Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak (Ibr 12:5-6).
Di akhir bulan Maret Tahun 2019, saya harus menyiapkan sebuah materi untuk suatu acara yang cukup besar. Karena kesibukan tersebut, saya meninggalkan sesaat untuk tidak berdoa Rosario dan tidak membaca Kitab Suci sesuai dengan bacaan Kitab Suci di grup MBA. Dalam hati saya berkata: “Tuhan, Engkau mengerti keadaanku. Saat ini aku sangat sibuk dan capai sehingga tidak ada waktu untuk berdoa maupun membaca Kitab Suci. Rasanya waktu 24 jam kurang!”
Suatu hari saya mengganti sprei di kamar anak saya di lantai dua. Pada saat hendak turun ke lantai bawah, tiba-tiba saya terpeleset. Lalu saya berusaha memegang pegangan tangga agar tidak bertambah jatuh ke bawah. Akhirnya saya terhenti di pijakan kelima dari atas. Saat terjatuh, saya mendengar ada sesuatu yang patah. Hal pertama yang saya lakukan adalah membuka mata saya lebar-lebar untuk mengetahui apakah saya buta atau tidak.
Semalam suntuk saya tidak bisa tidur. Oleh karena itu saya dibawa ke Rumah Sakit oleh suami saya untuk di-rontgen. Ternyata tulang ekor saya mengalami “dislokasi” (tulang bergeser dan keluar dari posisi normalnya). Dokternya berkata: “Apakah mau dioperasi tanpa pisau bedah atau minum obat nyeri saja? Jika tidak mau dioperasi sekarang, akibatnya akan terasa nyeri diusia tua.” Akhirnya saya memutuskan untuk dioperasi. Proses operasi hanya berjalan sebentar, namun pemulihannya benar-benar panjang.
Melalui kejadian ini, ada suara kecil yang berbicara dalam batin saya: “BEM, kemarin kamu berkata tidak ada waktu untuk berdoa dan membaca Kitab Suci. Sekarang Aku sudah memberimu waktu yang banyak.” Mendengar teguran ini saya merasa malu dan memohon ampun pada Tuhan.
Saya tahu bahwa kejadian itu diijinkan Tuhan agar saya tahu berterima kasih atas pengorbanan-Nya. Oleh karena itu saya berjuang untuk kembali memberikan waktu yang terbaik untuk berdoa dan membaca Kitab Suci seperti dulu. Saya berdoa: “ Tuhan, aku tahu Engkau telah menghajarku. Proses ini jangan terlalu lama, aku mau melayani-Mu. Aku sangat butuh kekuatan-Mu untuk melakukan semuanya.” Jadi, saya berjuang untuk tidak memikirkan sakitnya, tetapi melayani dengan sukacita seperti biasa.
Tiga setengah bulan setelah kejadian itu, saya dan suami saya mengikuti seminar tentang “Kekuatan Doa” di Samarinda. Selama 3 jam duduk di dalam mobil, saya merasakan tulang ekor saya sakit sekali (perjalanan dari Balikpapan, rumah saya ke Samarinda).
Puji Tuhan, sesi pertama seminar “teori tentang doa” dapat saya ikuti dengan baik meskipun duduk saya agak condong ke depan supaya tulang ekor saya tidak tertekan.
Keesokan harinya peserta seminar dibagi dalam beberapa kelompok, tiap kelompok berisi 10 orang. Lalu Pak Tjendana memberikan instruksi agar setiap kelompok melakukan Pujian Penyembahan dan fokus mendengarkan Tuhan mau bicara apa, dan saling mendoakan. Saya berjuang fokus, namun saya tidak memperoleh penglihatan dan tidak merasakan apapun juga seperti biasanya.
Tiba-tiba saya mendengar Sabda Pengetahuan: “Hai tulang-tulang! Mengapa engkau lemah?” Ketika saya mendengar sabda tersebut, saya sangat kaget dan saya langsung berteriak dalam hati: “Tuhan, tolong Tuhan, tulang ekor saya sakit sekali.”
Saya tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu, namun pada saat itu seperti melihat sebuah film, saya melihat seberkas sinar yang berasal dari seorang pria. Meskipun saya tidak dapat melihat dengan jelas wajah-Nya namun batin saya yakin bahwa pria itu adalah Tuhan Yesus. Dia seakan-akan menatap saya dengan tatapan kecewa sambil berkata: “Why BEM?” Ketika mendengar pertanyaan tersebut, ada penyesalan yang dalam, dalam hati saya. Tanpa sadar saya menangis sambil berkata: “Tuhan, ampunilah aku. Aku telah bersalah pada-Mu. Sekiranya Engkau berkenan, sakit tulang ekor ini janganlah terlalu lama sehingga aku bisa melayani-Mu, melayani suami dan anak-anakku dengan baik.” Seketika itu juga Tuhan Yesus mengangkat tangan-Nya dan menyembuhkan tulang ekor yang sakit.
Melihat keadaan saya yang terus-menerus menangis di lantai, suami saya mengguncang-guncangkan tubuh saya sambil memanggil-manggil nama saya, akhirnya saya terbangun dari “resting in the spirit”. Waktu pulang ke Balikpapan, saya tidak merasakan sakit lagi. Sungguh, Tuhan adalah Tabib yang ajaib, Dia telah menyembuhkan saya dengan cara-Nya yang ajaib.
Sejak saat itu, saya tidak mau lagi menjadikan Tuhan seperti “Jinny oh Jinny” (sinetron, jika butuh saja baru dipanggil), saya tidak mau membuat Tuhan Yesus kecewa. Saya rindu melihat Tuhan Yesus selalu tersenyum pada saya, bahkan bangga melihat saya, yang mau berkomitmen untuk selalu menjalin hubungan dengan-Nya melalui doa dan membaca surat cinta-Nya.
(Sumber: GPM, Marya BEM).