19.46 -
*Orang Kudus dan tokoh Alkitab*
Berjuang untuk hidup kudus
Menjadi Kudus adalah panggilan Kristiani (1 Ptr 1:16 » Kuduslah kamu, sebab Aku kudus). Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup dan kesempurnaan cinta kasih (Kol 3:12; Mat 5:48).
Menjadi kudus! Kata-kata ini terdengar seakan-akan mustahil bagi kita. Memang, ini mustahil apabila kita mau menjadi kudus dengan kekuatan kita sendiri. Kekudusan pertama-tama bukan hanya hasil usaha keras manusia, namun ada hal yang menjadikan semua itu, ialah peran Roh Kudus yang diam dalam diri setiap orang beriman. Roh Kuduslah yang mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang baik, bahkan Dia juga yang mengajarkan kita berdoa dan menyebut Allah sebagai Bapa kita.
Kudus berarti menyatu penuh dengan Allah yang Mahakudus. Untuk mencapai kesatuan ini, dituntut suatu usaha dan perjuangan yang terus-menerus. Kekudusan itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, hasil kerja sama antara manusia yang lemah dengan Allah, yang memberi rahmat. Jadi, kekudusan adalah anugerah dan sekaligus jawaban bebas setiap orang untuk mau mengikuti dan melakukan kehendak Allah.
Kekudusan menjadikan pribadi manusia semakin jernih dan bersih hati dan budinya sehingga kejujuran dan ketulusan semakin mewarnai setiap kata dan tindakannya. Oleh karena itu orang yang kudus akan terhindar dari sikap munafik, sebab apa yang ada didalam hati dan budinya itulah yang akan tampak dan berbuah dalam tindakannya. Apa yang dipancarkan orang kudus adalah segala yang baik dan mendatangkan rahmat Allah.
Orang yang kudus tidak menyimpan kebencian namun yang ada didalam dirinya ketulusan hati dan kerinduan untuk selalu mengasihi dan berbagi. Karena kasih tersebut maka orang kudus senantiasa bersukacita dan ingin selalu ingin berbuat baik.
Orang-orang kudus tidak membuang energi mengeluhkan kegagalan orang lain; mereka bisa menahan lidah mereka di hadapan kesalahan saudara-saudari mereka, dan menghindari kekerasan verbal yang merendahkan dan menganiaya orang lain.”
Kekudusan bukan berarti tidak membuat kesalahan atau tidak pernah berdosa. Kekudusan tumbuh dengan kesanggupan untuk perubahan, pertobatan, kerelaan untuk memulai kembali, dan diatas segalanya, kesanggupan untuk rekonsiliasi dan pengampunan (Paus Benediktus XVI).
Seandainya jiwa-jiwa mau mendengarkan suara-Ku, ketika Aku berbicara kepada mereka dalam hati mereka, maka dalam waktu singkat mereka bisa mencapai puncak kekudusan (BH II, 50). Jadi, hidup orang kudus adalah tanda-tanda karya Allah, Injil yang dihayati (Paus Yohanes Paulus I).
Ada 5 jalan menuju kekudusan menurut Gaudete et Exsultate (seruan apostolik Paus Fransiskus mengenai kekudusan dalam dunia moderen)
1. Kekudusan berarti menjadi diri Anda sendiri
Paus Fransiskus menawarkan kepada kita banyak contoh hidup suci dalam seluruh dokumen ini: St. Theresia Lisieux, Karmelites Prancis menemukan kekudusan dalam melakukan tugas-tugas kecil; St. Ignatius dari Loyola, pendiri Yesuit yang mencari Tuhan dalam segala hal; St. Filipus Neri, pendiri Tarekat Oratorian, yang terkenal karena selera humornya. Sukacita Kristen biasanya disertai dengan rasa humor.
Paus Fransiskus mengatakan, orang-orang kudus berdoa bagi kita dan memberi kita teladan cara hidup. Akan tetapi, kita tidak perlu menjadi “salinan” dari orang-orang kudus tersebut. Kita perlu menjadi diri kita sendiri. Setiap orang beriman perlu “membedakan jalannya sendiri” dan “memunculkan yang terbaik dari dirinya sendiri, “sebagaimana dikatakan oleh Thomas Merton: “Bagi saya, menjadi orang suci berarti menjadi diri saya sendiri.”
2. Kehidupan sehari-hari dapat membawa kita kepada kekudusan
Bagi Paus, kita tidak perlu menjadi uskup, imam atau anggota ordo religius untuk menjadi suci. Seriap orang dipanggil untuk menjadi suci – sebagaimana dikatakan Konsili Vatikan II – entah sebagai ibu atau ayah, seorang siswa atau seorang pengacara, seorang guru atau petugas kebersihan. Paus menyebut mereka ini sebagai “Saints next door”.
