Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan." (Mat 11:28-30).
Saya bertumbuh di tengah keluarga yang mengajarkan bagaimana hidup saling mengasihi dan peduli pada sesama. Ayah saya (A) adalah seorang yang penuh kasih, bijak dan sabar. Saya adalah anak yang terkecil dalam keluarga, seringkali saya berlari-lari ke pangkuan ayah saya. Meskipun beliau sibuk atau capek sepulang kerja, beliau tetap membuka tangannya dan memeluk saya. Kadangkala saya mengajaknya bermain bersama, saya pura-pura sebagai tukang cukur dan beliau sebagai pelanggannya.
Saya sangat mengasihi ayah saya. Oleh karena itu setiap hari dengan hati sukacita saya selalu menunggunya pulang kerja, lalu saya membukakan sepatunya dan menggantikan dengan sandalnya. Kadangkala saya terpelanting saat hendak melepas sepatu yang besar dan berat bagi saya. Kejadian itu membuat kami berdua tertawa bersama. Itulah kenangan indah bersama ayah saya.
Ketika saya berumur 9 tahun, saya diajak berlibur ke Solo dan saya dipertemukan dengan kedua orang tua kandung saya. Sejak saya mengetahui bahwa saya bukan anak kandung A, maka hati saya sangat hancur dan sulit menerima diri saya sendiri, apalagi orang lain.
Meskipun hubungan keluarga A dan keluarga kandung saya baik, namun hati saya tidak bisa menerima kenyataan ini, tetapi saya tidak punya keberanian untuk bertanya “Mengapa orang tua saya membiarkan saya sendirian di Bandung sementara mereka berada di Solo?” Pekara itu saya simpan dalam hati saja ... tanpa jawaban dan tanpa penjelasan sampai ayah kandung dan ayah angkat saya meninggal.
Akibat dari luka batin tersebut, di luar rumah, saya menjadi seorang anak yang tidak percaya diri, tertutup, suka murung, tidak suka bergaul, mudah tersinggung, dan sering sedih tanpa sebab. Namun, di dalam rumah biasa-biasa saja.
Puji Tuhan, akhirnya saya menemukan apa yang saya cari, yaitu Yesus Kristus, sahabat sejati dalam perjalanan hidup. Perjumpaan ini terjadi dalam sebuah retret luka batin. Pada saat sesi pembasuhan kaki, saya mencari orang yang figurnya dapat mewakili ayah kandung saya secara fisik/wajah, untuk saya basuh kakinya.
Berkat rekonsiliasi dalam alam roh, saya merasakan kelegaan yang tiada tara. Saya yakin dan percaya bahwa Tuhan Yesus telah menjamah hati saya dan hati ayah kandung saya juga, meskipun beliau tidak hadir pada kegiatan tersebut.
Sejak saat itu saya mengalami pembaharuan-pembaharuan di dalam roh (gemar membaca Kitab Suci, suka berdoa dan pujian penyembahan) sehingga saya dimampukan untuk mengampuni ayah kandung saya maupun orang lain yang melukai hati saya. Berkat rahmat-Nya, saya dimampukan untuk mengasihi mereka dengan kasih-Nya. Bahkan saya mulai masuk dalam pelayanan doa dalam komunitas Karismatik.
(Sumber: GPM, Maria)