Sarapan Pagi
Agar Jiwa Kita Disegarkan Oleh-Nya
Firman yang tertanam di dalam hatimu,
yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.
(Yak 1:21)
Penanggalan liturgi
Kamis, 10 Oktober 2019: Hari Biasa XXVII - Tahun C/I (Hijau)
Bacaan: Mal 3:13 - 4:2a; Mzm 1:1-2, 3, 4, 6; Luk 21:5-13
Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman Tuhan. Tetapi kamu berkata: "Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?" Kamu berkata: (*) "Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan Tuhan semesta alam? Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga."
Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan Tuhan: "Tuhan memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan Tuhan dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya."
Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman Tuhan semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia. Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.
Bahwa sesungguhnya hari itu datang, menyala seperti perapian, maka semua orang gegabah dan setiap orang yang berbuat fasik menjadi seperti jerami dan akan terbakar oleh hari yang datang itu, firman Tuhan semesta alam, sampai tidak ditinggalkannya akar dan cabang mereka. Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya.
Renungan
1. Beribadah kepada Allah, apalah sia-sia?
(*) Mengapa dikatakan sia-sia? Apakah Tuhan itu selalu mengecewakan umat-Nya? Tuhan tidak pernah mengecewakan umat-Nya. Tuhan tahu apa yang terbaik bagi umat-Nya. Tuhan adalah Bapa yang baik hati kepada anak-anak-Nya.
Mungkin bukan Tuhan yang mengabaikan kita, namun kitalah yang tidak pernah mengetuk hati-Nya. Kita tidak pernah meminta kepada-Nya. Sudahkah kita bersikap sebagai seorang anak? Atau jangan-jangan kita tidak pernah menganggap Tuhan sebagai Bapa yang baik karena kesombongan kita?