Kita sering tergoda untuk berpikir bahwa kekudusan hanya untuk mereka yang dapat mengundurkan diri dari urusan duniawi, dan menghabiskan banyak waktu dalam doa, namun kata Paus “Bukan demikian halnya.” “Kita semua dipanggil Allah untuk melakukan apa yang kudus di dalam seluruh hidup kita sama seperti Dia yang kudus (1Tes 4:7; 1 Ptr 1:15) dengan menjalani hidup kita dalam cinta kasih dan dengan memberikan kesaksian dalam semua yang kita lakukan, di mana pun kita berada.”
Tidak berarti bahwa kita harus melakukan tindalan besar dan dramatis. Paus Fransiskus menawarkan contoh kesucian dalam hidup sehari-hari, misalnya: orang tua yang penuh kasih membesarkan anak-anak mereka, mereka bekerja keras demi kesejahteraan keluarga, dengan tidak pernah kehilangan senyum mereka, serta “gerakan kecil” dan pengorbanan yang dapat dilakukan seseorang seperti memutuskan untuk tidak meneruskan fitnah. Jadi, apabila kita dapat melihat kehidupan sehari-hari sebagai “misi”, maka kita akan segera menyadari bahwa kita dapat dengan penuh cinta kasih dan baik hati bergerak menuju kekudusan.
Paus menegaskan juga tidak harus “berleha-leha sampai pingsan dalam mengusahakan hidup mistik”. Kita juga tak perlu mengundurkan diri dari orang lain. Di sisi lain, kita tidak perlu terjebak dalam “race” yang terburu-buru dari satu hal ke hal lainnya. Hal terpenting untuk mengusahakan kekudusan dalam hidup sehari-hari, menurut Paus Fransiskus, adalah keseimbangan antara tindakan dan kontemplasi. Jadi, kekudusan bersifat holistik.
Contoh: Ada seorang ibu yang berbelanja. Ketika pulang, dia berjumpa dengan seorang tetangganya yang mengajak mengobrol. Ketika tetangganya mulai bergosip (membicarakan hal buruk tentang orang lain), ibu itu memutuskan dalam hati untuk menghentikan pembicaraan tersebut. Ini adalah langkah konkrit untuk menuju kesucian. Kemudian ibu tersebut bertemu dengan orang pengemis dan memberinya sapaan yang ramah. Tindakan ini membuatnya naik satu langkah lagi menuju ke sucian.
Di tengah perjalanan, ibu ini membayangkan sesampai di rumah akan mandi lalu tidur untuk menghilangkan kelelahan tubuhnya, namun putranya memohon pertolongannya. Ibu ini memutuskan untuk mendengarkan dengan sabar dan menolong putranya dengan sukacita meskipun tubuhnya sangat lelah. Tindakan ini membuatnya naik satu langkah lagi menuju ke sucian.
Ketika ada banyak masalah dalam hidupnya, ibu itu berjuang tidak bersungut-sungut tetapi dia langsung mengambil Rosario dan berdoa. Tindakan ini membuatnya naik satu langkah lagi menuju ke sucian.
Orang akan mampu melihat Allah dalam kehidupannya bila ia memiliki kekudusan dalam dirinya, tandanya adalah kesederhanaan dalam pikiran, perkataan, perbuatan dan hatinya.
3. Menghindari dua kecenderungan utama: Gnostisisme dan Pelagianisme
Gnostisisme adalah ajaran sesat yang mengatakan bahwa yang paling penting adalah “apa yang kita ketahui”. Paham ini menolak tindakan amal atau perbuatan baik. Paham ini menegaskan bahwa yang kita butuhkan hanyalah pendekatan intelektual yang benar.
Paus Fransiskus mengatakan dewasa ini Gnostisisme menggoda orang untuk berpikir bahwa mereka dapat membuat iman “sepenuhnya bisa dipahami” dan memaksa orang lain mengadopsi cara berpikir mereka. “Ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan,” kata Paus, “itulah tanda bahwa mereka tidak berada di jalan yang benar”. Dengan kata lain, menjadi orang yang tahu segalanya tidak akan menyelamatkan Anda.
Pelagianisme adalah ajaran sesat yang mengatakan bahwa kita dapat mencapai keselamatan melalui upaya kita sendiri. Seorang Pelagian mempercayai kekuatannya sendiri, tidak merasa membutuhkan rahmat Tuhan dan merasa diri melebihi orang lain karena mematuhi aturan tertentu.
Paus Fransiskus mengatakan Pelagianisme dewasa ini seringkali memiliki “obsesi dengan hukum, keasyikan dengan peluang-peluang sosial dan politik, terlalu cemas dengan liturgi gereja, dokrin dan prestise.” Ini sungguh membahayakan kekudusan karena merampok kita dari kerendahan hati, menempatkan kita di atas orang lain, dan hampir tidak memberikan ruang untuk peranan rahmat Allah.
