Jumat, 24 Januari 2020

20.36 -

Penyertaan Tuhan dalam perencanaan

Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga. Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah - sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur (Mzm 127:1-2). 

Marilah kita belajar dari Yakobus 4:13-17: 

Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: (1A) "Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? (2) Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu." 

Tetapi sekarang (1B) kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa. 

» (1AB) Manusia berimajinasi sesuai dengan keinginan hatinya, nafsunya dan segala kenikmatan yang dunia tawarkan. Pedagang yang congkak ini adalah contoh orang yang mempunyai perencanaan yang bagus, namun ia tidak pernah meminta hikmat Tuhan dalam perencanaannya. 

Semua orang melakukan perencanaan, namun tidak semua orang mampu menyusun rencana secara efektif. Kita pun kerap mendengar perkataan ini, “Gagal merencanakan adalah merencanakan untuk gagal.” Jadi, perencanaan adalah persoalan yang penting, kita tidak bisa hidup hanya mengalir saja. Bagaimana hal ini dipandang dalam iman Kristen? 

Manusia menganggap segala sesuatu gampang karena mereka mempunyai kemampuan akademis, finansial dan kekuasaan. Tiga hal yang membuat manusia melupakan Tuhan dalam segala perencanaan sehingga cita-cita itu tidak tercapai dan banyak mengalami kekacauan. 

1. Kemampuan akademis 

Kemampuan pengetahuan untuk merealisasikan rencana dan rancangan itu juga baik, namun kita harus belajar dari apa yang terjadi ketika bangsa Israel mendirikan menara Babel sampai ke langit. Ketika kesombongan dan kecongkakkan merasuki hati bangsa Israel, mereka mengandalkan pengetahuan tentang kontruksi bangunan tanpa bertanya apakah Tuhan merestui cita-cita mereka itu atau tidak. Akhirnya rancangan terbesar dalam hidup mereka gagal total. Menara itu runtuh dan terjadi kekacauan bahasa, masing-masing pekerja tidak memahami bahasa teman sekerjanya. 

Jadi, janganlah melakukan sesuatu karena didorong kepentingan diri sendiri, atau untuk menyombongkan diri. Sebaliknya hendaklah kalian masing-masing dengan rendah hati menganggap orang lain lebih baik dari diri sendiri (Flp 2:3). 

2. Kemampuan Finansial 

Kekayaan adalah alasan manusia melupakan atau meninggalkan Tuhan. Mungkin dengan uang kita bisa membeli semua fasilitas dalam kehidupan ini, namun fasilitas itu belum tentu bisa dinikmatinya (Pkh 6:1-2). Justru karena harta yang melimpah, telah membutakan manusia dari kasih sayang. Jadi, mengandalkan kemampuan financial adalah salah, karena Tuhan tidak mau dirinya digantikan oleh apapun di dunia ini. 

3. Kemampuan Kekuasaan 

Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari Tuhan (Yes 31:1). 

Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! (Yer 17:5). 

Jadi, kita harus bertanya terlebih dahulu dalam doa kepada Tuhan, apakah rencana yang ada dalam hati kita itu baik adanya. Pertimbangkan kerugian umat manusia akibat rencana itu, jika tidak mendatangkan damai sejahtera maka lebih baik kita menundanya. 

Jika mendatangkan keselamatan bagi banyak jiwa dan mendatangkan damai sejahtera tentu rancangan itu berkenan kepada Tuhan. Jadi, jangan melupakan Tuhan dalam setiap rencana kita. 

(2) “Uap” menggambarkan sesuatu yang tidak tinggal tetap, melainkan hanya hadir dalam hitungan detik, dan selanjutnya tidak kelihatan lagi. Maksudnya, kehidupan manusia itu datang dan pergi secara tidak terduga. Ada yang terlihat sehat, ternyata esoknya meninggal; ada yang sakit-sakitan, namun ajal tidak kunjung menjemput. Jadi, kita tidak boleh menyusun rencana secara congkak. 

(Sumber: Warta KPI TL No. 177/I/2020 » Renungan KPI 8 Agustus TL 2019, Dra Yovita Baskoro, MM).