya, tidak ingin ayahnya marah terus. Maka ia berusaha belajar mati-matian untuk mencapai nilai yang tinggi di sekolahnya, sehingga ia sering menjadi juara.
Ia menjadi tegang terus, karena ia tidak percaya bahwa ayahnya juga akan mencintai dia walaupun nilainya rendah.
Dengan terang Roh Kudus sebetulnya kita mampu melihat bahwa dalam diri kita masih banyak segi yang gelap/negatif.
Akan tetapi, seringkali kita bertopeng di hadapan Allah seperti anak tadi atau seperti doa orang Farisi (Luk 18:11-12): “Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan seperti pemungut cukai ini, aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” ~ kalau kita menganggap diri kita sudah sehat, maka Allah tidak dapat berbuat apa-apa.
Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa supaya mereka bertobat (Mat 9:12; Luk 5:32).
Mengapa kita sering mempunyai anggapan demikian keliru? Karena prasangka dan dorongan si jahat dalam hati manusia mengakibatkan manusia menjadi putus asa dan takut untuk membuka diri (pengalaman yang buruk ditolak/dihakimi sesama).
Sehingga yang jahat, yang buruk dan dosa itu dipendam sendiri, sampai akhirnya menjadi nanah dalam hatinya dan menjadi borok. Pada akhirnya kita menganggap orang lain yang selalu salah.
Mengapa demikian? Karena pada dasarnya di dalam lubuk hati manusia, kita selalu ingin diterima, lebih-lebih oleh orang yang dekat dengan kita.
Sebetulnya setiap manusia itu mempunyai keindahan, seperti batu permata yang perlu digosok supaya bersinar-sinar di hadapan Allah.
Kalau secara fisik kita tidak bisa mengubah, hanya Allah yang bisa menggosoknya secara rohani.
Kalau kita tahu bagaimana sikap hati Allah, maka kita juga berani membuka diri kepada-Nya, seperti doa pemungut cukai: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa.” ~ sebagai orang yang dibenarkan Allah.
Walaupun kita pendosa berat, kita tetap boleh bersatu dalam Dia. Dengan demikian, kita melakukan segala sesuatu karena kita yakin akan cintakasih Allah menutupi banyak kesalahan (1 Ptr 4:8).
Jadi kita akan melakukan segala perbuatan itu dengan senang hati sebagai ungkapan syukur dan terima kasih supaya kita bisa berkembang dalam kasih Allah, bukan lagi untuk mendapat jasa. Sebaliknya karena kita mencintai Allah.
(Sumber: Warta KPI TL No. 47/III/2008; Cinta Kasih Menutupi Banyak Kesalahan, HDR Januari-Februari 2008 Tahun XII).