4. Bersikap baik
Dalam “Gaudete et Exsultate”, Paus memberikan nasihat praktis bagi umat zaman modern untuk menjalani hidup menuju kekudusan. Paus mengatakan, misalnya, jangan bergosip, hentikan penilaian dan yang paling penting, berhenti bersikap kejam.
Nasihat berbuat baik ini juga berlaku untuk “kegiatan online”. Komentar Paus tentang topik ini penting diingat. Ia menulis: “Online fitnah dan umpatan bisa menjadi kebiasaan. ... karena di sana dapat dikatakan apa yang tidak dapat diterima dalam wacana publik. Orang berusaha mengimbangi ketidakpuasan mereka sendiri dengan menghantam orang lain. Sambil mengklaim bahwa menegakkan perintah-perintah lain, mereka benar-benar mengabaikan perintah kedelapan, yang melarang bersaksi palsu atau berbohong dan dengan kejam memfitnah orang lain.” Bagi Paus, menjadi suci, berarti berbuat baik.
5. Ucapan Bahagia adalah penunjuk jalan menuju kekudusan
Kekudusan adalah fokus seruan apostolik ini. Kekudusan itu bukan sekedar apa yang dimaksudkan Yesus dengan pewartaan-Nya, melainkan kekudusan adalah potret Tuhan Yesus sendiri. Untuk menjadi kudus kita dipanggil untuk menjadi takut akan Allah, miskin di hadapan Allah, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran, murah hati, tidak menghakimi, mau mengampuni, mau memberi, membawa damai dst (Mat 5:1-12; Luk 6:36-38).
Paus secara konkret mengingatkan kita bahwa kita harus mengusahakan kekudusan melalui hidup pribadi, keluarga dan kelompok. Dalam kegiatan kecil-kecil yang kelihatan tanpa arti. Semuanya yang kecil itu indah karena menjadi sarana ampuh yang menuntun kita kepada kerendahan hati, mati raga dan akhirnya mencapai kekudusan. Cara berpikir yang diilhami atau diterangi oleh Roh Kudus, tidak akan jatuh dalam ajaran dan praktik yang sesat. Jadi, kita hanya perlu melaksanakan yang kecil dengan cinta yang besar.
Dalam tutur kata yang penuh kehangatan dan cinta, tidak nyinyir dan tanpa motivasi kebencian. Kata Paus Fransiskus, orang-orang kudus “tidak membuang energi dengan mengeluh tentang kegagalan orang lain; mereka bisa menahan lidahnya berhadapan dengan kesalahan saudari mereka, dan menghindari kekerasan verbal yang merendahkan dan memperlakukan orang lain dengan buruk.
Kekudusan, kata Paus, “is not about swooning in mystic rapture”, melainkan pemahaman dan pelayanan kepada Tuhan dalam diri mereka yang lapar, haus, memberi tumpangan/telanjang, sakit/dalam penjara. Jadi, kita harus menghidupi Sabda Bahagia dan tindakan positif yang konkret terhadap sesama yang menderita (Mat 5:1-12; 25:37-40 » Cinta kasih kepada Tuhan dan sesama).
Jadi, Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibr 12:14). Bagaimana caranya? (1) Latihlah mata kita seperti mata lebah (selalu melihat yang positif; Mat 6:22-23 » Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu).
(2) Pertajam pendengaran kita (Yes 50:4). Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm 10:17). Jika, kita membaca Kitab Suci secara teratur, maka jiwa kita mendapatkan makanan yang sehat (2 Tim 1:13; 1 Tim 6:3 » perkataan sehat yakni ajaran/perkataan Tuhan kita Yesus Kristus) sehingga terjadi pembaharuan budi, dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm 12:2). Pada akhirnya, hidup kita menghasilkan Buah Roh (Gal 5:22-23; KGK 1832 » 1. Kasih 2. Sukacita 3. Damai Sejahtera 4. Kesabaran 5. Kemurahan 6. Kebaikan 7. Kesetiaan 8. Kelemahlembutan 9. Penguasaan diri 10. Kerendahan hati 11. Kesederhanaan 12. Kemurnian).
(3) Kata-kata kita harus penuh kasih, dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu (Kol 4:6; Yes 50:4).
Setiap orang yang telah dipilih menjadi murid Kristus diundang untuk mengalami kedekatan Kristus dan melakukan kehendak-Nya. Dengan demikian jika kita selalu bersama dengan Tuhan dan melalukan kehendak-Nya, kita dalam kekudusan.
(Sumber: Renungan KPI TL Tgl 14 Mei 2020, Ibu Laksmi).